How?

10 3 6
                                    

Aku memejamkan mataku rapat rapat saat tubuhku kehilangan pegangan di badan kereta, siap menerima rasa sakit saat bertubrukan dengan tanah nanti. Namun rasa sakit itu tak datang saat angin kencang mengangkat tubuhku. Mataku terbuka lebar saat merasakan tubuhku melayang sebelum mendarat sempurna di atas atap kereta. Aku melihat sekeliling dan barulah aku menyadari betapa pekatnya sinar biru yang memeluk malam hari ini. Si Biru melindungiku, batinku lega. Meski pelan dapat kudengar bisikan Si Biru yang berhembus bersama angin malam.

"Cepat!" suaranya terdengar lembut namun mengisyaratkan urgensi yang membuat adrenalinku kembali terpacu.

Dengan hati hati aku berdiri, sekuat tenaga menjaga keseimbangan saat gravitasi mencoba menarikku jatuh. Secepat mungkin aku berjalan menuju ujung gerbong Sleep Area yang berbatasan dengan Gerbong Keberangkatan. Setelah tiba di ujung dengan tidak sabar aku melompat turun ke jalan penghubung antar gerbong. Ringisan terselip keluar dari bibirku saat ngilu di punggungku kembali terasa saat kakiku mendarat di jalan sempit itu. Hentakan saat aku melompat turun nampaknya kembali membuat lukaku terbuka. Tapi itu tak penting sekarang yang harus kulakukan adalah menyelamatkan Sean secepatnya.

Ketakutan segera menumpuk di dalam diriku saat aku memasuki Gerbong Keberangkatan. Suasana mencekam sangat pekat di sana meski tak kulihat keberadaan Helen di mana pun namun tetap saja presensi menyeramkannya melekat di sana. Aku hampir saja berlari keluar dan menyembunyikan diri di balik selimut jika saja aku tak ingat tujuanku ke sini.

Kupaksa kakiku yang gemetar untuk melangkah. Jarak menuju pintu Ruang Kemudi rasanya lebih jauh dari terakhir kali aku datang, setiap langkah yang kuambil rasanya mebawaku semakin jauh dari sana. Kakiku melemas, aku bersimpuh di lantai gerbong yang dingin. Aura Helen begitu kuat, menekanku hingga sesak rasanya. Nafasku memburu, mencoba meraup oksigen yang tiba tiba direnggut dari paru-paruku. Aku seperti berada di ruang hampa tanpa oksigen.

"Tidak ... A-Aku tidak boleh ... lemah," gumamku susah payah. Ku angkat kepalaku dan ku tatap lekat pintu Ruang Kemudi di kejauhan. Aku harus mencapainya! jeritku dalam hati.

Dengan bertumpu pada dinding gerbong, aku mulai melangkah maju. Semakin aku mendekati pintu Ruang Kemudi, semakin kuat tekanan yang kurasakan. Sekarang aku bahkan merangkak untuk mencapai pintu itu. Mulutku terbuka dan tertutup untuk meraup oksigen seperti ikan yang terdampar di tanah. Tanganku gemetar hebat saat aku mencoba meraih gagang pintu yang berada tepat di hadapanku dan saat aku berhasil meraihnya, semua tekanan itu hilang. Aku menarik nafas tajam saat tekanan di dadaku lenyap. Rasanya seperti kembali kepermukaan setelah menyelam di dalam air selama berjam-jam.

Setelah memulihkan diri dari rasa menyiksa yang menyelimutiku beberapa saat lalu, aku pun berdiri. Dengan setakan kuat ku buka pintu Ruang Kemudi hingga menimbulkan bunyi berdebam. Oke, aku terlalu berlebihan membanting pintu itu. Namun, apa yang harus aku lakukan? Aku sudah terlalu tidak sabar untuk menyelamatkan Sean dan saat pintu itu terbuka mataku terbelalak.

Sean ada di sana, bersimpuh dengan tangan yang masih terbelenggu rantai. Yang membuatku terkejut adalah keberadaan Helen, dengan wujud manusianya yang cantik. Sangat tidak cocok dikombinasikan dengan seringainya yang menyeramkan. Dia berdiri di hadapan Sean dengan kedua tangannya memangkup wajah Sean yang tampak pucat.

Aku membeku di tempatku saat mengalihkan pandangannya padaku. Matanya yang merah menyala menusuk netraku dan menembus jauh hingga ke jiwaku. Membuat ku gemetar hebat, nyaris tersungkur di lantai karena kakiku yang melemas saking takutnya. Namun, beruntung aku berhasil menguatkan diriku dan tetap berdiri tegak mesiki bergetar hebat, bahkan tulang-tulangku pun ikut bergetar. Auranya yang begitu mencekam kembali membuatku sesak dan mengantarkan dingin yang menusuk hingga membuatku merinding.

"H-How?" Hanya itu yang mampu kukatakan.

"Kau terlambat, Sayang," bisik Helen lirih. Ia melepaskan tangannya dari wajah Sean dan mulai berjalan mendekati ku. Dia masih dalam wujud manusianya dan itu tidak membuat ketakutanku berkurang sama sekali. Bahkan sekarang lebih menakutkan dari malam di mana dia menyerangku dan Tessie.

Jari-jari lentiknya terangkat dan mulai menyentuh pipiku. Aku tidak bisa bergerak, dingin yang menjalar dari ujung-ujung jarinya yang membelai pipiku membuatku membeku. Aku memejamkan mata saat ia mengalihkan pandangannya dari pipiku dan mulai menatap mataku. Dapat kudengar gelak tawa sinisnya saat melihatku memejamkan mata. Aku baru membuka mataku saat kurasakan dia berjalan menjauh dariku.

"J-Jangan kau sentuh dia, Helen!" Aku ingin membentaknya, namun yang keluar hanyalah cicitan ketakutan yang gemetar.

Helen menyeringai licik sembari menyapukan tangannya di antara rambut hitam Sean. Hatiku seperti diremas-remas kuat saat Sean menatap mataku dengan mata sayunya dan menggerakkan mulutnya, mencoba mengatakan sesuatu meski tanpa suara.

"Aku baik baik saja." Itu yang kutangkap dari gerak bibirnya.

Aku menggeleng lemah dan air mata mulai mengalir di pipiku. Senyum lemah yang dia berikan padaku semakin membuat hatiku sakit, aku ingin berlari ke arahnya dan menariknya menjauh dari Helen. Dengan segenap keberanian yang ada aku mulai mengambil langkah mendekat, namun aku tak sempat mengambil langkah kedua saat tiba tiba Helen melemparkan tatapan tajam ke arahku. Aku membelalakkan mataku panik saat jari-jarinya bergerak turun dan melingkarkan di sekeliling leher Sean dengan genggaman kuat.

"No!" Aku hendak bergerak maju, namun bunyi gemerincing terdengar saat aku menggerakkan kakiku dan langkahku tertahan di sana. Aku melirik kakiku dan ternyata rantai yang sama dengan yang ada di tangan Sean kini membelenggu kakiku. Aku mulai panik dan terus mencoba melangkah hingga tiba tiba rantai itu tersentak kebelakang dan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku jatuh tersungkur di lantai. Aku mengangkat kepalaku yang sedikit pusing karena benturan yang cukup keras saat aku terjatuh tadi.

Mataku membelalak semakin lebar saat kulihat Helen semakin menguatkan cengkeramannya pada leher Sean. Sean tampak mulai kehilangan nafasnya namun dia tidak memberontak, dia terlihat ... pasrah.

"No, Sean! No!!!" Aku menjerit histeris saat kulihat kuku-kuku tajam Helen yang mulai muncul saat ia semakin mengeratkan cengkeramannya pada leher Sean. Aku terus memberontak dari rantai rantai yang membelenggu kakiku. Aku ingin berlari menghampiri Sean dan menolongnya tapi rantai rantai itu semakin kuat mencengkram ku.

Pandanganku memburam karena air mata yang terus mengalir namun dapat kulihat dengan jelas mata sayu Sean yang memandangku dan bibirnya yang menyunggingkan senyuman lemah. Aku semakin histeris saat matanya perlahan tertutup. "Si Biru tolong lah Sean, tolong dia!!" jeritku dalam hati.

"SEAN!!"

***

To be continue

Train at 1:43 AM (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang