Helen

2 1 0
                                        

Tessie langsung menghembur ke arah ku dan mengecek seluruh tubuhku ketika aku memasuki kamar. Dia tampak panik dan khawatir. "Apa yang terjadi, Cris? Kau dari mana?"

Tubuhku yang gemetar ambruk ke dalam pelukan Tessie, isak tangisku mulai terdengar. Rasa takut itu sangat nyata ku rasakan sekarang. Aku benar benar ingin pergi dari sini. Sadar dengan kondisiku yang masih berantakan Tessie tidak mengajukan pertanyaan apa apa lagi. Dia hanya mendekapku dan mengusap punggungku dangan lembut.

Setelah merasa cukup tenang aku pun mengambil jarak dan menatap Tessie. "Dia ... soulmateku."

Tessie tampak merengut bingung. "Lelaki yang ku lihat di ruang kemudi, dia soulmate ku," ucapku lirih.

"Bagaimana bisa?"

Aku menggelengkan pelan. "Aku juga tidak terlalu yakin, tapi dia bilang begitu. Dan sekarang aku tau sumber bunyi gemerincing yang aku dengar malam itu." Gambaran sosok Sean yang berdiri dengan tangan terantai kembali terpampang jelas di benakku.

"Kau ingin menjelaskan semuanya padaku? Jika kau belum mau aku tidak akan memaksa," ucap Tessie.

"Malam itu, saat aku pergi ke ruang kemudi untuk pertama kalinya aku mendengar bunyi gemerincing aneh saat dia bergerak. Sekarang aku tau itu bunyi rantai yang mengikat tangannya dan itulah alasan aku melihat raut ketakutan di wajahnya. Dia bukan masinisnya, seseorang menahannya di sana." Aku menatap Tessie sendu. "Dia bilang aku soulmatenya, Tess, dan aku merasakannya juga saat aku benar benar menatapnya tadi."

"Helen," bisik Tessie. "Aku yakin dia terlibat, kau ingat mata merahnya kan?"

Aku menganguk. "Mungkin, Sean juga memberitahuku beberapa hal tentang, wilayah, si biru dan ... cara untuk pulang." Aku menghela nafas saat mengingat Sean tidak sempat memberitahu cara untuk pulang, dia akan memberitahunya saat tiba tiba sinar birunya lenyap.

"Sean? Itu namanya?" tanya Tessie yang ku balas dengan anggukan.

"Aku semakin bingung, Cris. Seolah olah aku akan mengerti semuanya namun ada satu keping yang kurang." Tessie memijat pelipisnya. "Bisa kau jelaskan dari awal, bagaimana kau bisa tiba di ruang kemudi malam ini?"

Aku menatap tempat tidurku. "Saat itu aku sudah terlelap ketika suara dentang jam yang sangat keras membangunkanku. Aku juga mendengar suara jam itu di malam aku mengikuti kupu kupu biru hingga ke ruang masinis. Saat terbangun aku terpana dengan sinar biru yang memenuhi kamar, asalnya dari bulan yang bersinar di luar. Sangat biru dan sangat indah. Lalu kupu kupu itu datang lagi, aku terhipnotis oleh sosoknya seperti malam itu. Aku tidak tau apa yang terjadi selanjutnya dan ketika aku sadar aku sudah berada di ruang masinis bersama Sean," jelasku panjang lebar.

"Kupu kupu biru itu ... mungkinkah dia Si Biru yang Sean bicarakan?" gumam Tessie.

"Aku tidak tau, tapi jika memang dia Si Biru kenapa dia membawa ku ke ruang masinis yang kata Sean berbahaya. Ruang Masinis dan Gerbong keberangkatan adalah wilayah 'Dia'. Katanya Si Biru akan menjaga kita dari 'Dia' jadi tidak mungkin Si Biru menyeretku dalam bahaya," bantahku.

"Dia? Siapa yang kau maksud itu?" Tessie mengerutkan kening bingung.

Aku mengedikkan bahu. "Entahlah, Sean tidak memberitahu ku siapa 'Dia'."

"Tapi, Cris, bisa jadi Si Biru membuatmu bertemu dengan Sean karena satu alasan. Kau soulmatenya, mungkin ada yang harus kau lakukan untuknya," ucap Tessie.

Aku terdiam, benar apa yang dikatakan Tessie. Aku soulmatenya dan mungkin Si Biru ingin aku menolongnya. Tapi bagaimana? Jika memang Dia sangat berbahaya seperti yang Sean katakan maka aku tak akan bisa melawannya. Aku hanya manusia biasa.

"Ku rasa kau ada benarnya," gumam ku. Aku kembali menatap Tessie saat aku teringat sesuatu. "Kupu kupu itu memang Si Biru," sergahku.

"Kenapa kau tiba tiba menjadi sangat yakin?"

"Suasananya ... suasanya berbeda saat ada kupu kupu itu." Aku merasa satu keping puzzle mulai terhubung. "Malam itu saat aku pertama kali memasuki Gerbong Keberangkatan suasananya mencekam, tapi tidak semenakutkan itu. Namun setelah Helen datang dan kupu kupu itu lenyap semuanya menjadi semakin menakutkan hingga kakiku gemetar.”

“Malam ini pun sama, saat cahaya biru memenuhi kereta dan kupu kupu itu terbang di dekatku rasanya sangat nyaman dan aman. Kemudian saat sinar biru itu lenyap bersama Sang Kupu kupu, rasa nyaman itu ikut hilang dan rasa takut merasuk hingga ketulangku. Aku sangat ketakutan hingga gemetar hebat dan ambruk di lorong Sleepy Area sebelum aku berhasil masuk ke kamar," paparku panjang lebar.

"Kupu kupu biru membuatmu nyaman dan Helen membuat suasana mencekam. Ku rasa semuanya semakin jelas," timpal Tessie.

"Mungkin kah yang dilihat Kian malam itu adalah Helen? Karena yang ku lihat Sean tidak mengenakan pakaian masinis," gumamku gusar. Apa dia baik baik saja sekarang? batinku. Aku meninggalkan Kian di kamarnya siang tadi dan langsung pergi ke kamar. Aku tidak sempat mengecek keadaannya lagi.

Tessie menatapku lekat, raut khawatir perlahan mewarnai wajahnya. "Jika perkiraan kita benar tentang Helen, kurasa dia tidak akan baik baik saja jika mengetahui kebenarannya."

"Tapi menurutku Kian menganggap itu Si masinis dan bukannya Helen," sahutku.

"Tidak ada salahnya kita mengecek keadaannya," ucap Tessie. Aku mengangguk dan segera berbalik menuju pintu bersama Tessie di belakangku.

Klek

"Helen?"

***

Train at 1:43 AM (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang