Mission Failed?

4 2 2
                                    

Aku bersenang-senang dengan Tessie seharian. Kita bermain-main sepuasnya di Train Land, tempat itu sangat menakjubkan aku berani sumpah. Tempatnya sebelas dua belas dengan Disneyland, gilanya tempat ini ada di salah satu gerbong kereta yang sedang berjalan. Kalian mungkin tidak akan percaya jika tidak melihat dengan mata kepala sendiri. Kita menaiki semua wahana yang ada di sana dan itu sangat menyenangkan, melelahkan juga tentu saja.

Kini aku tengah bermalas-malasan di kamar untuk mengisi kembali tenagaku yang terkuras habis. Aku melirik sekilas ke arah pintu saat Tessie masuk dengan dua gelas minuman dingin ditangannya.

"Rasanya sudah lama sejak terakhir kali kita bersenang-senang seperti ini, Tes." Senyum lebar tergambar jelas di bibirku.

"Yeah, cukup lama. Aku bahkan tidak menyangka bisa bertahan menaiki semua wahan meski dengan keadaan terluka," sahutnya.

"Kau mau?" tawarnya sembari menyodorkan segelas minuman dingin berwarna hijau di tangannya. Aku tidak tau itu apa tapi terlihat sangat menyegarkan dengan bulir bulir embun yang mengalir di luar gelasnya.

"Tentu saja," sahutku sembari bangkit dan menghampirinya. Tanpa ragu kuteguk minuman itu hingga sisa setengah dan aku mendesah lega setelahnya. "Hausku langsung hilang."

Tessie terkekeh kecil sebelum ia menyesap minumannya perlahan. Setelah minumanku habis aku kembali membaringkan diri di kasur dan melirik jam dinding. Masih ada waktu tiga jam sebelum tengah malam, masih cukup lama sebelum saatnya tiba.

"Apa kau akan tetap di sini setelah semuanya berakhir, Tes?" tanyaku.

Kulihat Tessie mengedikkan bahunya. "Aku masih harus bertemu soulmate-ku," sahutnya.

"Yah, kau benar." Aku terkekeh kecil. Kualihkan pandanganku dari Tessie dan menatap langit langit kamar sebagai gantinya. Kucoba membayangkan masa depan saat semuanya sudah berakhir. Pasti akan sangat menyenangkan jika aku bisa kembali hidup dengan normal di duniaku bersama ... Sean. Dapat kurasakan gelombang aneh yang menggelitik menyapu tubuhku saat pikiran itu terlintas di benakku.

Aku terus menatap langit langit kamar saat tiba tiba kantuk menyergap ku. Mataku mulai sayu dan hampir tertutup, mungkin karena aku terlalu lelah. Aku mencoba menahan diri untuk tidak terpejam namun akhirnya aku menyerah. Aku membiarkan diriku terbuai rasa kantuk dan tertidur. Masih ada tiga jam, pikirku.

***

Entah berapa lama aku tidur, saat membuka mata tubuhku rasanya lemas dan kepalaku pusing. Aku mencoba bangun namun kepalaku berat sekali rasanya. Aku melihat sekeliling dan tidak dapat kutemukan Tessie di sana. Ku Lirik sekilas jam di dinding dan ternyata sudah satu jam lewat sejak tengah malam. Aku membelalak, sudah satu jam!

Aku buru buru bangkit namun berakhir tersungkur di lantai karena tubuhku yang terasa sangat lemas. Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Apa karena aku terluka dan terlalu kelelahan? Aku kembali mencoba menggerakkan tubuhku, kali ini aku berhasil berdiri meski kepalaku rasanya berat sekali. Dengan bertumpu pada dinding dan barang barang di sekitarku, aku mulai berjalan menuju pintu. Tidak bisa! Pintunya tidak bisa di buka!

"Kau lebih baik diam di dalam, Cris, ini semua untuk dirimu!" Ku dengar seruan Tessie dari luar.

Tidak mungkin dia yang melakukan semua ini padaku! Seketika aku teringat minuman yang diberikannya pada sebelum aku tertidur. Aku tidak tau minuman apa itu. Mungkinkah dia mencampurkan sesuatu di minumanku?

"Tessie buka pintunya," seruku lemah.

"Tidak, Cris, ini demi kebaikanmu," sahutnya.

Aku mulai menggedor-gedor pintu sekuat yang aku bisa. "Kau bilang tidak akan menghalangiku, Tes!"

"Maaf, Cris." Aku dapat mendengar gumamannya dari luar.

Aku mengerang frustasi, aku harus keluar dari sini. Aku tidak tau sampai kapan Si Biru bisa menahan Helen dan jika aku terlambat tidak akan ada lagi kesempatan untuk menyelamatkan Sean. Aku melihat sekeliling, mencoba mencari cara untuk keluar.

"Jendela," gumamku pelan.

Masih dengan tubuh yang lemas, aku berjalan ke arah jendela. Ku buka jendela itu lebar lebar dan angin kencang langsung menampar wajahku. Jendelanya cukup lebar untuk aku keluar namun kereta ini melaju cukup cepat. Dengan keadaanku yang lemah rasanya tidak mungkin aku memanjat keluar dari sana.

Aku mencoba memikirkan cara lain, namun sepertinya jendela itu adalah satu satunya jalan keluar. Aku yakin Tessie tidak akan membuka pintunya meski aku memohon, dia cukup keras kepala. Setelah berfikir cukup lama aku pun meyakinkan diri untuk keluar melalui jendela. Ku paksa kakiku untuk berpijak ke tepi jendela, cukup susah rupanya karena kakiku yang masih lemas. Berkali-kali kucoba akhirnya aku berhasil dengan bantuan kursi sebagai pijakan.

Aku mengeluarkan setengah tubuhku, berusaha tetap merapat pada badan kereta agar tidak menabrak pohon yang melaju cepat di tepi jalur. Aku melongok ke atap. Ada teralis besi yang melintang di tepi atap kereta, tidak terlalu besar tapi tampaknya cukup kokoh untuk dijadikan pegangan. Aku  membalik tubuhku agar menghadap ke atap. Kutarik tubuhku semakin keluar hingga satu kakiku lepas dari pijakan di kursi dan kuraih teralis itu. Sesuai dugaanku besinya cukup kuat. Setelah aku yakin sudah menggenggam teralis itu dengan benar, aku mulai memijakkan kakiku di tepi jendela, kakiku sedikit gemetar karena pijakannya tidak terlalu lebar. Tanganku mulai menarik tubuhku ke atas dengan sekuat tenaga.

Aku hampir berhasil memanjat ke atap saat tiba tiba kereta berbelok tajam, aku kehilangan pijakanku di tepi jendela. Beruntung tanganku masih berpegangan pada teralis sehingga aku tidak terpelanting jatuh. Kini aku menggantung rapat di badan kereta. Aku mencoba menarik kakiku untuk kembali berpijak pada tepi jendela tapi rasanya sangat sulit. Tanganku mulai lelah dan tidak kuat untuk menarik tubuhku ke atas. Aku mulai panik, kulirik batu batu kerikil yang tersebar di sekitar rel kereta. Aku pasti tidak selamat jika aku jatuh, pikirku.

Aku terus menggantung dengan putus asa, nafasku tersengal karena adrenalin yang memuncak. Otakku tidak mau berjalan untuk mencari jalan keluar dari situasi bahaya saat ini. Bodoh sekali kau Crisie! makiku pada diri sendiri. Aku tidak tau harus apa, tanganku benar benar tidak kuat menopang berat tubuhku lagi. Dengan sisa tenang yang ada aku mulai mencoba menarik tubuhku untuk naik ke atap. Kakiku menjejak di badan kereta yang licin dengan putus asa. Tubuhku mulai naik sedikit namun nampaknya tanganku sudah menyerah. Genggamanku terlepas, tubuhku terjatuh dari kereta.

"Tidak!!"

***

To be continue

Train at 1:43 AM (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang