Lagi lagi pemikiranku salah, nyatanya mereka tidak membiarkanku tenang. Mimpi mimpi itu semakin buruk setiap harinya. Bahkan aku pernah bermimpi melihat tubuh Tessie dan Sean yang bersimbah darah di hadapanku sementara Helen di sana sibuk mencabik-cabik mereka berdua. Dan mimpi itu kembali hadir malam ini.
"Tidak, tidak, jangan," racauku ketakutan sembari memeluk tubuhku sendiri. Air mataku mengalir deras dan memburamkan pandanganku, aku terus terisak dalam gelapnya kamarku.
"Sean ... Tessie... ." Aku terus bergumam ketakutan, aku ingin kembali dan memastikan bahwa mereka baik baik saja. Aku ... Ingin kembali.
Dengan air mata yang masih membasahi pipiku dan tangan yang masih gemetar aku menghambur keluar apartemen setelah kusambar jaket di gantungan. Aku berlari seperti orang gila di tengah sunyinya malam. Aku merasa sinar biru samar samar membasuh lengangnya stasiun saat aku melompat masuk melewati portal. Aku tidak terlalu menyadarinya dan terus berlari.
Aku semakin frustasi saat rel rel di sana sama kosongnya seperti sebelumnya, tak ada tanda tanda kedatangan kereta itu. Aku menoleh ke sekitar dan menatap ke arah perginya kereta itu saat pertama kali membawaku. Dengan segenap ketidakwarasan, ketakutan dan kekhawatiran yang membelengguku aku berlari ke arah itu. Kupejamkan mata erat erat berharap ad keajaiban dan aku bisa memasuki dimensi itu dengan berlari.
Angin kencang menghembus dari arah berlawanan dan hampir membuatku terpelanting kebelakang jika saja aku tidak menancapkan kakiku kuat kuat ke tanah. Tidak ... Itu bukan tanah. Tak ada rasa kasar kerikil yang tadi kupijak. Aku membuka mata dan detik berikutnya aku membelalak. Aku berada di atas kereta yang melaju kencang, aku berhasil!
Lengah karena rasa lega yang menggoyahkan pertahananku, aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terpelanting kebelakang, terseret gravitasi yang disebabkan oleh cepatnya laju kereta. Aku tidak sempat berpegangan kemana pun, aku terjatuh.Kerikil menggores punggungku saat aku terjatuh dari atas kereta, sangat sakit hingga rasanya aku tidak mampu bangun. Aku menatap ke arah perginya kereta itu dan aku sadar, aku masih di stasiun yang sama. Tidak ada tanda tanda keberadaan kereta itu, stasiun itu lengang seperti saat aku beru tiba. Tidak! Aku kembali ke duniaku, aku terlempar keluar dari dimensi itu.
Ringisan terselip keluar dari bibirku saat aku mencoba bangkit, sepertinya punggungku berdarah atau mungkin patah, aku tidak tau. Yang pasti aku harus kembali berlari dan mencoba memasuki dimensi itu lagi. Aku harus kembali ke kereta itu. Aku berlari lagi dan hembusan angin itu kembali menarikku membuatku kehilangan keseimbangan dan aku kembali jatuh, tepat di tempat yang sama seperti sebelumnya. Punggungku semakin sakit rasanya, bahkan kakiku sudah tidak kuat untuk di bawa berlari lagi.
"Damn!" makiku kencang. Aku kesal, rasa frustasi menggerogotiku. Air mata semakin deras membasahi pipiku, aku ingin kembali, aku sangat ingin kembali. Kenapa kereta itu tidak datang?!
Tubuhku gemetar karena isakan, aku ingin menyerah saja rasanya. Tubuhku sakit namun tidak sesakit hatiku yang dilanda badai kekhawatiran. Aku tidak ingin kehilangan Tessie dan ... Sean. Lelaki yang menyalurkan sengatan sengatan aneh sejak pertama kali aku menatap matanya lamat lamat. Aku baru saja akan mengirimkan harapan untuk bisa menatap hangatnya mata itu lagi, tentu aku tidak ingin menyerah dan membiarkan harapan itu hancur bahkan sebelum sempat terbang.
Diiringi ringisan aku bangkit, dengan langkah tertatih aku kembali berjalan ke arah yang sama. Lagi lagi aku merasakan hembusan angin namun bedanya sekarang tidak sekencang tadi. Aku membuka mata dan sadar aku berada di atas kereta seperti sebelumnya. Keretanya tidak lagi melaju kencang sehingga aku bisa dengan mudah menjaga keseimbanganku. Tubuhku ambruk, aku bersimpuh di atas kereta. Helaan nafas menghembus mengisyaratkan kelegaan. Akhirnya aku tidak terpelanting keluar lagi.
Setalah cukup mengistirahatkan diri rasa sakit di punggungku tidak semenyengat tadi, meski ngilu itu masih ada saat aku bergerak. Aku menatap sekeliling, dapat kulihat bulan biru yang bersinar di antara gelapnya malam. Cahaya birunya yang indah memantul keseluruh penjuru. Si biru di sini, batinku.
"Akhirnya aku berhasil membuatmu sampai kemari." Aku melongok ke sana ke mari saat mendengar suara lembut berbisik di antara desau angin. Tidak ada siapa siapa.
"Aku Si Biru, aku yakin kamu pernah mendengar tentangku. Tidak perlu mencari sosokku aku tidak bisa menjangkau mu dengan tubuhku sekarang, aku terlalu lemah. Beruntung suaraku masih bisa sampai."
"Kamu yang membawaku ke sini?" tanyaku.
"Ya, meski sempat gagal beberapa kali. Namun akhirnya aku berhasil, terimakasih pada keinginan kuatmu." Aku berhasil menangkap desah kelegaan dari suaranya.
"Keinginan?"
"Keinginan adalah kekuatanku, jika kamu menginginkan sesuatu di sini maka aku akan mendapatkan kekuatan untuk mengabulkannya. Sebenarnya aku sudah berusaha membawamu sejak kamu pertama kali ke sini malam itu, namun kamu masih ragu dan keraguan itu membuatku tidak memiliki cukup kekuatan untuk menarikmu masuk."
Aku terdiam, aku ingat malam itu saat aku mencoba kembali hanya untuk menenangkan diri. Aku ingat aku tidak terlalu ingin kembali hari itu, ternyata karena itulah kereta itu tidak datang.
"Aku membutuhkanmu." Aku menatap lekat ke arah bulan biru saat kudengar suara bernada putus asa itu.
"Aku membutuhkan pertolonganmu, hanya kau yang bisa membantuku membebaskan kereta ini dari belenggu Helen. Dia semakin kuat semenjak sosoknya perlahan terungkap. Para penumpang mulai curiga, mereka ketakutan dan ketakutan adalah kekuatannya. Aku tidak bisa menutupi ketakutan itu karena aku semakin lemah," jelas Si biru. "Selama ini mungkin aku bisa menggunakan kekuatanku untuk membuat mereka yang pernah bertemu sosok asli Helen lupa tentang ketakutannya. Itulah satu satunya cara agar Helen tidak bertambah kuat. Namun perlahan-lahan aku semakin lemah dan kekuatanku terkuras."
Aku terdiam sejenak, aku ingat bagaimana ketakutan itu sirna saat pagi datang walau malam itu aku bertemu sosok menyeramkan Helen untuk pertama kalinya. "Apakah penumpang lain melihat sosok Helen juga?" tanyaku.
"Tidak, mereka tidak bertemu. Mereka hanya curiga setelah melihat kekacauan di Hungry Room," sahut Si Biru. "Mereka mulai sadar ada yang salah."
"Hungry Room," gumamku. Aku tau apa yang terjadi di sana, Tessie bertarung dengan Helen di sana malam itu. "Bagaimana keadaan Tessie? Di selamat kan? Tolong katakan padaku dia baik baik saja."
"Maaf Crisie--"
"Tidak!! Tidak, tidak, jangan katakan!!"racauku panik. Aku tidak ingin mendengarnya, aku tidak siap mendengar kabar buruk apapun tentang Tessie. Tidak mungkin mimpiku itu nyata kan? Tidak mungkin Tessie mati kan? Tubuhnya tidak tercabik cabik oleh tering tajam Helen kan? Tidak!!
Aku kalut, aku belum mendengar kabar yang sebenarnya namun imajinasi liarku terlanjur berlari jauh dan mengirim rasa panik di sekujur tubuhku. Air mataku mengalir deras dan tanganku gemetar saat bayang bayang mimpi itu terus berteriak di benakku.
"Tidak!!"
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Train at 1:43 AM (End)
FantasyKau ingin bertemu soulmate mu? Cobalah pergi ke stasiun terdekat, tunggu hingga jam 1:43 dini hari Jika kau beruntung kau akan melihat kereta itu Kereta yang terlihat normal, namun jauh dari kata normal Kereta yang akan membawamu menuju tempat di ma...