Don't Look For The Masinis!

2 2 0
                                    

Aku mengubur tubuhku di balik selimut, getar ketakutan masih terasa sangat nyata. Aku masih bisa mengingat dengan jelas tatapan tajam Helen yang seolah ingin membunuhku, meski nyatanya dia tersenyum ramah namun senyumnya malah terlihat menyeramkan. Bayangan kejadian beberapa menit lalu terus menari nari di benakku

Flashback

Satu ... Dua ... Tiga ...

Klek

Pintu yang menjadi pembatasku dengan ruang masinis terbuka lebar, saat itulah tubuhku benar benar membeku. Di sana, di dalam ruang masinis yang penuh dengan alat alat pengendali kereta duduk seorang lelaki yang mungkin hanya setahun lebih tua dari ku di balik kemudi. Dia menatapku, seolah sama terkejutnya denganku ia pun juga diam membisu. Hingga tiba tiba suara Helen dari belakangku membuyarkan segalanya. Pintu masinis berdebam tepat di depan hidungku, saat itu aku bersyukur aku belum melangkah maju sedikit pun. Jika tidak pintu itu pasti sudah mengenaiku.

Aku menoleh ke belakang dan nampaklah sosok sempurna Helen yang tengah tersenyum ramah. Namun, senyum dan tatapannya menyalurkan rasa takut ke sekujur tubuhku. Entah Helen menyadarinya atatu tidak, tapi aku bisa merasakan kakiku gemetar.

"Apa yang kau lakukan di sini, Crisie?" tanya Helen pelan, hampir seperti bisikan. Namun karena sunyinya malam aku dapat mendengar suaranya sejelas debar jantungku.

"A-Aku mengikuti seekor kupu kupu," jawab ku jujur.

Helen sedikit memiringkan kepalanya. "Kau belum tahu tentang peraturannya?" tanya Helen.

Aku menelan ludah gugup, aku benar benar merasa seperti sedang di dalam film horor. Suara bisikan Helen, tatapannya dan gestur tubuhnya membuat gerbong berisi sofa yang memang sudah nampak mencekam semakin mencekam lagi. "Peraturan apa?" tanyaku pura pura bodoh.

Helen mengangguk anggukkan kepalanya. "Jadi belum ada yang memberitahumu tentang peraturannya." ujarnya pada diri sendiri sebelum ia menunjuk sofa coklat kusam yang ada di sana. "Silahkan duduk saya akan menjelaskan peraturannya padamu."

Aku sedikit ragu awalnya namun akhirnya aku duduk bersebelahan dengan Helen walau sebenarnya jiwaku sudah meronta ronta ingin kembali ke kamar.

Helen menatapku lekat. "Peraturannya hanya ada satu dan sangat mudah untuk dilakukan," ucap Helen tegas.

"Jangan. Temui. Masinisnya." Helen menekan setiap katanya.

Aku menghembuskan nafas yang tanpa sadar kutahan sejak tadi. "Ba-baik, maafkan aku. Aku sudah melanggar aturan."

"Aku khawatir aku harus menyingkirkan mu," ucap Helen sembari tersenyum lebar.

Aku membelalakkan mataku, dia monster batinku. Sekilas aku seperti melihat matanya bersinar merah. Aku cepat cepat bangkit dan berlari meninggalkan gerbong itu tanpa menoleh sama sekali. Aku benar benar ketakutan, alarm bahaya berdering nyarik di benakku. Aku harus pulang! Aku harus keluar dari kereta ini!

Flashback End

***

Pagi telah tiba tanpa sempat aku sadari, semalam aku tertidur dengan selimut yang masih menutupi seluruh tubuhku. Semua berjalan normal hari ini, seolah tak ada apa apa yang terjadi semalam. Helen masih nampak ramah seperti biasanya, senyumnya tak lagi terasa menakutkan. Kami mengantar kepergian satu penumpang lain hari ini, Kila, dia telah tiba di tempat soulmatenya dan diantar ke gerbong keberangkatan. Saat mengantar kepergian Kila dan menatap pintu menuju Gerbong Keberangkatan mau tak mau aku mengingat sedikit kejadian semalam, kejadian yang mengerikan.

"Kau pikir mereka benar benar diantar menuju soulmatenya?" tanyaku pada Tessie saat kita tengah menikmati makan siang di Hungry Room. Kejadian semalam tampaknya membangkitkan imajinasi liarku tentang mereka yang sebenarnya tidak benar benar tiba di tempat soulmatenya berada. Aku merasa ada sesuatu tentang kereta ini, namun segala kesenangan dan kemudahan yang ada membuatku tidak terlalu memikirkannya.

"Ha? Maksudnya?" Tessie tampak mengernyit bingung.

Aku menatap Tessie sejenak, menimbang nimbang apakah aku harus menceritakan kejadian semalam atau tidak. "Tidak ada, aku hanya melantur," sahutku sembari terkekeh canggung.

"Kau selalu bisa menemukan topik pembicaraan yang aneh," sahut Tessie sebelum ia meneguk habis minumannya. "Jadi ... apa yang akan kau lakukan hari ini?" tanya nya.

Aku terdiam sejenak dan mengedikkan bahu. "Entahlah, aku tidak punya rencana pasti tentang apa yang akan kulakukan hari ini."

Tessie bersandar mendekat. "Mau mencoba spa?" ucapnya tampak bersemangat.

Aku berfikir sejenak, mungkin spa bisa membantuku rileks. "Boleh," sahutku.

Tessie tampak girang, ia segera bangkit dan menyeretku menuju spa. Dia benar benar gadis mungil dengan kekuatan besar, terkadang aku mencoba lepas dari tarikannya namun gagal, dia lebih kuat.

***

Aku melihat sekeliling spa, gerbong ini tampak sedikit lebih luas dan ada banyak bilik bilik dengan gorden sebagai sekatnya di sana. Mungkin di bilik bilik itulah para pengunjung mendapat perawatan spa. Apakah aku akan melihat pekerja lain di sini? pikirku karena sejauh ini awak kereta yang kulihat hanya Helen dan ... Si Masinis.

Aku sedikit merinding saat mengingat raut wajahnya, dia tampak ... tertekan?
Aku mengerutkan kening, aku baru menyadarinya sekarang setelah kupikirkan lagi. Dia tampak ketakutan dan ada bunyi gemerincing aneh saat ia bergerak. Aku merasa aku tau suara apa itu, namun otakku tidak bisa mengingatnya. Semua terasa lebih janggal sekarang. Benarkah dia masinisnya? Dia tampak terlalu muda untuk jadi seorang masinis.

"Crisie?" Aku terlonjak kaget saat mendengar suara Tessie memanggil namaku. "Kenapa kau melamun di sini? Ayo masuk, kau bisa memilih bilik manapun."

Aku terkekeh canggung. "Maaf, kurasa aku agak kurang enak badan."

"Kau baik baik saja? Apa kau sakit? Demam?" Tessie tampak panik, ia bahkan mengecek suhu tubuhku dengan tangannya. Mau tak amu aku tersenyum melihat tingkahnya yang sangat mirip dengan Emma.

"Tidak, aku tidak sakit. Hanya sedikit kelelahan mungkin? Tubuhku masih mencoba beradaptasi dengan lingkungan baru di sini ku rasa," jawabku ragu, lebih ke asal asalan sebenarnya karena aku benar benar tidak yakin dengan apa yang aku katakan. Tapi yang jelas aku tidak perlu beradaptsi terlalu lama di lingkungan baru, tubuhku tidak sesensitif itu.

"Apa kau mau istirahat di kamar? Aku akan menemani mu," ucap Tessie.

Aku buru buru menolak. "Tidak, Tidak, kau bisa pergi ke spa dan aku akan pergi ke kamar. Aku bukan anak kecil yang perlu kau temani kemana pun kau tau?" Aku tersenyum untuk meyakinkannya.

"Yah kau bukan anak kecil," sahut Tessie akhirnya setelah ia menatapku cukup lama. "Istirahatlah, panggil aku jika kau butuh sesuatu."

Aku mengangguk mengiyakan walau aku sebenarnya tidak tau bagaimana memanggilnya, di sini tidak ada ponsel ngomong ngomong. Atau mungkin yang lain punya dan hanya aku yang lupa membawa? Ahh jika mereka lupa mereka bisa mendapatkannya di Convenience Store dan mungkin aku juga harus mengambil satu nanti.

Setelah mengucapkan selamat tinggal aku pun beranjak menuju ke kamarku. Di perjalanan aku mampir untuk mengambil ponsel di Convenience Store, aku mengambil satu yang mirip dengan milikku. Saat aku hendak keluar aku melihat sesuatu yang menyita perhatianku. Seorang gadis duduk meringkuk di depan rak tinggi berisi alat alat elektronik. Apa dia sakit? Pikirku.

"Permisi," sapaku saat aku sudah berdiri di dekatnya.

Ia tampak terkejut dan beringsut mundur, kekalutan dan kegelisahan tampak memenuhi matanya saat ia memandang ku.

"Apa kau baik baik saja?" tanya ku lagi.

"Masinisnya ... Monster ... Keluar ... Aku ingin keluar!!"

***

To be continue

Train at 1:43 AM (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang