Gangguan demi gangguan yang kini Haerin alami semakin menjadi. Beberapa kali ia memergoki seseorang tengah mengawasi flatnya, bahkan sampai mengikutinya diam-diam saat berangkat maupun pulang kerja.
Selama itu pula Haerin menyuruhnya untuk tinggal sementara di flat miliknya dan tak membiarkannya pergi kemanapun.
Tak ada penolakan dari Hanni, namun sikapnya lebih pendiam dari biasanya. Haerin tahu betul bahwa mungkin gadis tersebut merasa takut dengan kondisi saat ini.
Seperti pagi ini, sepulangnya dari minimarket ia menemukan Hanni tengah duduk diam diatas ranjang.
"Kenapa kau tidak tidur?" Tanya Haerin, meletakkan plastik berisi makanan di atas meja.
"Aku tak bisa tidur, seseorang mencoba masuk kesini lagi"
Haerin menghela nafasnya berat, tangan terangkat untuk memijat halus pelipisnya. Ia juga tak bisa melakukan apa-apa saat ini, ia benar-benar lelah.
"Ayo kita makan saja, aku membelikan mu sarapan" ucapnya mencoba mengalihkan suasana.
Namun Hanni malah menggelengkan kepalanya cepat, ia berdiri dari duduknya untuk berjalan mendekat kearah Haerin.
"Aku akan pergi saja dari sini" ucapnya dengan tangan terangkat, berusaha mencari sosok Haerin.
"Apa maksudmu? Keadaan di luar sana masih belum aman" ia memegang bahu Hanni untuk mendorongnya menuju ranjang kembali, namun gadis tersebut enggan bergerak satu inci pun dari tempatnya berdiri.
"Kau tidak mengerti, Haerin-"
"Aku mengerti! Aku mengerti bahwa saat ini kau dalam bahaya!" Potongnya, tak menyadari bahwa intonasi suaranya mulai meninggi.
"Mengapa kau terus menerus ingin pergi dariku? Apa kau ingin mereka memperlakukan mu dengan buruk lagi!? Atau kau senang diperlakukan seperti jalang oleh pria-pria sialan itu!?" Haerin benar-benar lelah sekarang, ia tidak tahu harus berbuat apalagi untuk melindunginya.
Hanni mundur beberapa langkah saat mendengar ledakan amarah tiba-tiba dari gadis dihadapannya, terlihat kepalanya sedikit menunduk berusaha menahan tangisnya.
Disisi lain Haerin mengatupkan bibir rapat-rapat, menyadari bahwa perkataannya benar-benar berlebihan.
"Kau tak akan mengerti, bukan aku saja disini yang dalam keadaan bahaya-tapi kau juga Haerin" ujarnya dengan suara bergetar.
"Ayahku tak akan membiarkan mu hidup dengan tenang.. Sekarang biarkan aku pergi dan jangan pernah membantuku lagi, itu satu-satunya jalan keluar agar kau bisa hidup dengan tenang dan aman" lanjut Hanni.
Haerin tertegun mendengarnya, kelopak matanya berkedip beberapa kali, masih tak percaya dengan perkataan Hanni.
"Ayahmu?"
"Ya, pria itu-pria yang selalu memperlakukan ku dengan kasar itu adalah ayahku" Hanni menghela nafasnya berat, tak terasa air mata mengalir dikedua belah pipinya.
"Ayah selalu bersikap kasar kepada ku dan ibu. Dia selalu berbuat seenaknya kepada kami, bahkan dia memperlakukan ibuku seperti budak dan tak pernah membiarkan ibu untuk berhenti bekerja padahal ibu tengah sakit keras-" ucapannya terhenti saat air mata kian mengalir deras.
"Semenjak ibu meninggal akulah yang menggantikan posisinya untuk mencari uang, aku memutuskan untuk bekerja di toko bunga akan tetapi penghasilan yang ku dapat tak membuatnya puas,
Lantas ayah memutuskan untuk menjual ku pada para pria ditempat hiburan malam. Aku tidak bisa berbuat apa-apa Haerin, aku memang gadis buta tak berguna"
Hanni berusaha mendekati Haerin kembali.
"Ayah tak suka pada siapapun yang ikut mencampuri urusannya, dia bisa melakukan apa pun kepadamu. Kau adalah orang baik, aku tak ingin kau terluka.... Haerin"
Tak pernah dalam pikirannya gadis seperti Hanni harus menjalani hidup yang benar-benar menyedihkan seperti ini.
Penderitaan yang Hanni alami tak sebanding dengan penderitaannya dulu, saat Haerin harus kehilangan kedua orang tua dan kakaknya dalam sebuah tragedi mengerikan.
Haerin berpikir jika ialah satu-satunya orang yang paling menderita di dunia ini, namun ternyata ia salah.
.
.
.
.
.
.
.