Keesokan harinya, Peia lagi-lagi merasa otaknya tiba-tiba kosong. Ia memijat tengkuknya.
Sheva hari itu memilih tidak ujian, "Kenapa Pei?" Ia mengamati Peia khawatir.
Nyut!!
Peia menyipitkan matanya kaget dengan rasa pening itu..
"Kamu baik-baik saja?" tanya Sheva mengamati Peia yang masih tidak juga menyelesaikan ujiannya.
Peia mengarahkan matanya ke arah Sheva, memaksakan senyum, "Aku yakin sudah belajar semua ini, tapi aku tidak ingat apa-apa."
"Tidak apa-apa, jangan terlalu memaksakan diri Peia, kasihan otakmu."
Peia meneguk ludah, menunduk, memijat tengkuknya sendiri. Rasanya membingungkan.
Melihat itu, Liam menutup kertas ujiannya, meletakkan penanya.
"Peia," panggil Liam.
"Ayo, bersantai sedikit denganku." Liam memundurkan kursinya dan berdiri, menawarkan tangannya pada Peia. Peia tidak ingin memikirkan ujian sama sekali, jadi ia langsung meraih tangan Liam dan menurut saja digandeng pergi ke perpustakaan.
Liam masuk ke salah satu ruangan fokus.
"Ceritakan, apa yang membuatmu tertekan saat ujian?"
Peia kembali memijat tengkuknya, "Apa ... aku tertekan? Aku hanya tiba-tiba tidak mengingat apa-apa."
"Pikirkan penyebabnya kemudian kita cari solusinya. Kalau tidak aku takut kamu akan seperti ini lebih lama."
Peia menatap Liam. "Hm, aku tidak tahu. Mungkin aku butuh terapi?"
Liam terdiam sebentar, ia berusaha mengerti, "Sejak kapan nilaimu anjlok?"
Peia berpikir sejenak, "Dua minggu yang lalu."
"Ada kejadian apa dua minggu yang lalu?"
"Apa ya?" Peia pura-pura tidak ingat.
Liam justru lebih bingung, "Waktu itu... kita sempat makan bersama. kan? Tidak ada masalah sampai pagi, kamu juga langsung pergi ke kelas E begitu sampai di Roen."
"Iya."
Liam menyentuh tangannya, "Aku akan berkata pada Miss Vivian untuk mempertemukanmu dengan psikolog, untuk sementara ini jangan ujian dulu."
Liam menatap atap ruangan, mereka berdua hanya bernapas cukup lama di dalam ruangan.
"Em, Liam."
"Ya?"
Peia kembali memijat tengkuknya. Membuat Liam sadar Peia sering sekali melakukannya belakangan ini. "Pei, lehermu pegal?"
Peia langsung menurunkan tangannya, "Tidak. Itu hanya kebiasaan."
Liam ber oh, sebelum kembali meninggalkan ruangan hening. Ia bukan psikolog jadi ia tidak tahu apa ada yang bisa ia lakukan. Ia ingin memulai pembicaraan, tapi yang ada di otaknya saat ini hanya pertanyaan yang akan memicu perdebatan. Ia ingin bertanya: kenapa belakangan ini menghindariku? Bermain dengan Ethan lebih asik daripada mengajakku bermain? Kamu lebih suka naik motor ketimbang mobil? Siapa... yang membuatmu stress mengerjakan ujian? Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?
Peia juga sama. Ia menahan banyak pertanyaan karena semua terasa seperti akan memicu perkelahian. Apa ia tahu Sheva menyukai, mungkin terobsesi dengannya? Apa Liam menyadarinya dan membiarkannya karena ia juga menyukainya?
Jantung Peia terpacu keras ketika ia berpikir, "Sheva dan Peia... Liam suka yang mana?"
Pikirannya juga semakin terbeban. Sheva itu cantik, tinggi bak model, ia pintar, punya tujuan yang jelas, keluarganya mapan, dan ia mandiri. Peia? Ia bertanya-tanya apa yang bagus dari dirinya sendiri...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Kedua
Teen FictionDengan meninggalnya Jes, kelas untitled kini hanya tinggal sembilan orang saja. Masalahnya, anak-anak untitled mulai mengerti hak istimewa yang mereka dapatkan. Mereka bisa melakukan apa saja, dan anak untitled terlepas dari seluruh peraturan sekol...