Chapter 06

146 18 0
                                    

Happy Reading!

•••

Hari sudah beranjak sore, namun kesembilan pemuda yang saat ini masih berada di basecamp itu tak berniat untuk pulang. Mereka masih sibuk dengan ponsel masing-masing.

Saveri yang duduknya dekat dengan Julian tiba-tiba saja menepuk bahu Julian pelan.

Julian menoleh. "Kenapa?" tanyanya.

"Itu kembaran lo gue perhatiin dari tadi senyum-senyum sendiri, kenapa?" Saveri menjelaskan alasan dirinya menepuk bahu Julian.

Julian lantas langsung memperhatikan Haikal. Benar, adik kembarnya itu terlihat senyum-senyum sendiri sembari memainkan ponsel.

"Udah gila lo Kal, senyum-senyum sendiri sama hp!"

Mendengar celetukan Julian, kini semua pandangan mengarah pada Haikal yang masih belum sadar. Dirinya juga seperti tidak mendengar perkataan Julian.

Naren yang duduk di dekat Haikal tentu saja langsung menyadarkan Haikal dari fokusnya dengan ponsel.

"Kenapa?" tanya Haikal bingung.

"Lo yang kenapa? Senyum-senyum sendiri gitu, gila lo?" tanya balik Rezvan.

"Ish, enak aja. Gue masih waras ya." Haikal menyangkal, dirinya tak terima dikatai gila.

"Terus kenapa senyum-senyum sendiri Bang?" Kali ini Caka yang membuka suara.

"Gue lagi chatting an sama ayang lah, kalian kepo banget ya."

"Ayang?" tanya Julian, Selio, Yoshua dan Saveri serempak. Haikal mengangguk sebagai jawaban.

"Lo punya pacar sejak kapan?" tanya Julian merasa heran, perasaan dirinya tidak pernah lihat Haikal dengan cewek deh, tiba-tiba sudah punya gandengan saja.

"Sejak tadi siang," balas Haikal santai. "Gue balikan sama Anin."

"Hah?!" Respon keempat pemuda itu hampir sama dengan respon Caka, Rezvan dan Naren tadi.

Saveri, Selio dan Yoshua saling tatap. Berbeda dengan Julian yang langsung kembali santai seperti semula.

"Congratulations kalau gitu," ucap Julian kepada sang adik.

Haikal tersenyum sumringah. "Thank you!"

"Kita tunggu PB-nya ya," celetuk Juna yang sejak tadi hanya menyimak.

"PB apaan?" tanya Selio merasa baru mendengar singkatan itu.

"Pajak balikan, hahaha," jawab Juna diselingi dengan tawa ngakaknya.

"Tenang, besok di kantin umum kampus gue yang bayarin pesenan kalian." Mendengar ucapan Haikal, semua bersorak gembira, tanpa terkecuali.

Sepuluh menit kemudian, Saveri berdiri, dirinya mengambil sweater yang sempat dirinya lepaskan tadi, dan memakainya kembali pada tubuh tegapnya.

"Mau kemana lo?" tanya Yoshua.

"Gue balik duluan deh, nanti malam bakalan ada orang tua gue berkunjung ke kost-an soalnya, terus gue juga mau ngabarin bos gue kalau gue izin gak masuk," jelas Saveri.

Saveri memang tinggal disebuah kost-an. Hampir sama dengan Julian dan Haikal yang memilih tinggal di apartemen karena jarak dari rumah ke kampusnya jauh.

Dan satu lagi, Saveri bekerja part time disebuah cafe yang merupakan milik om-nya. Sebenarnya Saveri orang yang bisa dibilang berkecukupan, namun entah mengapa dirinya malah memilih bekerja sambilan kuliah.

Kedua orang tuanya sudah pernah melarang Saveri untuk bekerja sebelum waktunya. Namun, dengan dalih ingin mandiri, akhirnya Saveri diperbolehkan untuk bekerja, dengan catatan tidak menggangu waktu kuliah.

"Hati-hati!" seru Rezvan mewakili semua yang disana saat Saveri sudah akan melangkah keluar.

"Yoi!"

•••

Tepat pukul delapan malam, setelah melaksanakan sholat Isya berjamaah, kecuali Selio dan Yoshua yang beragama Kristen. Mereka memutuskan untuk pulang ke tempat tinggal masing-masing.

Julian dan Haikal membawa motor masing-masing. Sebelum sampai di apartemen, keduanya memutuskan untuk membeli soto terlebih dahulu di pedagang langganan mereka.

"Bang, sotonya tiga ya, seperti biasa."

"Siap!"

Mata Haikal mengedar ke segala arah. Dirinya membaca satu-persatu tulisan yang berada di gerobak pedagang kaki lima. Hingga netranya terhenti pada gerobak martabak yang terlihat sepi pembeli.

"Gue mau beli martabak dulu," ucap Haikal dengan dagu yang mengarah pada gerobak martabak.

"Oke."

Mendapat balasan dari kakak kembarnya, Haikal melangkahkan kakinya ke arah gerobak martabak.

"Bang, gue mau martabak keju satu, sama martabak telor satu," ucap Haikal. "telornya tiga ya Bang, biar spesial kayak si crush," lanjutnya dengan sedikit candaan.

"Asik, bisa aja Masnya. Oh iya, untuk pesanannya di tunggu sebentar ya Mas."

"Oke Bang, gue duduk disana ya Bang!"

"Siap."

Setelah mendapatkan kursi, dirinya membuka ponsel. Membuka semua akun sosial medianya, siapa tahu kan Anin nge chat, pikirnya. Dan ekspektasi tak sesuai realita, karena nyatanya tidak ada chat satupun baik dari Anin maupun teman kampusnya.

Setelah dirasa tidak ada yang penting, Haikal mematikan ponselnya. Dirinya menyandarkan bahunya pada tembok dibelakangnya, kedua tangannya bersedekap. Saat menoleh ke arah kanan, matanya menyipit saat melihat seseorang yang dikenalnya.

Pandangan Haikal sedikit buram, dirinya mengucek kedua matanya. "Itu Anin bukan sih?" tanyanya pada diri sendiri. "Ngapain coba malem-malem?"

Puk

Tepukan dibahunya membuat Haikal mengalihkan pandangan ke seseorang yang menepuk bahunya, ternyata Julian.

"Lo lihatin apaan?" tanya Julian.

Haikal kembali menoleh ke sumber pandangan. Tidak ada siapa-siapa. Yang ada hanya sebuah tiang listrik disana.

Gue salah lihat kali, batinnya.

"Oh itu tadi kucing gelut," jawab Haikal tentunya berbohong. "Beli sotonya udah?" lanjutnya bertanya.

Julian mengangguk, dirinya menaikkan kantong kresek berisi soto yang dimaksud. Bertepatan dengan itu, pesanan martabak Haikal jadi.

"Ini Mas, semuanya jadi enam puluh ribu ya," ucap penjual martabak disertai dengan senyum sopannya.

Haikal merogoh kantung celananya, dirinya memberikan selembar uang berwarna biru dan ungu. "Ini Bang, uangnya pas ya."

"Iya Mas, terima kasih ya Mas." Saat melihat anggukan kepala dari Haikal dan Julian, pedagang tersebut berjalan kembali ke arah gerobaknya.

•••

TBC

[20/06/2023]

MONOLOG ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang