Chapter 06: I don't know you.

1.3K 174 13
                                    

KESEHARIAN Jaeyun selalu diwarnai dengan tingkah beraneka ragam dari Heeseung. Terkadang, itu terasa sangat melelahkan untuk terus menuruti kemauan Heeseung dan selalu mengawasinya setiap saat. Namun, terkadang pula itu hanya terasa seperti mengawasi adiknya atau malah seremeh bermain dengan binatang peliharan.

Tunggu sebentar! Ini bukan berarti Jaeyun melabeli Heeseung sedemikian rendah. Justru sebaliknya, Jaeyun-lah yang merupakan binatang peliharan bagi keluarga Lee. Hidupnya yang semula harus berusaha ekstra kini telah dijamin segala-galanya. Tempat untuk berteduh dan tidur yang nyaman, makanan dengan gizi terjamin, dan yang jelas adalah uang yang lebih dari cukup. Jelas saja nyonya Lee menarik presensi bibi Park di kediaman ini dan membiarkan Heeseung mengurus segalanya. Sebab, mana mau mereka rugi 'memelihara' Jaeyun hanya untuk bermalas-malasan setelah segala fasilitas yang mereka beri?

Jaeyun mengganti kecepatan kipas angin menjadi lebih rendah, tatkala menemukan Heeseung sudah jatuh tertidur begitu lelap ke alam mimpinya. Sekarang pukul sebelas siang. Itu merupakan jadwal Heeseung untuk tidur siang. Biasanya Heeseung hanya perlu dua jam dan akan bangun dengan sendirinya di pukul satu. Merupakan alarm alami yang telah tertanam di alam bawah sadar Heeseung, yang Jaeyun tebak adalah manifestasi dari kebiasaan yang sudah diterapkan sejak lama.

Bunyi bising samar dari mesin cuci yang tengah dioperasikan mengisi penjuru rumah. Sembari menunggu cucian selesai, Jaeyun berniat untuk mengupas buah. Heeseung pasti akan kegirangan jika bangun nanti menemukan salad atau smoothie yang menyegarkan di siang terik musim panas.

"Astaga, ini sudah waktunya belanja bulanan?" gumam Jaeyun ketika menemukan isi kulkas yang kosong melompong menyisakan beberapa butir telur yang tersisa, pakcoy, pisang yang tinggal dua buah, dan kemasan susu yang sisa separuh.

Jaeyun mulai berpikir apakah ia yang tidak cakap dalam mengalokasikan bahan-bahan yang ada, atau memang bibi Park yang kebetulan terlambat mengantarkan belanjaan bulanan?

Atau haruskah Jaeyun mulai berbasa-basi untuk melakukannya sendiri? Berbelanja bulanan memang terdengar sepele. Namun jika itu untuk perempuan seusia bibi Park pasti juga cukup menyita energi. Ditambah Jaeyun yang masih bugar (dia masihlah pemuda berumur awal duapuluh) dan tidak mungkin juga Jaeyun hanya akan terus bergantung pada bibi Park, mengingat 'kontrak kerjanya' dengan keluarga Lee yang 'mungkin saja' berlaku seumur hidup.

"Tidak mungkin aku yang salah. Sekarang bahkan sudah lebih dari tanggal satu. Tetapi sangat mustahil juga bibi Park bisa lupa seperti ini." monolog Jaeyun sembari mengecek kalender lewat ponselnya.

Mengesampingkan kebingungannya, Jaeyun yang menyadari dengungan mesin cuci telah usai segera bergegas memindahkan pakaian-pakaian miliknya dan Heeseung ke keranjang pakaian. Berniat untuk mengangin-anginkan pakaian mereka di luar, sebelum bunyi bel mengurungkan niatan Jaeyun.

Dengan langkah cepat Jaeyun berjalan ke arah depan. Siapa gerangan yang bertamu ke kediaman Heeseung? Mengingat tidak ada satupun tetangga yang pernah singgah (sebab tentu saja Jaeyun tidak pernah beramah-tamah dengan mereka, juga tentu saja keluarga Lee yang terkesan tertutup dan eksklusif) kalaupun itu bibi Park, di hari-hari biasanya jika beliau mampir juga tidak pernah membunyikan bel. Hanya masuk seperti pemilik rumah sendiri.

Jaeyun buru-buru menggunakan sandal dan berlari di pekarangan menuju pintu gerbang. Membuka pintu kayu yang cukup berat itu dengan seluruh tenaganya, lalu terpaku menemukan seorang pemuda yang begitu asing di matanya.

Siapa?

"Popsicle?" tawar pemuda itu masih dengan sebuah ice cream stick berwarna hijau muda di mulutnya. Suara husky-nya terdengar semakin berat setengah bergumam karenanya.

Dengan ragu-ragu Jaeyun mengambil sebungkus popsicle berperisa melon yang pemuda itu sodorkan padanya. "Terimakasih," cicit Jaeyun pelan.

Pemuda itu lantas mengigit habis popsicle miliknya dan membuang stick kayunya sembarang. Mengelap telapaknya yang lengket terkena lelehan kudapan manis itu di celana jeans belel yang ia pakai, lalu ganti menyodorkan tangan. "Park Sunghoon." Jaeyun menatap bergantian telapak tangan dan wajah pemuda berkulit putih pucat kemerahan, mungkin efek terlalu lama berada di ruang terbuka hanya dengan kaus tanpa lengan. Keraguan begitu jelas tergambar di wajah blasteran Jaeyun.

"Oh, astaga! Hampir lupa! Aku cucu Park Seongjin." sambungnya kemudian. Jaeyun meloloskan 'oh' kecil dari bibirnya. Mengangguk paham. Disambutnya uluran tangan dari Sunghoon, "Sim Jaeyun, salam kenal."

"Ini, aku bermaksud mengantarkan belanjaan bulanan. Maaf sangat terlambat. Sebenaenya nenek sudah memberitahuku dari kemarin, tapi aku malah dengan ceroboh membuat janji dengan teman." jelas Sunghoon dengan raut menyesal.

"Tidak masalah, Sunghoon. Terimakasih karena sudah membelikan semua ini untukku. Dan juga, popsicle-nya." Jaeyun mengangkat bungkus popsicle sembari mengulas senyum paling tulus yang ia miliki. Jelas akan sangat tidak etis jika ia dengan serta-merta menyalahkan cucu bibi Park itu atas keteledorannya. Toh, yang terpenting saat ini belanjaan bulanannya sudah berada di tangan.

Jaeyun membenci segala hal yang rumit. Sebab kehidupannya sendiri sudah terlampau rumit untuk dipikirkan. Jadi ya, sudahlah. Semuanya Jaeyun sikapi sebagaimana wajarnya saja. Menyikapi segala sesuatu dengan cara seperti itu hanya akan berujung pada adu argumen. Memperkeruh suasana yang ada, bukannya memperbaiki kesalahan yang sebelumnya tercipta.

Sunghoon tiba-tiba membuang wajah. Kedua bola matanya berkejaran. Dia tampak gugup. "A-Ah itu...biar kubawakan ke dalam, ya Jaeyun? Ini agak berat jika kamu bawa seorang diri." Jaeyun tanpa berpikir dua kali mengangguk. Dia juga lelah ngomong-ngomong setelah mengurus rumah dan juga jelas saja mengurus Heeseung.

Ini bahkan baru setengah hari, astaga.

"Mau kubantu menatanya di kulkas sekalian, Jaeyun?" sekali lagi Sunghoon menawarkan kemurahan hatinya, namun kali ini Jaeyun jelas sungkan untuk menerima. Ia cukup tahu diri. "Oh, tidak! Tidak perlu, Sunghoon. Kamu bisa pulang sekarang. Terimakasih, sekali lagi."

"Kamu mengusirku?"

Hah?

Rahang Jaeyun seketika jatuh. Baiklah, ini agak cukup tidak biasa.

"M-Maksud Sunghoon...apa...ya?" kekehan kering Jaeyun sama sekali tidak menolong suasana yang terlanjur menjadi kaku. Sedangkan di depannya, Sunghoon terlihat sama sekali tidak merasa terganggu dengan itu.

Wajahnya yang berkeringat dengan rambut kecoklatan yang tampak lepek juga badan yang menguarkan bau matahari akibat aktivitas di luar ruangan berdiri tanpa ada tanda-tanda rasa gentar. Park muda terlihat serius dengan kalimatnya dan itu semakin membuat Jaeyun kebingungan dengan apa yang sebenarnya tengah Sunghoon susun di dalam kepalanya.

Tiba-tiba saja Sunghoon tertawa. Gigi taringnya terekspos begitu saja dengan mata yang menyipit. Jaeyun cukup takjub dengan itu. Fitur wajah pemuda itu sungguh atraktif. Ditambah dengan moles yang teracak di beberapa titik wajahnya. Posturnya yang tinggi-tegap, juga kulitnya yang sungguh putih cenderung pucat.

Jaeyun bertanya-tanya dalam hati, telah berapa banyak insan yang selama ini telah jatuh pada pesona menyilaukan itu?

"Oh Jaeyun, maafkan aku." Sunghoon tertawa lagi. Menyisakan Jaeyun yang kebingungan tentang apa yang terlihat atau terdengar seperti komedi bagi Sunghoon.

"Aku tidak bermaksud untuk menakutimu. Apa aku baru saja terlihat seperti seseorang yang terobsesi? Maafkan aku. Tapi sungguh," kedua tangan Jaeyun (yang mana sebelah kanan masih menggenggam popsicle yang mulai mencair) digenggam, sedikit ada penekanan di sana. Jelas sudah pelakunya siapa, itu Sunghoon dengan mimik wajahnya yang seolah tengah meyakinkan pacarnya akibat kesalahpahaman kecil.

Baiklah, baiklah, itu hanya pengandaian. Jaeyun tidak pernah berpikiran untuk memiliki kisah semacam itu, kok!

Bukan tidak pernah sih, Jaeyun hanya...mungkin, tidak sempat. Mengingat kembali bagaimana kehidupannya sebelum 'dipungut' dan 'dipelihara' oleh keluarga Lee. Tidak ada waktu yang tersisa di keseharian Jaeyun selain untuk bekerja, bekerja, bekerja, dan terus bekerja, lalu istirahat sebentar, kemudian dilanjutkan bekerja lagi.

"Aku benar-benar bermaksud baik, Jaeyun. Hanya ingin membantu. Anggap saja ini sebagai bentuk permintaan maafku karena sudah menunda mengantarkan belanjaan bulanan, bagaimana?" tawar Sunghoon dengan binar di kedua matanya. Pemuda Park itu tampak begitu menggebu-gebu, entah mengapa.

Jaeyun terlihat berpikir. Tetapi, belum sempat Jaeyun memberikan jawaban, Sunghoon sudah lebih dulu melanjutkan kalimatnya. "Kamu bisa duduk dulu, makan popsicle ini sebelum benar-benar mencair, okay? Oh, atau mungkin membuatkanku jus jeruk?" ujar Sunghoon sembari mengangkat sekantung penuh buah jeruk yang terlihat begitu cantik dengan kulit oranye dan beberapa tangkai daunnya yang masih tersisa.

Betapa Jaeyun membenci sifatnya yang satu ini. Dia tidak pernah bisa untuk berkata tidak



;

Jaeyun's Question Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang