17.

300 66 11
                                    

"Ini apa?! Saya ga pernah tanda tangan berkas ini??"
Wajah Sana sudah sangat merah menahan emosi yang siap kapan saja meledak, dia menyodorkan data-data tidak masuk akal yang asistennya berikan.

Asisten yang tidak tau apa-apa jadi meringis, dia menunjuk berkas yang ada didepan Sana dengan ibu Jarinya. "Disitu ada keterangannya semua bu, semua atas permintaan dari Pak Junho."

"Dia bilang sudah atas izin Ibu."

"Junho?"

Asisten yang sudah bekerja puluhan tahun bersama keluarga Sana mengangguk dengan wajah takut.

"Mo!"

"Kamu itu kerja sama saya, udah berapa lama?!"

Momo diam, dia cuma bisa menunduk, dia sangat mengerti bagaimana hubungan Sana dengan Junho sekarang. Dia rasa kondisi hati Sana juga masih tidak stabil untuk membahas mengenai Junho.

"Sejak kapan saya nyerahin berkas penting lewat perantara??" Kata Sana lagi.

"Tapi kan Pak Junho, Pac-"

Tarikan nafas Sana, membuat Momo tak melanjutkan ucapannya.
"Oke—"Sana mencoba tenang, asistennya ini mungkin memang tidak tau apa-apa. Wajar saja kalau Momo menyetujui saja apapun yang Junho minta, karna dulu Sana menyerahkan semuanya pada Junho, orang juga mungkin tidak akan segan mengatakan kalau Sana sangat mempercayai Junho.

"Sekarang kamu kumpulin berkas-berkas yang lain, kamu emaile ke Saya aja, yang ini kamu kirim ke pak Banu, nanti dia kesini sore."

"Baik Bu."

Momo mengundurkan diri, pergi dari hadapan Sana. Sana memang sudah ada di Jakarta, dia tidak bisa terus mencurigai Junho tanpa bertindak apa-apa. Jadi dia meminta asisten nya untuk melaporkan semua data mutasi-mutasi dana selama Junho menjabat sebagai supervisor marketing dikantornya.

Setelah semua laporan keuangan dijabarkan, banyak hal-hal yang janggal, dia merasa tak pernah menandatangani pengeluaran untuk properti-properti yang tak pernah dia minta, atau mengenai pengeluaran-pengeluaran yang tak jelas untuk apa.

Dia terlalu mempercayai Junho, pada nyatanya laki-laki yang dia percaya malah menghianatinya dari segala aspek, membangun perusahaan sendiri yang sekarang menjadi kompetitor perusahaanya. Saham perusahaannya jadi anjlok, team marketing juga sudah pusing untuk mengatasi apa mau pasar.

Suara pintu tertutup meloloskan nafasnya, dia sandarkan tubuhnya pada kursi. Sudah berapa lama dia tidak peduli akan perusahaan yang sudah ayah nya bangun mati-matian, sekarang malah hampir hancur, karna kebodohannya.

Suara handphone, membuyarkan lamunananya. Belum juga mengeluarkan suara, tapi suara Ayah nya sudah menginstruksi dengan suara yang tidak sabaran.

"Iya Pah."

Sana hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengar suara dari orang tuanya. Tiga bulan pergi, Sana kembali ke Jakarta juga tanpa memberi tau orang tuanya. Wajar orang tuanya jadi marah, anak kesayangan yang mereka rindukan seperti menghilang ditelan bumi. Sebenarnya tanpa Sana beritau akan pulang, pasti orang tuanya juga akan tau, semua orang dikantor nya kan bekerja untuk mengawasi gerak-geriknya. Dulu saat awal menggantikan Ayahnya, Sana selalu mendapatkan wejangan dari Ayahnya atas keteledorannya, padahal dia tidak pernah memberi tau orang tuanya, tapi Ayahnya pasti tau.

"Iya Papah, ini aku pulang sekarang."

Suara Ayah dan Ibunya masih sedang berbicara, tapi dia malah mematikannya. Sana pakai lagi blezer yang dia gantungkan, dia ambil kunci mobilnya, sesampainya dirumah pasti Sana akan lebih banyak mendapatkan wejangan.




SUNSET [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang