45 || Pondasi

30.4K 3.9K 2K
                                    

Assalamualaikum..

Mari bernostalgia sedikit dengan cerita di masa lalu eaak

Jam berapa kamu baca ini??

Semoga kamu selalu bahagia. Sakit itu mahal, tapi sehat jauh lebih mahal. Untuk itu, jaga kesehatan kalian, jangan sampai sakit:)

Doakan yang lagi sakit semoga cepat sembuh yaaa, aamiiin🤲

Selamat Membaca......
.
.
.

Alara memejamkan matanya siap menerima tamparan yang akan dilayangkan oleh Aurita. Namun, beberapa detik kemudian ia tak kunjung merasakan apapun pada pipinya. Hal itu membuatnya kembali membuka mata.

Ada tangan seseorang yang menahan pergelangan tangan Aurita. Dia Vernan—sepupu Aurita.

"Jangan berurusan sama dia lagi, ayo pergi." Laki-laki itu menggendong Cia dan menarik paksa tangan Aurita untuk pergi.

Alara menatap kepergian orang itu dengan bengong dan Zaina langsung menyadarkannya.

"Kak Alara nggak apa-apa?" tanya Zaina terdengar sangat khawatir.

Alara tersenyum, kemudian menggeleng. "Enggak, aku nggak apa-apa, Na," jawabnya.

"Ayo, Kak," ajak Zaina bermaksud kembali ke tempat Zayden dan Elvano berada.

Alara mengangguk.

"Na, tolong jangan bilang ke mereka kalo tadi kita ketemu Aurita, ya," mohon Alara.

Zaina langsung menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Memangnya kenapa, Kak? Siapa mereka?" tanyanya.

"Kak Elvano, Kak Zayden maupun yang lainnya sangat membenci Aurita," jawab Alara.

"Benci? Dia salah apa kalo Zaina boleh tau?"

"Karena mereka menganggap Aurita yang menjadi penyebab meninggalnya almarhum Kak Dylan." Alara menjawab. Suaranya terdengar sedih. Hal itu yang membuat Zaina semakin penasaran.

"Apalagi Kak Elvano, eh udahlah ya, malah cerita," kekeh Alara. Wanita itu mempercepat langkahnya dan meninggalkan Zaina beberapa langkah di belakangnya dengan rasa penasaran.

Merasa Zaina tidak mengikutinya, jalan Alara berhenti.

"Na, Ayo!" panggil Alara.

Zaina tersenyum dan mengangguk. Perempuan itu segera menyusul Alara.

***

"Loh, kalian beli apa?" tanya Zayden saat tidak melihat apapun yang dibawa oleh Zaina maupun Alara.

Zaina menyengir. Tangannya langsung terulur. Kening Zayden mengernyit hingga menimbulkan garis kerutan di keningnya.

"Minta uang hehe, aku nggak bawa uang, Kak," jawab Zaina.

Elvano beralih melihat ke arah Alara yang sama halnya dengan Zaina. Senyum-senyum tidak jelas. Kemudian tangannya menengadah.

"Minta duit," ucapnya. Persis seperti anak kecil yang meminta dibelikan permen.

"Istri gue, udah punya anak dua masih aja gemesin," gumam Elvano.

"Sama kita aja, bilang aja sebenarnya kalian mau beli apa?" tanya Elvano mewakili Zayden.

Zaina menatap Alara penuh tanya. Sebenarnya ia juga tidak tau ingin membeli apa.

"Apa, ya ...." Alara membeo dan nampak berpikir.

Elvano berdecak kesal. "Gini, nih, kebiasaan perempuan," gerutunya.

Zayden hanya terkekeh. "Pulang aja gimana?"

𝐙𝐈𝐍𝐍𝐈𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang