"Terimakasih banyak" Haerin memberi beberapa lembar uang pada supir taksi yang masih gemetar dikursi pengemudi, sebelum keluar dari mobil.
Ia melipat pisau ditangannya dan memasukkannya kembali kedalam saku.
Tidak seharusnya ia mengancam seseorang seperti tadi, namun Haerin benar-benar terpaksa.
Bahkan sepanjang perjalanan ia terus meminta maaf pada supir taksi itu karena harus menodong lehernya menggunakan pisau saat mengemudi.
Dan disinilah ia sekarang berada, tepat dihadapannya sebuah tempat hiburan malam.
Tempat yang paling dibenci ibu dan ayahnya.
Cahaya kelap-kelip dari gedung tersebut tampak lebih mencolok dari gedung-gedung disebelahnya, terdengar samar-samar musik yang tengah di putar dari dalam.
Haerin meneguk air liurnya, ia benar-benar tak menyukai tempat yang terlalu ramai dan berisik.
Dua orang pria bertubuh besar berpakaian rapih tampak tengah berjaga di pintu masuk, membuat Haerin ragu-ragu untuk masuk.
"Maaf nona, tolong tunjukkan kartu nya" cegat salah seorang pria tersebut membuatnya bingung.
Kartu? Kartu apa?
"A-ahh kartu itu-" ucap Haerin menggaruk sisi kepalanya gugup, ia tak tahu harus berbuat apa sekarang.
"Jika kau tak mempunyai kartu, kau tidak boleh masuk" ucap pria itu dengan nada tegas.
Ia berjalan pergi dari pintu utama, sedikit kecewa karena ia tak bisa masuk.
Namun tidak ingin berputus asa Haerin berjalan memutar menuju gang di sisi gedung, berharap bisa menemukan pintu lain agar ia bisa memasuki tempat mengerikan tersebut.
Dan yeah, sebuah pintu belakang terlihat tak jauh di depan matanya, ditambah pemandangan menjijikkan dari dua orang yang tengah bercumbu disebelah pintu.
Sebuah kesempatan yang bagus baginya untuk masuk kedalam secara diam-diam.
Dengan hati-hati Haerin membuka pintu yang ternyata tidak terkunci, lantas menyelinap masuk tanpa mengalihkan perhatian dari dua orang yang masih asik dengan dunia mereka.
Musik terdengar lebih keras saat ia mulai memasuki ruangan, Haerin terus berjalan menyusuri lorong untuk menuju ruang utama.
Terlihat orang-orang tengah berdesakan tampak hanyut dalam lantunan musik bervolume tinggi yang tengah diputar dj.
Haerin bersumpah, baru kali ini dalam hidupnya ia mencium bau menyengat yang bermacam-macam dari lautan manusia pemabuk disini.
Jika boleh memilih, ia lebih baik mencium baunya tempat sampah yang berada di gang jalan menuju flatnya, daripada mencium bau yang tak bisa dideskripsikan seperti ini.
Mata tajamnya melesat ke segala arah untuk menemukan orang yang ia cari, tubuhnya terasa mengecil saat ia mulai menerobos kerumunan orang-orang.
Hingga tatapannya tertuju pada dua orang pria bertubuh tinggi yang tengah berbincang di kursi bartender, tentunya dengan seorang gadis yang terlihat ketakutan.
Dengan cepat Haerin mendorong orang-orang dihadapannya, beberapa pria sempat merayunya untuk berdansa bersama, namun ia tepis dengan kasar.
Terlihat dari jauh salah satu pria menggendong paksa gadis yang tengah memberontak itu untuk naik ke lantai atas.
Ia masih terus berusaha untuk terbebas dari kerumunan yang semakin menggila, setelah perjuangan yang penuh sesak tersebut akhirnya Haerin bisa terbebas juga.
Langkah kaki ia percepat untuk menaiki tangga, nafasnya terdengar memburu penuh emosi melihat pria itu masuk ke salah satu ruangan.
Sebelum pintu tertutup sepenuhnya, tangan Haerin lebih dulu menahan pintu tersebut lalu menyelinap masuk.
Wajahnya memerah padam saat melihat apa yang dilakukan pria bajingan itu pada Hanni di atas ranjang, dengan tangan sedikit gemetar ia mengambil sebuah botol kaca berukuran cukup besar di atas meja dekat pintu.
Tangannya melayang, membenturkan botol kaca tersebut kebelakang kepala pria cabul hingga membuatnya pecah berkeping-keping.
Terdengar teriakan kesakitan dari pria itu hingga membuatnya jatuh terguling dari ranjang.
Haerin membantu Hanni berdiri, terlihat tangis pilu dari gadis tersebut membuat hatinya hancur.
"Apa yang kau lakukan sialan!?" Teriak pria itu, berusaha bangun dari lantai.
Matanya menatap tajam kearah Haerin yang menodongkan pecahan kaca botol yang tersisa ditangannya.
Pria itu berjalan kearahnya dengan cepat, belum sempat ia mengelak sebuah pukulan keras mengenai mata kirinya membuat tubuh Haerin terhuyung kebelakang.
Ia meringis kesakitan, untuk sesaat pandangannya mulai buram.
Terdengar langkah pria tersebut mendekati nya kembali, tidak tinggal diam ia menarik lampu hias diatas meja didekatnya dan memukul wajah pria itu dengan keras.
Haerin berjalan terhuyung-huyung kearah Hanni yang tengah terisak-isak, menarik gadis tersebut untuk keluar dari sana sebelum pria bajingan itu mengejar mereka kembali.
______________________________
Suara serangga malam dan percikan air memecah keheningan diantara keduanya.
Bintang-bintang terlihat berkelap-kelip menghiasi gelapnya langit diatas sana, jari-jari Haerin terus menggulung ujung jaketnya dengan gelisah.
"Seharusnya kau tak usah menolongku" ucap gadis disebelah yang kini tengah menjadikan bahunya sebagai bantal.
"Apa yang kau bicarakan!? Tentu aku tidak akan tinggal diam melihat kau diseret dengan kasar di jalanan seperti tadi!" Haerin tidak menyadari nada bicaranya yang mulai meninggi.
Ia marah, tentu saja sangat marah melihat orang yang ia kenal tengah diperlakukan kasar oleh orang lain.
"Tidak usah berpura-pura, aku tahu kau hanya kasihan kepadaku" Hanni sedikit menggeser tubuh, kini menciptakan jarak diantara keduanya.
Haerin mengusap wajah kasar, memalingkan kepalanya kearah lain saat air mata tiba-tiba mengalir begitu saja.
Ia tidak menyangka kebaikannya hanya dianggap sebagai rasa 'kasihan' saja. Haerin juga tidak mengerti mengapa ia harus peduli pada orang lain.
Untuk sesaat, keheningan yang cukup panjang tercipta.
"Maafkan aku, aku benar-benar tak ingin kau terkena masalah" tangan Hanni terulur di atas pangkuan, lantas menggenggam tangannya erat.
"Bolehkah aku memegang wajahmu?"
Sekali lagi tak ada respon dari Haerin, namun ia merasakan bahwa gadis tersebut tengah mengubah posisi duduknya.
Tubuh mereka kini saling berdekatan kembali, Hanni merasakan tangannya terangkat hingga kini kulit halus dan lembut menyapa telapak tangannya.
Untuk pertama kali sejak mereka bertemu, Hanni akhirnya bisa menyentuh dan menelusuri setiap inci dari wajah Haerin.
Menggambar wajah tersebut didalam ingatan. Jujur, Haerin memiliki wajah yang lembut sama seperti suaranya.
Mata yang indah dan hidung yang mancung, Hanni benar-benar menyukainya.
"Kau memiliki wajah yang cantik" ucap Hanni membuat Haerin tertegun.
Tatapannya tak sedikitpun teralih dari wajah bahagia gadis dihadapannya, senyumnya terlihat lebar saat tangan terus menyentuh wajah miliknya.
Hingga tiba-tiba senyum Hanni memudar saat merasakan tekstur kasar seperti bekas luka yang memanjang di antara rahang dan leher.
"Aku mendapatkan luka itu ketika kebakaran hebat terjadi di rumahku dulu" ucap Haerin dengan suara kecil, seakan menjawab pertanyaannya.
.
.
.
.
.
.
.Maaf-maaf sekali jika update-nya agak lama