_21_

483 77 8
                                    

Hanni mengeratkan pelukannya pada boneka kelinci digenggam. Tatapannya terus tertuju pada pintu kayu jati yang kokoh namun tak mampu meredam suara teriakan keras dari dalam.

Kebingungan tergambar jelas di wajah. Tidak biasanya ia mendengar sang ayah berteriak sangat keras hingga membangunkan dirinya yang tengah tertidur.

Sejujurnya ia tak diperbolehkan untuk datang ke lantai yang dimana ruang kerja ayahnya berada. Namun rasa penasaran yang besar mengalahkan rasa takutnya sendiri.

Tangan kecilnya terangkat, mendorong pelan pintu yang ternyata tidak tertutup sepenuhnya.

Pemandangan pertama yang ia lihat adalah seorang pria dengan jas putih bersih tengah berdiri lesu dihadapan ayahnya.

Suara teriakan dari sang ayah kembali terdengar, kali ini benar-benar penuh dengan emosi.

"Berani kau melakukan hal tersebut!! jangan harap keluarga kecilmu itu bisa hidup dengan tenang!!"

Hanni tak mengerti apa maksud dari ucapan ayahnya tersebut. Namun dirinya ketakutan saat melihat bola mata pria itu memerah penuh kebencian.

Perlahan Hanni berjalan mundur. Tak seharusnya ia disini, ia benar-benar dalam bahaya saat ini.

Tiba-tiba punggungnya menyentuh sesuatu, membuatnya menjerit karena terkejut. Tubuhnya berbalik untuk melihat seorang gadis muda dengan perawakan lebih tinggi darinya tengah berdiri menjulang tanpa ekspresi.

"Apa yang kau lakukan disini!!?" Tidak menyadari bahwa kegaduhan yang ia buat mengalihkan perhatian ayahnya.

Tanpa menunggu lama tubuh kecilnya diseret paksa memasuki ruangan.

"Apa kau menguping semuanya!? Sudah berapa kali aku berbicara agar kau tak datang kesini!... Dasar anak sialan!!"

Tubuhnya terbanting keras dilantai, disamping pria berjas putih yang tengah menatapnya iba.

"Olivia!"

Panggil ayahnya pada gadis muda itu yang kini berjalan menghampiri mereka.

Terlihat pria itu mengambil sesuatu dari sisi ruangan. Sebuah balok kayu berukuran sedang ia serahkan pada gadis muda tersebut.

Sementara Hanni telah menangis tersedu-sedu, ia benar-benar takut hal yang akan terjadi setelah ini.

"Beri anak nakal ini pelajaran"

Hanni membulatkan matanya lebar-lebar, bahkan pria yang sedari tadi berdiri mematung ikut terkejut mendengar penuturan tersebut.

Gadis itu berjalan mendekatinya, terlihat tangannya yang tengah memegang balok kayu sedikit gemetar. Bibir segitiganya bergerak beberapa kali dengan tatapan penuh penyesalan.

Tubuhnya seakan membeku ditempat, Hanni hanya bisa menangis tersedu-sedu. Meminta belas kasihan pada gadis asing yang kini sudah berada dihadapannya.

'maafkan aku'

Bisik gadis tersebut untuk terakhir kali sebelum ayunan benda keras itu menghantam tubuh kecilnya.

Jeritan pilu terdengar memenuhi ruangan, beberapa kali balok kayu memukul bahu, tubuh, bahkan kepala Hanni. Sementara ayahnya hanya diam tanpa berniat menghentikan penyiksaan tersebut.

Pintu kembali terbuka, menampakkan wajah sang ibu yang terkejut diikuti air mata yang mengalir deras saat melihat putrinya mulai terkapar tak berdaya di lantai.

Itu terakhir kalinya Hanni bisa melihat raut wajah kesedihan dari ibunya.




"....setelah itu aku terbangun dan tidak bisa melihat apapun lagi"

Haerin menatap langit-langit kamar dengan cat yang sudah mulai memudar.

Jarinya tak pernah berhenti membentuk pola acak diatas punggung tangan gadis yang kini tengah memeluknya dengan nyaman.

"Ini tak adil, aku sudah menceritakan hampir seluruh kisah hidupku" Hanni sedikit menggeser tubuhnya, memposisikan kepalanya tepat di antara bahu dan leher Haerin.

"Bisakah setidaknya aku mendengar kisah hidupmu juga?"

Kekehan kecil terdengar memenuhi kesunyian ruangan. Kini tangan keduanya tergenggam erat satu sama lain.

"Ya, seperti yang kau tahu aku tinggal di desa ini selama hampir separuh hidupku. Aku tinggal bersama ibu, ayah, dan kakak perempuan ku...

-kami hidup seperti keluarga pada umumnya, berkumpul dikala waktu senggang dan menyempatkan diri untuk saling berbagi cerita masing-masing"

"Kau harus tahu, dulu aku sangat kesulitan untuk berinteraksi dengan orang lain, jadi kebanyakan waktu aku habiskan untuk membantu ibu di kebun belakang rumah.

Setelah pulang dari sekolah aku selalu membantu ibu mengurus sayuran dan buah-buahan yang kami tanaman. Terkadang kakak ku juga ikut membantu, tidak terlalu sering karena dia sibuk dengan tugas-tugas sekolahnya"

"Dan siapa itu pak Alston?"

Haerin terdiam sejenak.

"Pak Alston adalah tetangga ku, dia pindah kesini mungkin saat usiaku masih 3 tahun. Beliau pernah bercerita, alasannya pindah dari Swedia kesini karena ingin menghibur istrinya yang terpuruk atas meninggalnya putra semata wayang mereka"

"-pak Alston dan istrinya benar-benar pasangan yang sangat baik hati, mereka menganggap ku seperti anak mereka sendiri. Meskipun sikapku selalu dingin dan acuh, namun pak Alston tak pernah kapok untuk mengajak ku bermain"

"Ya, aku sudah mendengarnya tadi. Kalian benar-benar akrab satu sama lain" Hanni menyunggingkan senyum saat mengingat obrolan panjang dari dua orang yang sudah lama tak bertemu.

Itu adalah kali pertamanya mendengar tawa yang tiada henti dari Haerin.

"Kau juga harus tahu bahwa beliau adalah orang yang suka rela menampungku setelah kebakaran" terdengar nada suara Haerin turun di akhir kalimat.

Pikirannya memutar ulang kejadian menyedihkan yang menimpa keluarganya dulu.

Masih terdengar jelas ditelinga, api yang melahap benda-benda rumah. Kepanikan kakaknya saat berusaha membawanya keluar dari rumah, bahkan teriakan sang ayah ketika menyelamatkan ibu yang masih terjebak didalam kobaran api.

Haerin memejamkan matanya, sedikit mengencangkan cengkraman tangannya pada Hanni.

Rasanya takut dan gelisah saat mengingat kakaknya kembali menerobos ganasnya api untuk menyelamatkan kedua orangtuanya. Bahkan pelukan menenangkan dari Alston dan istrinya tak bisa menahan jeritan histeris dari Haerin.

Sakit rasanya jika harus mengingat kejadian tragis itu.

"Aku tinggal beberapa hari disini sebelum dinas sosial menjemput ku. Pak Alston berusaha untuk mengajukan permohonan hak asuhku, namun selalu ditolak karena alasan usia beliau yang sudah tidak memungkinkan untuk mengurus seorang anak"

Hanni memberi kecupan halus disisi wajah gadis tersebut, berusaha menenangkannya.

Keduanya terdiam, tampak larut dalam pikiran sendiri. Meratapi nasib kisah hidup masing-masing yang menyedihkan.

Di satu sisi keduanya bersyukur karena telah dipertemukan untuk kini saling melengkapi kekurangan satu sama lain.

"Ayahmu?" Hanni kembali bertanya. Dari cerita Haerin tadi, hanya satu kali ia mendengar gadis tersebut menyebutkan sang ayah. Hal tersebut membuatnya bertanya-tanya.

"Ayahku seorang dokter bedah, kebanyakan waktu ia habiskan di rumah sakit yang terletak di pusat kota"

Ucapan Haerin tersebut sepertinya adalah akhir dari cerita mereka malam ini.

Meskipun masih ada tanda tanya besar dalam benak keduanya tentang kehidupan mereka dulu, tapi lebih baik menyimpannya untuk bahan pembicaraan dilain waktu.

.
.
.
.
.


Adakah yang akun wp nya tiba-tiba ke logout sendiri?? Pas mau login lagi ehh malah lupa password😓

My Eyes || [𝕂𝕚𝕥𝕥𝕪𝕫] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang