Maaf banget, kemarin-kemarin aku ngikut lomba buat novel cetak, dan menang. Jadi maaf kalo cerita ini terabaikan untuk sementara
😭😭.
"Kalian kenapa?" Ambu menatap kedua putrinya yang pulang dengan raut berantakan. "Novi, tangan kamu terluka?" tanya Ambu lagi, meraih kedua tangan Novi yang masih terdapat sisa-sisa darah.
Tubuh Wirma bergetar, menatap Ambu dengan kedua mata berair.
"Ambu, Enim ...." Wirma tidak menyelesaikan kalimatnya, dia terlalu takut untuk mengatakan kenyataan yang telah terjadi.
"Ada apa?" Ambu mulai tak sabar, menatap kedua putrinya bergantian dengan raut bingung.
"Novi tidak sengaja membunuhnya, Ambu." Novi bersuara, mengucapkan sebuah kalimat yang membuat tubuh Ambu membeku. Ambu menutup mulutnya dengan kedua tangan, dia tidak percaya.
"Kamu membunuh Enim? Ya, Tuhan!" Ambu menatap sekeliling rumah, segera mengajak mereka untuk masuk kedalam. Setidaknya belum ada yang mengetahui kejahatan Novi terhadap Enim.
Novi membersihkan diri dengan sikap tenang, berbanding balik dengan Wirma yang malah terus berfikiran negatif. Semua kejadian tadi, membuat Wirma menerka-nerka. Apakah Enim masih hidup atau dia telah hanyut dibawa arus sungai?
"Sudahlah, Mbak. Aku yang membunuhnya, kenapa malah kamu yang terus khawatir?" tanya Novi, tangannya menggapai sebuah kain kecil yang digunakan untuk mengelap tangan.
Wirma menatap sang adik dengan wajah garang. "Kalo dia mati, aku bisa saja tenang. Tapi, bagaimana jika dia masih hidup?" kesal Wirma.
"Kalo dia masih hidup, kamu sendiri yang akan membunuhnya." Novi berujar dengan nada menusuk, dia sudah muak melihat wajah ketakutan Wirma.
Meski, Novi sendiri tau. Jika Enim tidak akan bisa mati semudah itu. Keluarga Enim telah menganut sebuah sekte pengabdian, bahkan memiliki ilmu turun temurun yang akan selalu diberi kepada setiap keturunan mereka.
Kehidupan Novi memang lebih liar dibandingkan dengan Wirma yang lebih banyak berdiam diri di rumah. Hal itu yang membuat Novi lebih mudah mendapatkan berbagai macam informasi. Dia juga telah mengetahui, keterkaitan Enim kepada sang kakak sejak lama. Itulah mengapa, dia selalu mengikuti Wirma kemanapun dia pergi.
Wirma berdecak kesal mendengar penuturan adiknya, memilih melangkahkan kaki saat mendengar suara ketukan pintu.
"Iya, sebentar!" ujar Wirma, suara ketukan itu terdengar tak sabar. Dia bergegas membuka pintu, menatap sang empu yang terus-menerus mengetuk pintunya.
"Bapak, udah pulang?" sapa Wirma.
Bagaskara masuk kedalam, setelah meletakkan beberapa ikan hasil tangkapan yang berukuran kecil diatas wadah air. Terdengar helaan nafas lelah, dia seperti baru saja ditimpa sebuah batu besar.
"Ada apa?" Ambu datang dengan sejuta tanda tanya, mengambil alih bawaan sang suami untuk meringankan rasa lelahnya.
"Tadi, Bapak nemuin Enim mengambang di sungai. Pas Bapak cek, ternyata dia masih hidup. Yaudah, langsung Bapak bawa aja kerumahnya!" jelas Bagaskara, seseorang yang telah menyelamatkan nyawa Enim.
Catat! Menyelamatkan nyawa Enim, itu berarti sebuah bencana akan datang kepada Wirma, sekaligus Novi.
"Enim masih hidup?" tanya Wirma spontan, tubuhnya kembali bergetar mendengar nama itu.
"Iya, ada apa?" Bagaskara yang belum mengetahui apapun, hanya kebingungan melihat ekspresi terkejut dari mereka.
"Dia masih hidup?" tanya Wirma lagi.
"Tadi saat Bapak selamatkan Enim, keadaan dia sangat memburuk. Mungkin sudah lama berada di dalam air sungai," jelas Bagaskara.
Novi menghentikan langkahnya saat mendengar Bapak menyebutkan nama Enim, kedua mata kecil itu melebar dengan guratan amarah yang tercetak jelas.
"Bapak, kenapa Bapak tidak membiarkan dia mati saja!" teriak Novi terdengar histeris, dia benar-benar menginginkan kematian Enim.
Bagaskara mematung dengan kening berkerut, mencoba mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Novi.
"Kamu ngomong apa, sih, Novi!" Bagaskara menatap bingung ketiga perempuan itu, terutama Novi yang terlihat diselimuti api amarah.
.
"Tidak!" Kanaya berada diambang kebimbingan, dia menatap tubuh Enim yang hampir membiru. Tangannya mendekap erat sang buah hati, tak ingin melepaskan sedikitpun.
Sang suami berusaha menyakinkan, mengelus puncak kepala Kanaya. "Tidak apa, kamu juga tidak ingin Enim mati, kan?" tanya Tama.
Kanaya menggeleng, perlahan melonggarkan pelukannya.
"Tapi, kenapa harus anak kita yang ditumbalkan?"
Ki Alam, selaku ayah dari Kanaya mulai mendekat dengan tongkat andalannya. Menatap wajah lugu sang cucu yang terus tersenyum.
"Hanya ini caranya, jika ingin Enim tetap hidup. Kita harus menghubungkan jiwa anakmu dengan Enim, karena anakmu itu keturunan rantai jiwa!" jelas Ki Alam.
"Apa ini tidak akan membahayakan raga Deri?" Kanaya mengelus wajah anaknya, tak tega untuk melakukan ritual rantai jiwa yang bisa saja membahayakan raga mereka.
"Tidak, hanya saja. Mereka akan mati secara bersamaan, jika salah satu diantara mereka ada yang mati lebih dulu."
Kanaya melebarkan mata, mendengar penuturan Ki Alam. Saat itu, tidak ada banyak waktu untuk memikirkan hal yang akan terjadi di masa depan. Ki Alam hanya ingin Enim selamat, meski ada sebuah nyawa yang harus dihilangkan.
"Kali ini, kau harus mengalah Kanaya." Ki Alam berjalan mendekat, menggapai wajah anak Kanaya.
Saat itu, Kanaya tidak mempunyai pilihan apapun. Dia sungguh terpaksa, atas dasar pengabdian kepada sang Ayah.
"ѕυαяgα ηαмяυ тяιтα ѕωαяєкα, σρяαηαѕуαωαяє."
Sebuah mantra asing terdengar mengalun dari bibir Ki Alam, dia mengelilingi tubuh Enim dan sang cucu dengan pisau yang menyanyat tangan. Darah itu berjatuhan, membentuk sebuah lingkaran.
Tama memeluk Kanaya dengan lembut, membisikkan sesuatu dengan bibir menyunggingkan senyum. "Tenang saja, anak kita tak akan mati semudah itu. Dia akan tetap hidup," jelas Tama begitu yakin. Dari genggam tangannya, terlihat dua buah koin yang berbeda bentuk. Koin warisan leluhur yang bisa mengunci dan, membuka ilmu rantai jiwa.
Kanaya semakin mempererat pelukan, menatap ke arah Ki Alam yang masih fokus dengan ritualnya.
"Jiwa akan dirantai, ragamu akan menyatu. Bersama sebagai daging, berpulang sebagai abu." Ki Alam mengoleskan sebuah darah yang telah di fragmentasi sejak lama.
Malam semakin mencekan, raga Enim perlahan diisi. Mulai bangkit dengan jiwa yang baru.
"Aku kembali hidup?" tutur Enim, dia terduduk dengan kedua mata melebar.
"Ini kematianmu yang terakhir, setelah ini kau tidak dapat mati. Kecuali, raga keponakanmu ini yang mati terlebih dahulu." Ki Alam menjelaskan, dia mengembalikan sang cucu kepada Kanaya.
Enim menyeringai, dadanya bergemuruh. Menyuarakan balas dendam yang akan dia limpahkan kepada keluarga Bagaskara, akibat penolakan dari anaknya itu.
"Besok, akan aku buat keluarga Bagaskara menderita. Darah akan bercucuran dimana-mana dan, Wirma. Dia akan memohon ampun di bawah kakiku!" gumam Enim, wajahnya terangkat dengan angkuh.
Kanaya tidak mengetahui, rencana apa yang akan Enim lakukan. Tapi yang pasti, dia harus mencegah semua itu terjadi. Sebelum banyak korban yang berjatuhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Makan Mayit
رعبWirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik untuk menguak lebih dalam mengenai sosok itu. Apakah dia benar adanya atau hanya sebuah karangan b...