Chapter 15

189 16 2
                                    

Happy Reading!

••••

Kepanikan itu ternyata tak hanya terjadi pada Julian dan Naren. Namun terjadi juga pada Mahesa yang sudah diberi tahu perihal Haikal yang masuk rumah sakit.

Saat ini, ia dan sahabat adiknya -Rezvan. Sedang berjalan cepat menuju ruangan tempat dimana Haikal di periksa. Dapat keduanya lihat, Naren yang sedang mencoba menelpon seseorang, dan Julian yang sedang mondar-mandir sembari sesekali menggigiti kukunya cemas.

“Haikal gimana?” tanya Mahesa membuat fokus Julian dan Naren teralihkan.

“Masih di periksa dokter Bang,” jawab Julian, sedangkan Naren kembali mencoba menghubungi sang adik.

“Kok bisa gini? Tadinya kenapa?” tanya Rezvan meminta penjelasan.

“Gue gak tahu pastinya, yang jelas ada nomor gak dikenal ngehubungin gue, pas diangkat, orang tersebut katanya nemuin Haikal yang pingsan di taman deket apartemen, karena panik dia dibantu sama orang-orang sekitar buat bawa Haikal ke rumah sakit,” jelas Julian sambil sesekali mengetuk-ngetuk jarinya pada tembok di sebelahnya, mencoba mengalihkan rasa khawatir yang menderanya.

Mahesa yang menyadari perilaku sang adik langsung menenangkan dengan cara membawa tubuh kekar Julian kedalam pelukan. Ia usap-usap punggung tersebut dengan teratur.

“Tenang, Haikal pasti baik-baik aja,” bisiknya tepat di dekat telinga Julian.

“Gue nggak bisa tenang sebelum tahu keadaan Haikal Bang.”

Mahesa tersenyum kecil. Ini salah satu sifat adik kembarnya, yang terkadang membuatnya menggelengkan kepala. Jika didekat Haikal keduanya akan lebih sering beradu argumen, sedangkan jika sedang jauh atau salah satunya sakit, pasti keduanya akan merasa khawatir berlebihan, seperti sekarang contohnya.

“Iya, gue juga sama. Tapi, kita berdua harus tenang, jangan lupa berdoa sama Tuhan!”

Ucapan tersebut diangguki Julian, bahkan Rezvan dan Naren juga ikut mengangguk.

Pasti, semuanya pasti akan mendoakan.

Ceklek

Mahesa melepaskan pelukannya saat mendengar pintu dihadapannya terbuka. Memunculkan lelaki berusia dua puluh tahun keatas dengan snelli putih dan stetoskop yang tergantung di lehernya.

“Gimana keadaan Haikal, Kak?” tanya Mahesa langsung.

Orang yang dipanggil ‘Kak’ oleh Mahesa tersenyum. “Haikal gak papa kok, kalian tenang aja. Dia pingsan karena syok sepertinya,” jawab dokter yang kita sebut saja Dirga -dokter muda yang sangat-sangat Julian dan Mahesa kenali karena merupakan kerabat jauh mereka. Tak hanya keduanya, bahkan Rezvan dan Naren pun kenal, karena saking seringnya Haikal ditangani oleh Dirga selama sebulan ini.

Sering ditangani? Selama sebulan? Memang Haikal sakit ya?

Bukan sekali dua kali Haikal dibawa ke rumah sakit, dalam sebulan ini sudah lima kali Haikal ditangani Dirga -seorang psikolog yang tahu betul dengan kondisi Haikal.

•••

Mata mengerjap milik Haikal membuat Mahesa, Julian beserta sahabatnya mendekati bangsal Haikal.

“Dek!” panggil Mahesa saat mata Haikal sudah terbuka sepenuhnya.

Haikal merubah posisinya menjadi duduk bersandar pada bantal yang sudah Mahesa susun. Ia menatap orang-orang di sekelilingnya satu-persatu.

“Anin mana?”

Pertanyaan itu membuat semua yang disana bungkam, dan langsung saling melirik.

“Gue nanya, bukannya dijawab, malah lirik-lirikan gitu. Dah kayak drama romansa aja,” cibir Haikal.

“Bang!” panggil Juna. “Lo beneran gak inget ya?” lanjutnya membuat Haikal bingung. Inget apa? Pikirnya.

“Maksudnya?”

“Anin udah gak ada,” celetukan dari Julian membuat Haikal semakin bingung.

“Udah gak ada gimana? Orang dia tadi habis dari alun-alun sama gue.” Haikal memperhatikan reaksi semua orang yang berada disana. “Oh, gue tahu. Maksud lo dia udah gak ada karena udah pulang ke rumahnya kan Bang?”

“Anjir, gue tadi udah mikir kemana-mana, ternyata maksud lo Ayang gue udah pulang toh, haha,” lanjutnya seraya tertawa kecil.

“Anin gak ada bukan pulang ke rumah sementaranya, tapi ke rumah abadinya,” sahut Mahesa.

“Hah?” beo Haikal sembari mencerna ucapan sang abang. “Apasih Bang, maksud lo Anin udah meninggal gitu? Lo lagi prank gue ya? Asu banget pranknya keterlaluan sampai bawa-bawa nyawa.”

“Itu bukan prank, tapi kenyataannya Kak Anin emang udah gak ada Bang, sejak lima bulan yang lalu.” Caka ikut membuka suara, ia tatap Haikal dengan pandangan sendu.

“Lo jangan ikut-ikutan prank gue deh Cak, gak mempan tahu gak,” ucap Haikal memalingkan wajahnya, saat melihat wajah-wajah yang dilihatnya sedang memperhatikan dirinya dengan pandangan mengiba.

“Kal! Anin emang udah men---”

Prang!

“DIEM!”

“PRANK-NYA UDAHAN AJA.”

“GAK LUCU TAHU GAK.”

Suara gelas yang dilemparkan Haikal beserta teriakannya membuat Julian dan Mahesa langsung mendekati Haikal yang sedang menutup telinganya dengan kedua tangan.

“Anin belum meninggal, gue hari ini main ke alun-alun sama dia. Kalian bohongnya kelihatan banget.”

“Dek, semua yang kita ucapin itu bener, bukan kebohongan. Anin emang udah meninggal,” ucap Naren.

“Anjing, kalian semua bikin gue kesel. Keluar aja sana!”

Mahesa, Julian, Rezvan, Naren, Caka dan Juna tak mengindahkan usiran Haikal.

“GUE BILANG KELUAR!”

Bentakan dengan nada marah itu tak serta merta membuat kedua abang dan sahabat Haikal beranjak.

Mendapati respon keenamnya, malah membuat Haikal menitikkan air mata. Apalagi saat bayang-bayang kejadian lima bulan lalu melintas di kepalnya, membuatnya makin menangis, semakin kencang dan terdengar menyayat hati bagi siapa saja yang mendengar.

Ditengah isakannya, bibirnya terus bergumam, “Nggak mungkin, Anin nggak mungkin ninggalin gue.”

Julian mendekati Haikal, ia bawa tubuh bergetar kembarannya dalam pelukan, sesekali kepalanya mendongak, mencoba menghalau air mata yang berdesak keluar, walaupun itu sia-sia. Air mata yang ia tahan tetap keluar juga.

Tak hanya Julian yang menangis, semua yang disana juga ikut menangis. Apalagi saat mendengar tangisan pilu Haikal.

••••

TBC

Itu untuk yang minta double up, maaf kemaleman.

[29/01/2024]

MONOLOG ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang