✿ Bab 9

1.3K 61 3
                                    

"Carmila, dia anak yang baik, apa adanya dan juga mandiri. " Ona selaku Ibu pura-pura Carmila kini terkekeh kecil. Matanya menatap sepasang suami-istri yang ia tahu adalah Bibi dan Paman dari Tuan Putrinya. "Sudah ada pelayan yang selalu siap mengurusi keperluannya. Tapi, dia selalu melakukannya sendiri." Lanjut Ona.

Eiden yang berada disamping Ona selaku Ayah yang mengadopsi Carmila kini menggandeng tangan istri pura-puranya dengan mesra. "Kami sangat bangga juga bahagia bisa mengurus Carmila. Iya' kan Bun?"

Ona diam membeku saat mendapati tatapan dari Eiden. Wanita itu sangat terpesona dengan senyuman hangat dan mata teduh milik laki-laki itu. Meski hanya pura-pura, akting Eiden begitu natural membuat dadanya berdegup kencang. Melihat Eiden yang mengangkat alis meminta jawaban, Ona jadi terkesiap. "Eh, iya. Kami sangat mencintai Carmila dan sudah menganggap sebagai anak kami sendiri."

"Syukur pada Tuhan kami ucapkan." Ucap Bibi Carmila--Nova--sambil tersenyum hangat. "Kami juga sebagai orang tua Carmila ikut senang. Saya takut kalo Carmila kurang kasih sayang orang tua, setelah Mama dan Papanya meninggalkan anak itu."

"Jangan khawatir. Carmila akan kami tanggung biaya hidupnya dan kami berjanji dia akan terjamin juga kehidupannya." Eiden kembali berkata yang membuat Nova tersenyum saat menatap keponakannya Carmila. Gadis itu kini sedang menonton TV serial kesukaannya, Upin dan Ipin.

Sudah berapa lama Carmila tidak melihat kartun adik berkakak lucu itu. Sementara kini dering ponselnya berbunyi. Pun, ia sudah sangat kangen dengan benda kotak ber casing unicorn miliknya yang tertinggal dirumah selama ia di Nekvera tidak membawa apa-apa. Saat dicek ternyata itu balasan chat dari Dinda.

Hari ini adalah hari minggu, Dinda mungkin sedang nongki dicaffe bersama teman-temannya.

Dinda lope

Gue gak ada dirumah
Kngen njir
Lo jahat Mil

Tepat sasaran. Setelah berbagai chat yang isinya sumpah serapah dari Dinda, temannya memberikan lokasi dimana ia berada.

Mata Carmila melirik pada para orang tua. Pun, Eiden dan Ona kini berubah menjadi orang dewasa bak suami istri yang klop. Eiden dengan janggut yang menambah kewibawaannya sementara Ona dengan bibir merah cerah bak wanita sosialita. Yups, sihir tingkat menengah.

Kaki kecil Carmila mengarah pada mereka. Ia sudah bosan dan ingin pergi keluar.

"Bibi Nova, Mila mau ketemu Dinda sekarang. Mila kangen." Ungkap Carmila menyela membicaraan mereka.

Nova tersenyum memeluk Carmila untuk kesekian kalinya. "Jaga diri kamu baik-baik ya?"

Mila mengangguk lantas menyalami Pamannya--Han yang duduk disebelah Nova. "Mila pamit ya, Om."

"Jangan lupa sesekali main kesini, ya? Zalfa mungkin kangen nanti." Ucap Han mengelus kepala Carmila penuh kasih sayang. Ah, Zalfa si bayi lucu, anak dari paman dan Bibi nya itu tengah terlelap tidur setelah lelah bermain dengan Carmila tadi.

"Iya, Om." Ucap Carmila dengan penuh sesak. Karna ia tidak tahu akan kembali ke dunia manusia ini atau tidak. Akan bertemu mereka lagi atau tidak. Tak ingin berlama-lama, Carmila melenggang pergi membiarkan Eiden dan Ona yang mengucapkan salam perpisahan antar orang tua.

Granz?

Ah, laki-laki itu tengah diam di mobil. Dan, saat melihat Carmila keluar. Granz membuka pintu mobil itu sambil tersenyum. "Apakah sudah?"

"Belum." Sahut Carmila. "Mila mau pergi ketemu Dinda. " Katanya, sambil melihatkan lokasi yang mau ia tuju diponsel pada Granz.

Saat Granz ingin meraih ponsel milik gadisnya, tanpa sengaja mata coklat itu menatap jari manis milik Granz. Jari manis laki-laki itu dihiasi cincin cantik berbentuk ular putih. Kening Carmila terlihat berkerut seperti ada yang janggal akan benda itu.

Tapi perhatiannya teralihkan setelah Ona dan Eiden datang, perintah tuan putri Carmila adalah hal utama sekarang. Mereka lantas segera bergegas menuju keberadaan Dinda.

»»——⍟——««

Pikirannya kosong. Namun, begitu. Matanya aktif menatap kendaraan yang berlalu lalang dari jendela kaca Caffe bernuansa anak muda jaman sekarang. Riuh-riuh remaja yang bercanda gurau disebelahnya tak sama sekali ia pedulikan. Helaan nafas terdengar darinya. Ia sendirian. Bosan. Kerjanya hanya menghabiskan uang.

"Dinda."

Merasa namanya dipanggil, ia menengok ke arah sumber suara. Matanya langsung berbinar dengan senyuman merekah.

"Mila, lo?"

Carmila yang sudah 100% tau itu adalah Dinda langsung berlari lantas memeluk temannya itu penuh rindu.

"Mila kangen, tau."

Dinda melepaskan pelukannya menatap Carmila dengan wajah kusam. "Lo bener-bener ya. Gak ada kabar. Main pergi-pergi aja."

"Maafin." Kata Carmila dengan wajah sungguh-sunguh. Ia melirik bangku samping dimana Eiden dan Ona sedang duduk lalu kembali menatap Dinda. "Orang tua angkat Mila ngedadak banget jemputnya. Mila juga gak tau kalo Mila diadopsi. Bibi sama Om gak ada bilang apa-apa juga sama Mila. Jadi, ya gitu."

"Iya, dah iya." Ucap Dinda pada akhirnya. Ia menatap wajah Carmila yang dilihat semakin tembam. "Lo tinggal dimana sekarang? Seneng banget keknya sampe pipi lo udah bulet gitu."

Carmila diam sejenak. Lalu tersenyum tenang. "Di Jepang. Mama dan Papa angkat Mila tinggal dan kerja disana. Mila seneng karna tiap hari disediain tomat kesukaan Mila."

Kini Mata Dinda menyapu badan Carmila dari atas sampai bawah menilai penampilan temannya sekarang. "Baju lo juga keliatannya mahal banget. Orang tua lo pasti kaya, ya?"

Lagi. Carmila melirik Eiden dan Ona disebelah diikuti Dinda yang ikut menoleh. "Ya gitu, deh. Eh, Dinda ngapain aja selama Mila gak ada?" Ucap Carmila mengalihkan topik.

Dinda tertawa hampa. "Pergi ke club malem-malem, pulang pagi. Traktir temen. Shopping gak jelas. Gitu deh, boring gue gak ada lo."

"Pikirin masa depan, Dinda." Kata Carmila sambil geleng-geleng kepala.

Yang diberitahu hanya mengangkat bahu acuh. "Masih belum kepikiran. Tapi, kalo udah punya duit sendiri gue mau nyusul lo ke Jepang. Gue bisa main kerumah lo, kan?"

Carmila langsung diam mematung tak tahu harus menanggapi bagaimana. "Mila gak yakin." Katanya, ia mulai merasakan mata yang memanas mengingat ia tinggal tidak di mana-mana di dimensi dunia ini.

"Kok gitu?"

"Carmila." Seru seseorang cukup keras.

Percakapan mereka tiba-tiba terpotong dengan kedatangan Granz. Ia tahu suasana disini semakin tidak kondusif setelah dari awal ia mengamati kedua gadis itu dari luar caffe. "Kita pulang sekarang."

"Siapa, Mil? Abang lo?" Tanya Dinda sambil melirik Carmila yang sudah meneneskan air mata. "Loh, malah nangis ni bocah. Kenapa?"

"Carmila sedang sakit. Dan, harus istirahat." Sahut Granz sambil mengusap punggung Carmila. "Kami pamit pulang. Jaga dirimu baik-baik, Carmilaku tidak suka kau seperti berandalan. Ayo, sayang."

Setelah mengucapkannya Granz melenggang pergi membawa Carmila yang tengah menangis sesegukan diikuti Eiden dan Ona di belakang. Sementara Dinda memiringkan kepalanya mencerna apa yang sedang terjadi.

"What? Maksudnya Carmilaku?"

Carmila Di Kerajaan NekveraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang