Blue Moon

2 1 0
                                        

Aku membelalakkan mata, terkejut mendengar perkataan gadis itu. Masinis? Monster? Benakku kembali pada kejadian malam itu, masinisnya, bunyi gemerincing aneh dan ... mata Helen yang sekilas tampak bersinar merah. Aku menatap gadis itu lekat, dia tampak sangat ketakutan, terlihat dari caranya memeluk lututnya erat dan membenamkan wajahnya di sana. Bahkan dapat kulihat tubuhnya gemetar.

"Kau ... bertemu masinisnya?" tanyaku ragu.

Gadis itu tampak tersentak dan menoleh ke sekitar dengan cepat, seolah olah ada yang sedang mengintainya. Aku ikut melihat sekeliling dan tak kutangkap keanehan apa pun. Apa yang terjadi padanya sebenarnya?

"Mau ke ruang rahasia?" tanyaku. Ruang Rahasia adalah gerbong berisi bilik bilik kedap suara dan tertutup rapat. Tidak ada yang bisa melihat ataupun mendengarmu di sana. "Kau bisa bercerita dengan bebas di sana, aku akan mendengarkan."

Gadis itu mengangguk dan dengan kaki yang bergetar hebat ia mulai berjalan. Aku berjalan di sebelahnya sembari memapahnya, dia tampak sangat rapuh dan bisa runtuh kapan saja.

***

Aku duduk termenung di dalam kamar setelah mengantar Kian -- gadis yang beberapa jam lalu ku temui di Convenience Store -- kembali ke kamarnya. Mataku memandang tembok di hadapanku dengan tatapan kosong. Apa yang ku dengar dari Kian benar benar mengejutkanku. Kesaksiannya benar benar di luar dugaanku, ku kira dia menemui masinisnya seperti aku malam itu tapi ternyata tidak. Dia bilang Sang Masinis yang menghampirinya ke kamarnya. Dia tidak melihat secara jelas wajahnya namun katanya orang itu berpakaian masinis dan bermata merah menyala. Orang -- atau mungkin monster -- itu bergigi lancip dan bercakar panjang, dia mencoba menyerang Kian. Beruntung dia berhasil selamat saat tiba tiba cahaya biru menyilaukan memenuhi kamarnya dan saat cahaya itu hilang Sang Masinis pun sudah lenyap.

"Apakah masinis yang dilihat Kian sama dengan yang aku lihat? Tapi ... ." Aku mencoba mengingat wajah masisnis yang ku lihat malam itu. Sama sekali tidak ada tanda tanda dia memiliki taring atau cakar. Dia tampak normal dan ... ketakutan. Pikiranku semakin kacau, kepingan puzzle yang kupunya tidak ada yang pas.

"Kau sudah baikan, Cris?" Aku menoleh ke arah Tessie yang baru saja memasuki kamar. "Kau tampak semakin kacau," komentarnya.

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu, Tess," ucapku. Mungkin menceritakan semuanya pada Tessie dapat sedikit membantuku. Dia sudah cukup lama di sini dan mungkin dia punya sedikit petunjuk.

Tessie duduk  di sebelahku dan menatapku bingung. "Apa?"

"Kau tau sesuatu tentang Masinisnya dan ... Helen?" tanyaku sedikit ragu.

"Aku sudah menceritakan semuanya padamu di hari pertama kita bertemu," jawab Tessie. Ia tampak kurang tertarik saat tau aku hanya ingin membicarakan tentang rumor yang memang sudah melekat di sini, terlihat dari dia yang merebahkan dirinya di tempat tidurku dan bersikap acuh tak acuh.

"Aku bertemu dengan Kian hari ini, kau kenal dia?" Aku menatap Tessie yang tampak memejamkan matanya.

"Aku tau Kian, tapi aku tidak terlalu mengenalnya," sahut Tessie.

"Dia tampak ketakutan, dia bilang Sang Masinis menghampiri kamarnya dan menyerangnya," ucapku.

Tessie tampak terkejut dan bangkit dengan cepat, ia manatapku lekat. "Sang Masinis?"

Aku mengangguk. "Tapi aku tidak yakin itu benar benar masinisnya karena apa yang ku lihat sangat berbeda." Aku memijat pelipisku yang terasa berdenyut sakit.

Aku tersentak saat Tessie tiba tiba mencengkram bahuku. "Kau ... bertemu masinisnya?"

“Hanya sekilas dan yang ku lihat dia tampak sangat normal. Dan Helen ... ." Aku sedikit ragu untuk menceritakan tentang Helen. Aku takut Tessie mengira aku sedang melantur karena apa yang akan aku katakan sangat berbeda dengan Helen yang dia kenal.

Tessie melepaskan tangannya dari bahuku dan bersedekap. "Kau harus menceritakan semuanya padaku, Cris," ucapnya tegas.

Aku menceritakan semua yang terjadi malam itu. Tentang Si Kupu Kupu, Gerbong Keberangkatan yang mencekam, Masinis, dan ... Helen. Di luar perkiraanku, Tessie tampak tidak terkejut seolah olah dia sudah tahu tentang apa yang aku katakan. Dia terdiam selama beberapa saat sebelum menatapku lekat.

"Aku ... pernah mencoba masuk ke Gerbong Keberangkatan sebelumnya," ucap Tessie setelah keheningan yang cukup panjang.

"Kau tau aku sudah cukup lama di sini kan? Saat itu aku sudah terlalu muak menunggu, aku ingin bertemu soulmateku secepatnya. Karena itu aku mencoba masuk ke gerbong keberangkatan saat malam hari dan berharap aku dapat bertemu soulmateku di sana." Tessie tampak menghela nafasnya dan memalingkan wajah, seolah apa yang akan ia katakan dapat membangkitkan traumanya.

“Tapi yang kulihat di sana hanya Helen, dengan mata merah menyala dan senyuman menyeramkan. Persis seperti yang kau lihat," ucapnya dengan suara lirih. "Cukup lama hingga aku benar benar bisa menghilangkan bayang bayang ketakutan malam itu."

Aku membelalak tak percaya, ternyata Tessie juga melihat apa yang aku lihat malam itu. "Ku rasa memang ada yang janggal dengan kereta ini. Tapi kita tidak pernah menyadarinya atau mungkin kita tau tapi mengabaikannya karena tertelan segara euphoria yang ditawarkan di sini," imbuh Tessie.

Aku megusap wajahku kasar, semua yang terjadi membuatku merasa sangat lelah, terlalu lelah hingga sulit untuk berfikir jernih. Bagaimana bisa aku berurusan dengan hal aneh seperti ini? Hidupku yang normal normal saja berubah drastis sejak aku menaiki kereta ini.

***

Aku berdiri mematung menatap sosok lelaki yang berdiri di hadapanku dengan rantai yang membelengu kedua tangannya. Aku berada di ruang masinis bersama Sang Masinis yang kulihat saat itu. Cahaya bulan yang berwarna biru merembes masuk dari kaca jendela. Anehnya, aku sama sekali tidak merasa takut. Tidak sepeti malam itu, suasana malam ini sama sekali tidak mencekam melaikan terasa ... nyaman?

"Akhirnya aku bisa bertemu denganmu lagi." Suara berat lelaki itu mengetuk pendengaranku, dapat ku lihat senyum tipis terlukis di wajahnya.

"Aku sudah menunggu cukup lama untuk bertemu dengan mu," imbuhnya.

"Kau ... siapa?" tanyaku sedikit ragu.

"Aku Sean," sahutnya. "Dengar, aku tidak punya banyak waktu. Bulan birunya akan hilang sebentar lagi dan dia akan kembali, kita tidak akan selamat jika sampai dia tau."

Dia? Siapa yang dia maksud dengan 'dia'? Aku ingin bertanya tetapi dia terus berbicara dan tidak memberiku kesempatan, dia tampak sangat buru buru.

"Gerbong keberangkatan dan Ruang Kemudi adalah wilayahnya, dia sangat kuat di sini. Keinginan sekuat apa pun tak akan terkabul di sini. Tapi di gerbong yang lain kau aman, dia tidak bisa bertindak seenaknya di sana karena itu bukan wilayahnya. Si Biru akan menjaga kalian semua dari dia, jelasnya panjang lebar. Aku ingin kau pulang soulmate ku, pergi dari kereta ini. Kau bisa pulang dengan ... shit!"

Sean tampak mengumpat saat menyadari cahaya biru yang memenuhi ruangan itu mulai meredup. "Kau harus pergi dari sini ... Sekarang!!"

Aku terperanjat kaget saat mendengar teriakannya. "Sekarang Crisie!! Pergi!!"

Aku kebingungan, aku tidak tau apa yang terjadi tapi aku menuruti perkataannya. Aku sedikit ragu awalnya, tapi akhirnya aku berlari kencang keluar dari Ruang Masinis dan Gerbong Keberangkatan. Aku terus berlari hingga tiba di Sleepy Room. Tubuhku ambruk di lantai, nafasku tersengal. Semua informasi baru yang ku terima tidak dapat dicerna dengan baik oleh otakku. Aku kebingungan dan rasa takut seketika menyergapku. Kenyamanan yang kurasakan mulai sirna bersama hilangnya cahaya biru yang tadinya menyinari seisi kereta.

"Apa yang terjadi sebenarnya."

***
To be continue

Train at 1:43 AM (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang