Shahnaz benci keheningan, apalagi didalam mobilnya. Biasanya jika sendirian, ia akan menyetel musik keras-keras melakukan karaoke disana seraya mengemudi.
Namun saat ini ia pikir ia bisa menahannya. Alasannya adalah seseorang di kursi penumpangnya. Ada Radit yang terlelap disana, Shahnaz tidak ingin mengganggunya.
Gadis itu mencebikkan bibirnya, mencibir bosnya yang tadi ingin menyetir. Baru nyender kursi aja udah molor, bukannya pulang kerumah yang ada ke rumah sakit, decihnya.Kaki Shahnaz menginjak rem saat lampu lalu lintas berubah merah. Menghela napas saat kembali melihat penumpangnya lalu matanya tertuju pada hoodie yang tersampir di kursi belakang.
Ia meraihnya dengan tangan lain, lalu menyelimuti penumpangnya dengan itu. Melakukannya sangat pelan agar Radit tidak terbangun."Jangan bikin bingung, Pak. Kalo gue baper nggak ada yang bisa tanggung jawab selain gue sendiri. Hidup gue udah cukup ruwet. Nggak perlu di tambah-tambahin sama puzzle yang lo kasih, gue takut nggak cocok jadi pelengkapnya." Syahnaz bergumam seraya menatap lekat penumpangnya yang tertidur itu lalu mengalihkan kembali fokusnya pada jalanan saat rambu berubah hijau.
Shahnaz bukan tidak mengerti, walaupun selama dua puluh lima tahun belum pernah menjalin hubungan tapi Shahnaz tahu, dirinya tidak bodoh.
Radit sedang mencoba mencari celah untuk menyusup pada benteng pertahanan Shahnaz, gadis itu bisa merasakannya.Shahnaz seringkali kewalahan sendiri menambal celah yang coba dikorek oleh Radit karena terkadang hatinya bertentangan dengan logika.
Radit itu baik, tampan dan berkharisma, tidak sulit untuk jatuh cinta pada pria itu maka Shahnaz kerap lengah dan terlena lalu menjadikan Radit bisa mengorek celah itu lebih dalam sebelum disadarkan kembali oleh realita bahwa mereka jauh berbeda.
Mereka tidak bisa bersama, itu yang harus selalu Shahnaz tekankan pada dirinya. Ia patri dalam ingatannya.Radit membuka mata dan menyadari telah sampai di pelataran gedung apartementnya. "Udah sampe?" Tanyanya dengan nada serak mengusak mata dan menutup mulutnya yang menguap.
"Hm."
"Kita udah berapa lama disini?"
Shahnaz memusatkan fokus pada ponsel miliknya, ia menjawab tanpa menatap pria itu, "Setengah jam yang lalu."
"Kenapa nggak dibangunin?" Tanyanya lagi, sekarang pria itu melakukan peregangan pada tubuhnya, dan pertanyaannya hanya dijawab kedikan bahu oleh Shahnaz.
"Ayo masuk." Ajak pria itu kemudian, kali ini dibalas gelengan tegas, Shahnaz menaruh ponselnya dipangkuan lalu menatap Radit, "Tanpa mengurangi rasa hormat, tugas saya nganter Pak Radit udah selesai, saya mau pulang."
Radit mengernyitkan keningnya, "Kenapa nggak mau masuk?" ia bertanya tidak mengerti.
"Kenapa saya harus mau masuk?"
Kening Radit mengernyit lebih dalam, mengapa pertanyaannya dijawab oleh pertanyaan lain? Rumit sekali wanita dihadapannya ini. Radit berdehem singkat sebelum kembali menjawab, "Saya mau berterima kasih."
"Nggak perlu, anggap aja ini imbalan makan siang beberapa hari kemarin, saya yang terimakasih."
Nada bicara yang digunakan Shahnaz cukup dingin membuat Radit merasa atmosfer diantara mereka menegang.
Pria yang baru bangun itu sempat berpikir apa tadi mengigau hal aneh atau bicara yang tidak-tidak saat tidur sehingga menyinggung wanita itu?
Shahnaz bahkan tidak mengendurkan raut wajah tegasnya sama sekali. Ini cukup mengganggunya.Radit sudah akan menjawab lagi saat Shahnaz memotong mendahuluinya, "Dan saya akan lebih berterimakasih lagi jika bapak segera keluar dari mobil saya, bagasinya sudah saya buka." Lanjut wanita itu dengan senyum dipaksakan.
Ia diusir? Tanya Radit pada dirinya sendiri dan ia sudah mengetahui jawabannya saat telinganya mendengar door lock terbuka.
[abang ini loh udah mami wanti-wanti juga, kenapa Sagita-nya masih dicuekin aja sih, bang? Mami ga mau tau ya, bang, minggu depan abang harus pulang. Dan mami harus terima kabar baik soal perkembangan hubungan kalian.]
Radit hanya mengangguk-anggukkan kepalanya meski ibunya di sebrang sana tidak bisa melihat,[abang! jangan diem aja, jawab ga? janji dulu sama mami.]
"Iya, minggu depan abang pulang dan kasih kabar ya? Sekarang abang mau istirahat dulu, boleh? Abang cape banget, Mi, nanti abang telepon balik, ya? Bye Mami sayang, abang love you."
Radit memutus panggilan sebelum Ibunya kembali menginterupsi. Ia tidak berbohong saat mengatakan dirinya lelah. Pikirannya menguras habis energinya, terlebih memikirkan apa yang terjadi pada ia dan asistennya.Tadi ketika Radit masuk kedalam kamar dan pria itu akan merebahkan diri sebuah panggilan masuk ke ponselnya, dari Sarah.
Selama Radit tidak pulang, ia totalitas mengindari ibunya. Menolak seluruh akses komunikasi langsung dengan wanita yang melahirkannya karena Radit tahu apa yang akan mereka bicarakan dan pria itu tidak memiliki jawaban atas apa yang diinginkan ibunya.Sebagai gantinya Sarah selalu melaporkan situasi dirumah selama Radit absen untuk pulang, maka jika Sarah yang memanggil, Radit akan menjawab panggilan tersebut tanpa berpikir.
Tapi kali ini bukan suara merengek Sarah yang ia dapatkan, namun omelan ibunya dari detik pertama panggilan itu Radit terima.
[Oh, gitu, ya abang, panggilan Adek diangkat langsung. Sedangkan nomer mami abang blokir. Mau jadi anak durhaka kamu?!]Shahnaz sedang sibuk menggulir ponselnya menimang apa yang akan ia makan malam ini. Memasak bukan hal yang gadis itu kuasai, ia jarang menggunakan dapurnya selain untuk membuat nasi goreng, telur dan mie instan. Dan semua menu itu sedang tidak ingin ia makan malam ini, Shahnaz bosan, ia memutuskan untuk pesan antar saja.
Satu restoran yang menyediakan bebek panggang menarik perhatiannya. Ia baru akan memilih menu sebelum sebuah pop up pesan muncul dilayarnya, mau apalagi bosnya ini?
Gadis itu memelototi ponselnya membaca pesan Radit. "Laper aja laporan, emang gue babysitter apa? Makan malem sono sendiri!" Gerutunya sembari menutup jendela pesan mereka.
Shahnaz sudah akan mengabaikan pria itu dengan tidak membalas lagi pesannya. Bukan urusannya Radit ada disana, apalagi tanpa izinnya dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Shahnaz merasa tidak memiliki urusan lain dengan pria itu diluar pekerjaan, dan pekerjaannya sudah ia pastikan selesai dengan baik sebelum akhir pekan.
Lagipula.. demi Tuhan, ini hari libur! Tidak bisakah Radit membiarkannya bersantai sebentar?Namun pesan yang ia abaikan berubah menjadi panggilan beruntun tidak ada hentinya, mengganggunya yang akan menekan tombol pesan. Argh! Gadis itu mengerang kesal. Ia menyambar cardigan yang ada dibahu sofa lalu membuka pintu dan turun sambil menggerutu menyumpahi bosnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
INVISIBLE STRING | WONWOO X LISA [END]
Fanfiction🚨 this works has been labeled with mature sign, some parts of the story contains mature scenes. do not cross your line, BE WISE. "I wont give up on us, Didi." Nadira Shahnaz memandang nanar pada pria yang memohon didepannya. Lelaki yang ia kenal t...