"Dimana ya, piringnya?" Aku lelah terus mencari."Itu, dibawah lemari, Nang."
"Eh, iya. Ketemu! Makasi-" Kalimat ku menggantung di udara. Menyadari jika aku sendirian di gudang ini, lalu siapa yang menjawab pertanyaan ku? Oh, Tuhan. Kenapa sosok itu tak berhenti meneror ku.
"Nang, kenapa diam?" Terdengar suaranya lagi, membuat aku mau tak mau harus menghadapi. Ya, menghadapi sesuatu yang sama. Tak mungkin aku akan berdiam saja seperti patung.
"Duh!" Sebuah tangan menyentuh pundak, dengan kepasrahan aku membalikkan badan. Sambil sedikit memejamkan mata, terlihat rupa seseorang yang berada dibelakang ku itu.
"Bik Ima?" Aku menghela nafas syukur, ternyata Bik Ima yang menyentuh pundak ku. Benar-benar senam jantung dibuatnya.
"Ya, siapa lagi? Kamu aneh banget, diajak ngobrol malah diam!" ucap Bik Ima kesal sendiri.
Aku menyengir kuda, rasa takut akibat teror Wirma membuat aku selalu berpikiran negatif disetiap saat.
"Bibi ngapain kesini?" tanyaku sambil membawa peralatan makan yang dibutuhkan. Sedangkan Bik Ima tidak membawa apa pun, kami berdua berjalan beriringan menuju area dapur.
"Nyari sapu ijuk, gak ketemu-ketemu. Malah ketemu kamu," jawab Bik Ima.
Aku hanya manggut-manggut saja, lalu kami berpisah arah karena Bik Ima tiba-tiba berbelok.
"Rafa!" Pria itu akhirnya terlihat juga, sedari tadi dia menghilang entah kemana.
"Darimana lo?" tanya Rafa.
"Lo yang darimana?" Suaraku sedikit meninggi, enak sekali dia bisa menyantap kue tanpa harus bekerja.
"Habis beres-beres." Berdusta sekali, wajahnya saja sudah penuh dengan selai kue.
"Nih, bantuin gue angkat piring!" Aku memberikan semua piring sekaligus, menitahnya untuk segera menuju dapur.
Rafa bersungut, wajahnya seakan mengatakan tak terima saat aku menyuruh dia.
"Nak Deri, tolong ambil kan cangkul di halaman belakang!" Suara seseorang memanggil nama ku. Baru saja aku ingin bersantai ria sambil menyantap kue yang menggiurkan. Astaga, apa tak ada orang lain yang bisa disuruh? Aku mana tau letak rumah megah ini.
"Enggeh, Pak." Sudahlah, aku turuti saja dengan langkah pasrah. Berjalan kembali melewati samping rumah, agar lebih cepat menuju halaman belakang.
Dari kejauhan, terlihat banyak tumbuhan berwarna putih yang menghiasi lahan kosong itu. Seperti sebuah jamur, namun hanya tumbuh di tanah.
"Itu cangkulnya!"
Langkah kaki ku terhenti saat tanpa sengaja tersandung sesuatu. Terjatuh dengan posisi lutut mencium tanah, membuat kaki sedikit terkilir.
Aku meringis, mengumpati tumbuhan lembek yang membuatku terjatuh. Namun saat diperhatikan, ada yang aneh dengan tumbuhan yang membuat kaki ini tersandung. Bentuknya tak wajar, seperti sebuah jari-jari tangan yang mencoba keluar dari dalam tanah.
"Mayat?" gumamku mendekati tumbuhan tersebut, tekstur yang lembut membuat aku semakin yakin jika itu ialah mayat seseorang.
Aku bangkit dengan nafas berderu, melihat sekeliling halaman yang dipenuhi dengan tumbuhan yang menyerupai potongan tangan maupun kaki.
Perlahan langkahku semakin menjauh, menyaksikan tangan-tangan pucat itu mulai mengeliat. Berkali-kali sudah aku mengucek mata, memastikan apa yang sedang kulihat di depan mata. Sialnya, salah satu tangan itu malah bergerak. Menggapai kedua kakiku, hingga kembali jatuh ke tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Makan Mayit
HorrorWirma, si pemakan mayat. Itu yang tertulis didalam sebuah artikel, aku sebagai penulis horor yang suka berkelana untuk mencari bahan cerita. Tertarik untuk menguak lebih dalam mengenai sosok itu. Apakah dia benar adanya atau hanya sebuah karangan b...