Chapter 11

177 23 0
                                        

Happy Reading!

••••

Di hari Sabtu yang cerah ini, secerah senyuman Haikal yang saat ini sedang  memperhatikan penampilannya pada sebuah cermin full body yang terletak di kamarnya.

Rencananya, ia akan berkunjung ke kediaman Anin hari ini.

“Makin hari, gue kelihatan makin ganteng banget,” ucap Haikal pada diri sendiri seraya menyugar poni sedikit panjangnya ke belakang, membuat Julian yang tak sengaja mendengar ucapan Haikal langsung memberikan gesture seakan ingin muntah.

“Huek, mau muntah gue dengernya,” sahut Julian yang saat ini sedang bersandar di pintu kamar Haikal yang memang terbuka lebar.

Haikal yang mendengar sahutan tersebut lantas menoleh. “Cih, ganggu aja penghuni neraka,” timpal Haikal tanpa merasa takut sedikitpun dengan perubahan abang kembarnya yang saat ini mulai mendekati Haikal.

“Apa lo bilang?”

Haikal memutarkan bola matanya malas. “Dasar budek, makanya kalau punya kuping itu dipake, jangan jadiin pajangan doang.” Haikal menatap sang abang dengan tatapan jahilnya. “Gue bilang, lo ganggu, dasar penghuni neraka,” jelasnya menekankan kata terakhirnya.

“Mau tangan yang mana?” Julian mengangkat kedua tangannya yang mengepal ke udara.

“Tangan buat apa?” tanya Haikal disertai kernyitan di dahinya.

“Buat ngebogem muka jelek lo,” jawab Julian dingin, seraya mulai memegangi bagian kerah  kemeja yang Haikal kenakan.

Saat tangan kanan Julian mulai terangkat, Haikal langsung berucap dengan cepat. “Hehe, peace Bang. Gue kan cuma bercanda,” ucapnya seraya mengangkat jari tengah dan telunjuk membentuk peace, tak lupa dengan sebuah cengiran di bibirnya.

Hal tersebut tak membuat Julian melepaskan kerah kemeja Haikal. Karena sudah kepalang kesal, Julian memilih memiting leher Haikal dan menenggelamkan kepalanya dibawah ketiaknya.

“Huaa, Abang, lo belum mandi, ketek lo bau. Lepasin!”

Bukannya melepaskan, Julian malah menghadirkan sebuah kekehan sarkas yang membuat Haikal semakin memberontak mencoba lepas dari pitingan lengan kekar Julian. “Bodo amat, rasain aja ketek wangi gue,” ucapnya santai.

“Wangi apaan? Yang ada bau menyan,” pekik Haikal yang pasti merupakan sebuah kebohongan. Karena jujur saja, walaupun Julian belum mandi, itu tak berdampak apapun pada aroma tubuhnya, badan Julian tak bau sama sekali.

Julian semakin mengeratkan pitingannya.

“HUAA, BANG MAHES, TOLONGIN GUE!”

•••

Malam menjelang, yang artinya ini sudah malam Minggu!

“Kenapa itu bocil yang suka tantrum?” tanya Mahesa yang malam Minggu ini sudah rapi dengan outfitnya, katanya sih mau kencan dengan pacar.

“Biasa Bang, lo kayak gak tahu dia aja,” jawab Julian.

Mahesa yang paham lantas mengangguk. Ia mendekati orang yang menjadi bahan pertanyaannya. “Kenapa lo cil?” tanya Mahesa pada Haikal, yang membuat si empunya nama nampak merengut kesal.

What the hell!

Haikal sudah besar ya!

Dia tidak suka dengan panggilan itu!

“Cil, cil. Gue bukan bocil ya Bang,” sahut Haikal menatap si sulung tajam.

“Terus apa dong?” Mahesa menaikkan kedua alisnya.

“Bayi,” jawab Julian yang ikut nimbrung setelah mendekati keduanya.

Haikal semakin merengut. “Anjing ya kalian berdua,” umpatnya kesal.

“Heh! Your language!” seru Mahesa menatap sang adik penuh peringatan.

“Habisan, bikin gue kesel aja. Jadi, jangan salahin kalau gue refleks ngumpat,” ucap Haikal mencoba membela diri.

“Oke, gue tanya sekali lagi.” Karena tak mau memperpanjang masalah, Mahesa memilih kembali ke topik pertama. “Lo kenapa? Gue lihat dari tadi ngelamun aja, mikirin apa?”

“Mikirin, gimana caranya supaya gue sama Anin bisa langsung nikah tanpa perlu minta restu orang tua,” jelas Haikal asal. Karena, bukan itu yang sedang dirinya pikirkan saat ini. Melainkan perihal lain.

“Sinting,” gumam Julian mengumpati sang adik dengan pelan. Kalau keras, takut kena semprot Mahesa dia.

“Sakit lo ya?” tanya Mahesa seraya mengecek kening Haikal, siapa tahu kan panas. “Pertanyaan lo ngawur banget.”

“Enggak, gue sehat kok.” Haikal menurunkan tangan Mahesa yang masih bertengger di keningnya. “Udah ah sana, katanya mau kencan, keburu malem,” ucapnya berusaha mengalihkan.

Mahesa yang ingat dengan agendanya itu lantas mengangguk, tak menanyakan lebih lanjut perihal apa yang membuat Haikal lebih banyak diam.

“Yaudah, kalau gitu gue pamit!” Mahesa mengambil dompetnya yang sempat ia letakkan diatas meja. “Baik-baik kalian di rumah! Jangan berantem terus!” lanjutnya sebelum menutup pintu apartemen.

“Iya,” jawab Julian dan Haikal bebarengan.

Tanpa disadari Mahesa, Haikal sempat menghela napas lega. Dan Julian tak bodoh untuk menyadari hal itu.

“Gak malam Mingguan lo Kal?” tanya Julian selepas menyetel televisi.

“Nggak Bang, malam ini gue mau di rumah aja.”

“Nggak biasanya,” gumam Julian. “Kenapa lo? Lagi marahan sama Anin?”

Haikal lantas menggeleng. “Nggak, gue baik-baik aja sama dia.”

“Terus, kenapa dari tadi ngelamun terus?”

Haikal menghela napas sebelum akhirnya memilih mengungkapkan apa yang membuatnya banyak berpikir. Jika dengan Mahesa dirinya masih bisa mengelak, tidak dengan Julian. Entah mungkin karena keduanya kembar, membuatnya lebih mudah bercerita pada Julian.

Karena Julian seolah tahu apa yang dirasakan Haikal. Entah itu jika sedang sedih, gelisah bahkan senang sekalipun.

“Gue ngerasa, selama hampir sebulan gue ngejalin hubungan lagi sama Anin, ada yang beda. Nggak kayak awal kita ketemu dan milih buat lanjut lagi hubungan kita ini.”

“Beda gimana?” tanya Julian sok penasaran.

“Gue ngerasa, ada yang lagi di tutup-tutupi sama Anin, tapi gue gak tahu itu apa. Soalnya, setiap gue tanya dia selalu ngalihin pembicaraan.”

"Tadi juga, pas gue mau ke rumah Anin, dia ngelarang pakai nada tinggi.  Katanya, di rumahnya belum di bersihin, makanya jangan dulu ke rumah. Aneh banget kan?"

Julian terdiam saat mendengar penjelasan tersebut. “Mau denger pendapat gue gak?”

“Pendapat apa?”

Julian menghela napas, sebelum dua kata keluar dari mulutnya.

“Lo aneh!”

••••

TBC

[04/01/2024]

MONOLOG ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang