Rantai Jiwa?

1.4K 171 6
                                    

"Ada yang jalan-jalan bawa kepala," ucapku pelan.

Rafa membuka earphones yang terpasang. "Kelapa? Segar kayaknya," jawab Rafa.

"Kepala!" ucapku dengan nada yang ditekankan.

Rafa mendelik, ia beranjak dari ranjangnya menuju ku dengan gerakan gesit.

"Lihat, tuh!" Aku membuka sedikit tirai, memperlihatkan seseorang yang tengah berdirinya dibawah gelapnya langit.

Langkah sosok itu terlihat semakin mendekat dengan seringai yang sama, aku dan Rafa yang menyaksikan tak bisa berpaling sedikit pun. Perlahan, kami menutup tirai saat mendengar suara ketukan pintu. Meski pelan, tapi kami masih dapat mendengarnya.

"Siapa?" tanyaku dengan suara rendah.

Rafa menggeleng, ia meraih selimut untuk menutupi tubuhnya. Samar-samar kembali terdengar suara ketukan yang sama, berbunyi tiga kali dan berhenti.

"Bik Ima?" Aku tak melihat keberadaannya sejak tadi, apa mungkin ia sudah tertidur pulas.

Suara ketukan itu kembali terdengar, aku terdiam untuk mendengar darimana asal bunyi tersebut.

"Suara itu dari jendela." Kepala ku terasa kaku untuk menoleh, sedangkan suara ketukan itu semakin nyata dekatnya.

Tubuh Rafa sudah bergetar dibalik selimut, ia mendelik dengan sudut mata menunjuk arah tirai jendela yang terbuka akibat angin malam.

Sial, batinku meronta-ronta menyebut asma Allah saat melihat sekilas ke arah yang Rafa tunjuk. Dua pasang mata memerah terlihat sedang mengintip dari balik jendela yang renggang.

Satu suara gebrakan membuat dinding kamar bergetar, aku yakin jika sosok itu yang membuat kegaduhan.

"Pindah ke ranjang lo," ajak ku menarik selimut yang menutupi tubuh Rafa.

Pilihan terbaik ialah dengan berpura-pura tidak melihat sosok itu, berpindah ke ranjang Rafa yang jauh dari jangkauan jendela.

Belum sempat kaki kami melangkah turun, terdengar suara teriakan yang berasal dari luar rumah. Teriakan itu semakin lama berubah menjadi erangan, benar-benar malam yang mencekam. Aku dan Rafa hanya bisa berdoa terus menerus, tanpa melihat sekeliling.

Dengan tubuh bergetar, aku membuka kembali artikel yang menceritakan tentang sosok itu. Siapa tau ada sesuatu yang bisa menjadi penangkal.

"Seharusnya gue gak ikut lo kesini!" gumam Rafa dengan nada terbata-bata.

Aku mendengus. "Udah terlanjur, kita harus cari cara buat mengusir sosok itu!" Seperti pahlawan disiang bolong, aku merasa harus membantu desa ini meski tak memiliki hubungan dengan mereka.

'Wirma harus menuntaskan dendamnya. Semua orang dimasa lalu, harus mati. Hingga keturunan mereka juga harus merasakan rasa sakit yang ia rasakan.' Aku mengernyit membaca artikel itu, terasa berbeda dari pertama kali aku membacanya.

'Seharusnya ia telah terkurung di sebuah tempat, namun kembali dibuka oleh seseorang yang diagungkan semua orang. Tak ada cara lain, selain melawan. Tapi bagaimana? Ilmu rantai jiwa telah lama tak terdengar.'

Ini dia yang aku cari, artikel ini menjelaskan suatu ilmu yang bisa mengurung Wirma bersama dendamnya.

"Lo tau ilmu rantai jiwa?"

Rafa menggeleng, bertanya dengannya memang tak membantu. Tapi kepada siapa lagi aku harus bertanya? Novi, perempuan itu pasti tau banyak hal. Entah dimana dia berada sekarang. Aku yakin sekali, jika dia memang seorang manusia.

"Bik Ima dimana?" tanya ku lagi.

Rafa tetap menggeleng, memang percuma bertanya dengannya.

"Sepertinya malam ini kita harus berjaga."

"Kenapa?"

Aku berdecak, menatap wajah lugu sekaligus bodoh sahabat ku itu.

"Lo mau tidur? Terus gak bangun lagi untuk selamanya," jelasku dengan penuh tekanan disetiap kalimat. "Fa, sosok itu bisa saja ngebunuh kita saat tertidur!" Aku bersender pada dinding kamar, berulang kali menghirup nafas untuk menenangkan diri.

"Lo ada benarnya juga, gue gak mau mati sia-sia." Rafa memejamkan mata saat mendengar suara tulang yang saling beradu. Suara yang sama dengan suara yang aku dengar saat pertama kali bertemu Wirma, pasti dia sedang memakan para mayat yang baru para warga kuburkan.

Takut, cemas, khawatir. Kehidupan ini sudah ditekuni warga Desa Mayii sejak beberapa bulan belakangan, mereka tetap menetap tanpa berfikir untuk pergi.

"Lo ngerasa aneh dengan desa ini, gak?"

Rafa mengangguk. "Iya, gue juga mikir gitu."

Malam semakin larut, sedangkan mata kami semakin menipis. Sudahlah, aku serahkan saja semua kepada yang Maha Kuasa. Semoga besok pagi, kami terbangun dengan keadaan yang utuh.

________

Sengaja ku unggah di pagi hari,
biar gak takut kalo mau ke kamar mandi.

Perkeluhan kalian setelah membaca ini, Kaka?
(

*°∀°)=3

Makan MayitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang