27 - Liam Marah

30 4 0
                                    

Sehari setelah podcast Untitled ditayangkan anak-anak kelas Untitled segera menonton dari proyektor bersama-sama. Jumlah penonton memang terus bertambah tapi hari itu, tidak ada sorotan apa-apa dari publik. Masalahnya, seminggu kemudian, tayangan itu tiba-tiba menjadi trending dan melonjak. Yang orang-orang perhatikan adalah romantisnya tatapan Liam pada Peia yang ada pada podcast itu. Kemudian orang-orang mulai memotong video-video dari channel Untitled yang memiliki interaksi antara Liam dan Peia dan menyatukannya. 

Anak-anak untitled selain Sheva hanya merasa lucu saja, tidak terlalu memperdulikannya. Yang penting penghasilan iklan mereka jadi bertambah. Lagipula, mereka sudah merasa itu akan terjadi, cepat atau lambat. Percikan cinta diantara Liam dan Peia itu tidak mereka tutup-tutupi, mereka hanya membiarkannya terjadi.

Muna melihat ke arah komentar, "Mereka bilang aku terlalu banyak bernyanyi, hahah. Peia mereka minta kamu bernyanyi, apa ada lagu yang ingin kamu tampilkan?"

Peia menatap Muna, "Aku tidak pintar menyanyi," respon Peia.

Muna menggeleng, "Jes bahkan menulisnya di surat untukmu, meski tidak pandai aku yakin kamu bisa menyanyi, suaramu juga bagus."

Amos mengangguk, "Kenapa tidak mencobanya, Pei? Aku juga ingin dengar."

Muna langsung duduk menjejeri Peia, "Aku akan buat aransemen musiknya, katakan apa yang kamu ingin nyanyikan?"

Peia berpikir sejenak sebelum mendekatkan bibirnya ke telinga Muna kemudian berbisik.

Sementara Liam masuk ke ruang fokus--ruang tertutup di perpustakaan untuk belajar--nomor tiga ketika Sheva mengajaknya untuk bertemu secara empat mata. Liam sudah menghela napas ketika melihat tatapan sirik Sheva. 

"Shev—" 

Plak!

Liam memegang pipinya yang ditampar, mengatur napasnya sejenak sebelum kembali fokus pada Sheva. 

"Benar, pukul saja aku. Jangan lampiaskan amarahmu pada orang lain."

"Liam!" Sheva berteriak marah, ada air yang menggenang di matanya.

Liam merasa kasihan, tapi ia juga tidak menyayanginya, ia tidak menganggap Sheva lebih dari temannya.

"Kita akan bertunangan, Liam, itu sudah ditentukan!" isak Sheva.

Liam memalingkan wajahnya, ia menghela napas dan duduk di sofa. 

"Selagi suasananya seperti kurasa tepat jika bisa membicarakannya denganmu."

Sheva menatap Liam, ia merasa sedikit takut untuk mendengar apa yang hendak Liam katakan, "Apa?"

"Pertunangan itu adalah keputusan orang tua kita, Shev. Aku tahu orang tuaku akan menjodohkanku, tapi aku tidak tahu kalau itu adalah denganmu. Pertunangan itu juga masih dibicarakan dan belum dilaksanakan."

Liam menatap ke arah mata Sheva, ia hendak melanjutkan sebelum Sheva memotong ucapannya, "Jadi—"

"Kamu mau membatalkannya? Karena Peia?? Kamu mencintainya?" potong Sheva tidak sabar, ia bisa menebak apa yang Liam ingin katakan dan hatinya mencoba memberanikan diri.

"Sheva, mari kita batalkan."

"Memangnya apa yang kurang dariku? Apa? Apa yang bisa kulakukan agar kamu memperhatikanku? Bercerita denganku, Li?"

Liam menatap Sheva, "Sheva, hentikan. Kamu tidak perlu mengemis perhatian dari seorang seperti ku. Kamu luar biasa kamu tahu it—" perkataannya terpotong ketika bibir Sheva menekan bibirnya.

Liam langsung mendorongnya ketika tersadar, langsung berdiri dan menatap Sheva marah.

"Kita belum bertunangan, dan tidak akan, Shev."

The Untitled Class: Tahun KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang