Chapter 18: Lily of the valley.

938 124 9
                                    

RINAI hujan jatuh menyapu segala yang berada di permukaan bumi. Membasahi apapun yang semula gersang tersengat panas mentari selama berbulan-bulan lamanya. Membawa wangi petrichor samar tercium oleh penghidu. Intensitas curah hujan yang semakin tinggi dan udara yang menjadi lembab adalah hal biasa untuk musim gugur. Itulah mengapa mulai saat ini Heeseung berkeliaran dengan baju berlengan panjang lengkap dengan sepasang kaus kaki dengan warna-warna mencolok di dalam rumah, atau jikalau tidak, ia akan dengan mudah terserang flu.

Hari ini sepasang kaus kaki dengan motif karakter Winnie the Pooh melapisi sepasang tungkai Heeseung yang berdiri bersandar pada wastafel kamar mandi beralaskan sandal rumah bulu-bulu yang empuk, membelakangi cermin. Jaeyun tampak fokus di hadapannya. Dengan telaten mengoleskan shaving foam pada area dagu dan atas bibir Heeseung yang mulai ditumbuhi bakal-bakal kumis serta jenggot. Wajar, Heeseung juga merupakan laki-laki normal meski tingkah lakunya sebanding dengan balita.

"Jaeyunie! Jaeyunie! Lihat! Lihat! Heeseung jadi Santa!" sorak Heeseung dengan senyum lebar yang mengembang di wajahnya. Tampak begitu berseri-seri, berbanding terbalik dengan mendung yang bergulung-gulung dan tengah memuntahkan muatannya di luar sana.

Jaeyun terkekeh ringan, mengangguk memberi konfirmasi. "Iya, iya...sekarang hadap sini lagi, Heeseung." bujuk Jaeyun seraya membawa bahu yang lebih tua untuk kembali menghadap padanya, ketika sebelumnya ia mencuri detik untuk bercermin.

Heeseung terkikik lirih, masih menemukan bahwa tampilannya dengan busa cukur di sekitar mulutnya begitu lucu di pikiran. Lalu tatkala pikirannya surut, Heeseung hanya diam. Berkedip lambat, melihat bagaimana Jaeyun menggerakkan alat cukur di atas permukaan kulit wajahnya dengan begitu perlahan.

Mungkin takut Heeseung teruka. Mungkin juga takut Heeseung merasa sakit. Memikirkannya membuat Heeseung tersipu. Ditambah lagi dengan tangan kiri Jaeyun yang singgah di pundak Heeseung. Itu membuat Heeseung semakin merasa diperhatikan.

Suka. Heeseung suka.

Kedua telapak tangan Heeseung yang semula diam di sisi tubuh rasanya 'gatal' seketika. Heeseung membuka lalu mengepalkan telapak tangannya secara berulang. Gerak-geriknya nampak gusar. Manik matanya berkejaran. Tidak lagi betah menatap wajah elok Jaeyun di hadapannya.

Tanpa sadar, Heeseung melupakan fakta bahwa ia dan Jaeyun bahkan tak memiliki sekat sedikitpun. Hanya udara yang hanya setengah meter, ditambah memang Heeseung begitu mudah dibaca, Jaeyun jelas sadar akan perubahan yang Heeseung dengan begitu saja tunjukkan.

"Heeseung?" panggil Jaeyun dengan suaranya yang sehalus bisik. Gerak tangannya otomatis terjeda.

Yang merasa dipanggil berjengit di tempatnya berdiri. Heeseung mendengung singkat sebagai jawab. Dengan gelagapan maniknya mencoba mencari manik coklat pemuda Sim. "Iya? Heeseung di sini, Jaeyunie!" balas Heeseung setelahnya bersama tawa kering yang mencurigakan. Membuat alis Jaeyun hampir menyatu, apa ada yang salah?

"Heeseung merasa sakit? Jaeyun terlalu cepat mencukurnya, ya?" melihat raut khawatir Jaeyun, Heeseung seketika menggeleng cepat. Ia mencebikkan bibir seraya menegakkan tubuh. Berusaha meyakinkan Jaeyun bahwa ia baik-baik saja. Tidak kesakitan atau hal-hal buruk lain yang kini menghuni kepala Jaeyun.

"Tidak, kok! Jaeyun pintar sekali mencukur Heeseung. Tidak sakit! Heeseung tidak merasa kesakitan! Jaeyunie jangan sedih, okay?" ujar Heeseung dengan nada menggebu-gebu andalannya. Jemari tangannya menggamit ujung baju yang Jaeyun kenakan, menariknya kecil untuk mendekat. Jelas saja membuat Jaeyun semakin kebingungan dibuatnya.

Hazel Jaeyun menatap Heeseung yang berdiri menjulang di hadapan, lalu menunduk, memeperhatikan bagaimana gerakan jemari Heeseung yang terkesan gamang menariknya perlahan melalui gamitan kecil di ujung baju.

Jaeyun's Question Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang