Berikan bintang, agar cerita ini semakin cepat berkembang. 🚀
...
"Deri!" Berulang kali aku mengedipkan mata, melihat sekeliling tempat yang asing.
"Siapa?" tanyaku ingin mendekat, tapi terhalang dengan sebuah pohon besar.
Suara perempuan itu terus-menerus memanggil, membuatku terlena dengan suara medayunya. Langkahku semakin mendekat, namun ia tetap tak tergapai.
Perempuan itu malah semakin menjauh.
"Hei, kamu dimana?" Suaraku menggema, mencari perempuan yang tak aku kenali itu.
"Disini ...." Wewangian khas gula merah menyeruak dengan tajam disertai suara bisikan yang terasa sangat dekat.
Lari, aku berlari tanpa diminta. Seakan ada sesuatu yang mendorong tubuhku untuk mendekati dirinya. Hingga aku berhenti, tepat didepan perkuburan yang pernah kutemui. Wangi itu semakin menyengat, membawaku ke salah satu kuburan yang terlihat masih basah.
"Wirma binti Bagaskara." Nama itu tertera pada batu nissan dihadapanku.
Aku bersimpuh tanpa sebab, menangis. Sebuah tangisan yang tak mengeluarkan air mata, tapi darah.
"Ohalah, Nang. Sungguh naas sekali nasibmu!" Sebuah tangan menggapai pundakku, aku tak dapat melihat wajah dari perempuan itu. Tubuhku terpaku pada batu nisan dengan tangis yang terus mengeluarkan darah.
"Kehidupan dan kematian, keduanya sama-sama neraka bagiku." Suaranya berubah menjadi sendu, bahkan terdengar lirih.
"Aku korbannya ... aku," gumamnya nyaris berbisik. "akulah korbannya!" Perempuan itu berteriak, mengeluarkan suara nyaring yang membuat kedua gendang telingaku berdengung.
Erangan serta rintihan, terdengar di segala penjuru arah. Kedua tangan perempuan itu
memutar kepalaku, hingga aku dapat melihat dengan jelas rupa wajahnya."Wi-rma," gumamku dengan tersendat-sendat.
Perempuan itu, Wirma. Ia tersenyum lebar menunjukkan barisan giginya yang runcing.
"Deriko Rahardja, mari ikut bersamaku!"
Aku berteriak dengan kedua mata membulat, menatap ke arah Rafa yang masih tertidur pulas diranjangnya.
"Cuman mimpi," gumamku berusaha mengatur nafas.
Langkahku beranjak menuju luar rumah melihat matahari yang telah terbit. Menenangkan pikiran sejenak dari mimpi buruk yang menghantui, sosok itu benar-benar meneror ku.
Aku terus berjalan, menghampiri pompa air manual untuk mencuci muka. Rasanya jauh lebih segar.
"Orang kota ya, Mas?" sapa seorang pria dengan tangan menggenggam cangkul.
"Iya, Pak. Baru kemarin sore datangnya," jawabku dengan tersenyum ramah.
"Jam berapa, Mas?"
Aku mengingat sejenak. "Pas mau magrib kayaknya, Pak."
Pria itu menampilkan raut terkejut, entah apa yang dipikirkannya. "Wah, selamat sampai tujuan. Hebat, kalo begitu saya duluan dulu, mau ke ladang!" ucapnya berlalu pergi.
Aku tersenyum dengan canggung, merasa aneh dengan pria yang memuji dengan kata'hebat'. Seakan jalan menuju ke desa ini sangat berbahaya, atau memang berbahaya? Entahlah.
"Woi, Deri. Mau kemana lagi lo?" panggil Rafa dengan wajah khas bangun tidurnya.
"Jalan-jalan bentar, ikut lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Makan Mayit
TerrorWirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik untuk menguak lebih dalam mengenai sosok itu. Apakah dia benar adanya atau hanya sebuah karangan b...