3.

317 66 9
                                    

Seperti biasa ketika menjelang sore, Sana akan duduk di tepi pantai sendiri, memandang hamparan langit orange, rasa sakit hatinya tak kunjung sembuh.

Tak ada yang dia lakukan, dia hanya diam terkadang matanya mengerjap karna angin yang menerpa wajahnya. Senja selalu menawarkan kebahagiaan bersamaan dengan kesedihan di dalamnya.

Suara air yang mengalir, mengahantam karang, dia terkadang berfikir, apa kurangnya dia? Kenapa dia bisa mendapatkan jalan percintaan yang semenyedihkan ini.

Matahari diujung laut lambat laun mulai terbenam, dia baru saja meneteskan air matanya saat matanya mulai menjelajahi galeri foto pada handphone. Tanpa ragu dia menghapus gambar dirinya yang terlihat bahagia bersama seorang laki-laki yang menyakiti nya. Sampai pada slide terakhir, dia terdiam, pandangannya semakin kabur karna air mata yang menumpuk dikelopak mata.

Pada saat itu dia tidak pernah berfikir kalau akhirnya akan seperti ini, dia yang menggunakan balutan busana pernikahan terlihat sangat cantik tentu dengan laki-laki yang begitu dia cintai.

Suara isakannya tak bisa dia tahan lagi, suara menyedihkannya beradu dengan suara ombak yang kian riak, seolah menyambut siapapun yang menumpahkan kesedihannya. Tangannya juga seperti kebas enggan menghapus foto itu.

Dia menengadahkan kepalanya, berharap air matanya berhenti untuk terus keluar. Terkadang dia bisa menjadi pribadi yang begitu kuat tapi terkadang dia bisa menjadi begitu lemah hanya karna mengingat mantan kekasihnya.

Padahal bumi terus berputar sekalipun dia terus merasa tersakiti.

"Mba.. "

Dia yang mendengar sapaan itu segera menghapus air matanya. Dia yang terduduk sekarang langsung berdiri, dia masih menundukan kepalanya terlalu malu untuk bertemu orang lain.

"Mba.. "

Sekali lagi seseorang dihadapannya berbicara, mungkin memastikan bahwa dia baik-baik saja. Suaranya juga terdengar begitu ragu. Dia yang sudah siap dilihat oleh orang lain, kini balik menatap wajah orang dihadapannya.

"Oh mba lagi ternyata.. "

Dia mengerutkan dahinya tampak bingung karna laki-laki dihadapannya seperti mengenalnya. "Kenapa ya mas?"

"Mas?"

Laki-laki yang berdiri dihadapan Sana tak lain adalah Tzuyu, tak seperti siang tadi, kini Tzuyu memakai pakaiannya dengan lengkap.

"Ya, Mas kenapa?"

Setelah mengerti Tzuyu jadi mengangguk, dia terlalu asing untuk panggilan 'Mas' di Bali. Setelah mengamati wajah wanita didepannya, dia jadi membulatkan matanya.

"Bu Sana?"

"Mas kenal saya?"
Sana semakin dibuat bingung akan laki-laki yang terlihat mengenalnya, dia memang buruk untuk mengingat wajah orang asing. Bahkan jika bertemu teman lama nya dia hanya berpura-pura mengingat mereka, padahal nyatanya dia sama sekali tidak ingat. Jangan kan teman lama, karyawannya di kantor saja dia tidak tau satu persatu siapa nama mereka.

Dengan senyum merekah, Tzuyu langsung memberikan uluran tangannya. "Aksa, Kakanya Sullyon, yang tadi siang ibu anter loh." Wajah Tzuyu berbinar, dia tidak menyangka bisa bertemu dengan Guru dari adiknya. Profesi Guru di sini memang sangat dihormati. Tzuyu tentu kagum karna Sana masih terlihat sangat muda, di desanya jarang sekali Guru yang masih muda.

"Oh.. "

Mendengar jawaban Sana yang singkat dan tak menyambut tangannya, Tzuyu menarik kembali uluran tangannya. Dia jadi tersenyum kaku, berusaha ramah karna mau bagaimanapun yang ada dihadapannya ini adalah seorang guru.

SUNSET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang