Chapter 21: Bite your tongue.

1K 106 18
                                    

TAWA kering Jay yang mengudara di detik selanjutnya bagai penyelamat bagi otak Jaeyun yang dipaksa bekerja di luar batas. Jaeyun menemukan bagaimana sorot teduh netra kelam Jay membingkai dirinya. Juga kurva tipis yang menghias wajah tegas itu, yang seolah tengah membisikkan kata 'tak apa' untuknya.

Sebuah pertanda bahwa Jay tidak sungguh-sungguh menuntut jawab darinya. Walaupun tidak ditunjukkan dengan sebuah komunikasi verbal. Dan Jaeyun entah mengapa begitu bersyukur atas itu. Tentang, Jay yang cukup tahu batasan di mana keduanya belumlah sedekat itu untuk saling terbuka.

Setidaknya, pikir Jaeyun demikian.

"Jaeyun belum pernah jatuh cinta, ya?" tebak Jay menerka-nerka. Matanya mengerling main-main.

Jaeyun tahu bahwa Jay sebenarnya (mungkin saja) dapat membaca dirinya. Di mana, itu merupakan sebuah pertanyaan retoris. Akan tetapi, Jaeyun akhirnya memilih menggeleng pelan.

"Aku berani bertaruh Jay sudah mengoleksi berlusin-lusin mantan kekasih, benar?" kelakar Jaeyun, berusaha mendistraksi Jay akan kehidupan romansa Jaeyun yang kelabu.

Lalu, manakala Jay kembali tertawa (kali ini begitu lepas) Jaeyun hanya tersenyum dan menandaskan cokelat hangat di tangan. "Yang benar saja?!" jeda, Jay mengusap ujung matanya yang berair dengan begitu dramatis.

"Aku bukan tipikal yang seperti itu, serius!" sanggah Jay kemudian.

Jaeyun mengangguk-angguk meski ekspresi di wajahnya menampilkan sebuah raut mencemooh. "Begitu? Sangat disayangkan, wajah serupawan itu tidak dimanfaatkan dengan benar." balas Jaeyun tak kalah dramatis. Membuat Jay tersenyum begitu lebar hingga netra elangnya tenggelam oleh kelopak mata.

"Menurutku, aku tipikal yang loyal, sih?" kopi kembali Jay sesap. Pandangannya menerawang jauh. Menggali-gali memori di ingatan. "Well, one night stand tidak masuk hitungan. Itu normal, bukan? Sesuci apapun, kita tetaplah manusia yang membutuhkan penyaluran hasrat." tutur Jay tanpa beban.

"Tapi aku melakukan itu ketika sedang tidak dalam status, kok! Aku cukup waras untuk itu, astaga! Jangan berpikir yang buruk-buruk tentangku, dong!" Jaeyun hanya terkekeh mendengar Jay yang berpikir bahwa keterdiaman Jaeyun adalah sebuah simbol dari penyudutan sepihak bagi opini Jay.

Padahal tidak.

Tentu saja tidak.

Sebagai seorang 'pendosa', Jaeyun tidak mempunyai wewenang bahkan hanya untuk sekedar menuduh Jay sebagai seseorang yang disloyal. Sebab, ia adalah satu-satunya pelaku atas tindak tersebut di sini.

"Siapa yang menuduhmu berbuat hal serendah itu, Jay?" tanya Jaeyun bersama senyum tipis yang tersungging di wajah. Mati-matian menahan rasa bersalah yang bercokol di relungnya.

Oh, begini rasanya menjadi manusia munafik?

Begitu pahit di benak. Itu seperti kamu menelan kembali muntahanmu yang hendak keluar dari rongga mulut.

Rasanya begitu menjijikkan. Itu kotor, dan merupakan tipikal noda yang sukar untuk dihilangkan. Atau mungkin, tidak akan bisa untuk dihilangkan. Bersifat permanen, yang mana itu akan menghantui setiap langkah dalam kehidupan.

Dan semua itu juga yang belakangan Jaeyun rasakan. Segala hal kecil, bahkan ucapan-ucapan sepele tanpa konteks terasa menyinggung dirinya atas romansa main api yang ia perbuat di musim panas lalu.

Jaeyun begitu muak rasanya terpenjara dalam rasa menjemukan ini. Ingin terbebas. Namun, di lihat dari sudut pandang manapun, rasanya Jaeyun tetaplah penjahatnya di sini. Deretan sikap baik dan terpujinya di masa lalu yang tak terhitung dan tanpa cela kini musnah hanya oleh satu salah yang ia miliki.

Jaeyun's Question Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang