07 || Menyelinap

55.7K 6.4K 1.1K
                                    


.
.
.

Hanya ada dua pilihan untuk Zayden sekarang. Maju dan masuk ke dalam kawasan itu atau mundur alias pulang.

Jika ia pulang berarti sia-sia usahanya datang ke sana. Jarak dari rumahnya ke pesantren itu lumayan jauh, hampir menempuh waktu dua jam.

Mata coklat gelap itu melirik sekilas ke arah jam di pergelangan tangannya. Hampir jam dua belas malam.

Aksinya kali ini benar-benar nekat. Datang ke pesantren hampir tengah malam.

"Maju atau mundur?" gumamnya.

"Maju aja. Seorang Zayden nggak pernah mundur sebelum dapat apa yang dia inginkan."

Perlahan kaki laki-laki ambisius itu kembali melangkah. Namun, saat sudah tepat di depan gerbang yang menjulang itu ia kembali berhenti.

"Rencana gue, kan, masuknya diam-diam," gumamnya.

Apa mungkin laki-laki itu akan menyelinap masuk ke dalam pesantren? Yang benar saja, jika ia ketahuan bagaimana?

Ulangi sekali lagi, ia ingin menyelinap masuk ke dalam pesantren hampir tengah malam

Namun, Zayden teringat kejadian beberapa tahun lalu. Saat ia pernah tinggal di kawasan di hadapannya sekarang ini.

Iya, Zayden Abdijaya pernah tinggal di kawasan di depannya. Lebih tepatnya ia pernah merasakan dunia santri walau hanya dengan kurun waktu satu tahun.

Ia hanya bertahan saat kelas 1 MTS. Karena tidak betah, Zayden kerap kabur dari asrama, baik memanjati tembok yang menjulang, hingga nekat membodoh-bodohi satpam asrama.

Puncaknya saat ia baru menyelesaikan ujian akhir semester, Zayden menyerah dan meminta dipindahkan ke sekolah umum. Orang tuanya terpaksa menyetujui itu karena tidak mau Zayden berbuat hal yang tidak-tidak, terlebih lagi bisa mencemari nama baik Ma'had An-Nur (cabang Dzakirin) yang didirikan oleh Mbah atau Kakek Zaina sendiri.

"Di belakang sana ada pintu masuk dan semoga masih ada," gumam Zayden. Dengan santai ia berjalan di samping tembok tinggi yang menuntunnya hingga ke belakang pesantren.

Bibirnya tertarik ke atas saat melihat pintu kecil itu masih ada. Tetap saja ia akan memanjat terlebih dahulu agar bisa masuk. Setidaknya pintu itu tidak setinggi gerbang utama.

"Udah lama nggak cosplay jadi monyet," kekehnya.

Perlahan tapi pasti, Zayden mulai memanjati pintu itu. Sebisa mungkin ia tidak menimbulkan suara. Zayden tidak bisa menjamin jika nanti ia tidak bertemu dengan salah satu santri di sana. Oleh kerena itu ia harus mencadangkan berbagai alasan jika nanti kepergok.

Laki-laki itu berhasil masuk. Namun, sayangnya ia harus berusaha lebih keras lagi agar bisa masuk ke ndalem yang letaknya di kawasan santriwati. Sedangkan saat ini ia berada di kawasan santri putra.

Jaraknya cukup jauh, karena kawasan putra dan putri dibatasi oleh lapangan seluas lapangan bola kaki. Bisa dibayangkan jaraknya?

"Anggap aja ini perjuangan pertama gue," menolog Zayden sambil membersihkan tangannya yang kotor.

Laki-laki itu masih menggunakan pakaian kerja. Kemeja putih dipadukan dengan celana bahan berwarna hitam. Tidak seperti pegawai biasa, karena menggunakan seragam apapun itu wajahnya mendukung.

Terkadang Elvano menyindir Zayden karena penampilan laki-laki itu layaknya seorang bos. Padahal ia hanya memakai kemeja biasa, sama seperti pegawai biasa lainnya.

Kata Eki jika sedang meledek Elvano, wajah Zayden itu vibes-nya seorang bos, sedangkan wajah Elvano itu vibes-nya tukang ojek pengkolan.

Lupakan hal itu, kembali lagi dengan usaha Zayden untuk bertemu dengan sang istri rahasianya.

𝐙𝐈𝐍𝐍𝐈𝐀 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang