Peia melepaksan tangan Liam dari tubuhnya dan berjalan menekan tombol lift. Liam kemudian mengikuti dari belakang, tangannya ingin menarik tangan Peia, tetapi mempertimbangkan perasaan Peia, ia memasukkan kedua tangannya dalam saku.
"Liam, apa kamu percaya diri dapat melipat gandakan 10 juta menjadi 100?"
Liam tersenyum tipis, ia merasa itu bukan pertanyaan yang harus ia jawab.
"Sheva," Liam justru membuka topik yang paling Peia hindari, "jangan terlalu mengkhawatirkannya."
Peia terdiam, ia menatap pantulan samar yang ada di tembok stainless lift. "Kamu benar-benar sudah bertunangan dengan Sheva?"
"Itu belum terjadi," jawab Liam.
"Itu akan terjadi?" tanya Peia tidak puas.
Liam tidak menjawab, ia sudah mengatakan semua yang perlu. Peia hanya perlu percaya padanya.
"Peia," panggil Liam.
"Hn."
"Jangan salah paham... aku tidak mencintaimu."
Liam bisa melihat bahu Peia yang naik mendengar itu, tentu perkataan itu menyakiti hatinya, Liam tahu. "Aku hanya tidak suka melihatmu menangis atau menghindariku."
Peia tidak mengerti, itu sakit, itu membuatnya lebih bertanya-tanya. Apalagi ketika Liam seolah tanpa sadar menggandeng tangannya untuk keluar dari lift.
"Liam! Ih, lama banget, kopimu hampir aku minum!"
Liam tersenyum kecil, melepas gandengan Peia dan mengambil kopinya. "Thanks, Flo."
Liam memencet kunci mobilnya, "Ayo masuk, Peia depan."
"Iya, iya, ck." Ina yang ingin mengambil kursi depan tidak jadi dan duduk di belakang bersampingan dengan Florie.
Peia dibuat bingung, baru tadi pagi ia dikejutkan bahwa ia memiliki IQ 173, yang mana seharusnya membantu daya pikirnya, tapi nyatanya ia tidak bisa menyimpulkan apapun dari perilaku dan ucapan Liam. Apa Liam salah bicara? Apa Liam bermaksud sebaliknya? Apa Liam tengah linglung saat ini, atau dirinya? Apa Liam hanya berbuat baik sebagai ketua kelas dan temannya? Apa tadi itu perbuatan seorang teman?
Atau memang dirinya yang kesulitan menerima perkataan Liam?
Pikiran Peia dibuyarkan ketika Ina menepuk pundaknya, "Peia hanya akan tertidur kalau kita mengemudi. Peia, ada ide apa? Biar aku catat lebih dulu."
Barulah Peia berpikir akan tugas projek, "Boba? Makanan daerah? Es krim..."
Florie terkekeh mendengarnya, sebelum berkomentar, "Tapi benar sih, makanan itu banyak untungnya."
"Baiklah, kita cari-cari dulu ide sebanyak-banyaknya," Liam mulai menyetir keluar.
"Omong-omong kamu beneran nggak pernah di tilang Li?" tanya Ina.
Liam menggeleng.
Mereka menyetir melalui banyak pertokoan, Ina mencatat apa saja yang bisa ia lihat dan memiliki potensi bagus untuk dikerjakan bersama. Sementara Liam hanya mengendarai dengan kecepatan sedang.
"Peia tidur," kekeh Florie ketika ia memanggil gadis itu tapi tidak ada respon.
Mendengar itu, Ina pun memeriksa. Mengedepankan tangannya ke depan mata Peia dan melambai-lambaikannya. Memastikan Peia tertidur, Ina langsung mengungkapkan pertanyaan, "Jadi, sebenarnya siapa yang kamu suka Li? Sheva atau Peia?"
Tanpa menunggu jawaban dari Liam, Ina sudah berteori, "Tidak, kelihatannya kamu tidak menyukai Sheva, tapi kamu akan bertunangan padanya. Kamu kelihatannya menyukai Peia... tapi... orang tuamu tidak setuju... begitu?"
Liam menghela napas, "Apa kamu perlu mengetahui itu juga, In?"
Florie melihat ke arah Liam, "Jujur aku takut kamu melukai keduanya, Li."
Liam mendengkus, "Aku tidak pernah bermaksud begitu, semua sama-sama terluka."
Ina menghela napas, "Hah, sulit... dari yang kulihat Sheva sangat menempel padamu, kamu tidak tahu harus bagaimana, kan?"
Florie mengernyit, "Tunggu-tunggu, kenapa, orang tua Liam tidak setuju dengan Peia? Dia anak baik-baik, termasuk anak kelas untitled, ia juga sangat cantik."
Ina meneruskan menulis ide-ide, "Flo. Kamu tahu sebesar apa rumah Liam?"
"Ya. Kita semua pernah kesana."
"Betul, itulah standar untuk menantu mereka."
"Hah? Tapi buat apa? Kekayaan mereka kurang?"
Ina menggeleng, "Semakin banyak uang yang kamu punya, Flo, semakin takut kamu kehilangan mereka. Ada pepatah mengatakan, 'There's never enough money!' Itu kenyataan. Makanya hiduplah secukupnya."
Liam tersenyum tipis, "Baru kali ini aku mendengar kata-kata bijaksana dari mulutmu, In."
Florie mengernyit, "Jadi dengan alasan itu anak mereka yang harus bertunangan...? Ini tidak seperti jaman kerajaan yang putrinya perlu dijual untuk menyelamatkan kerajaan."
Ina tersenyum, "Ini bukan jaman kerajaan, Flo. Ini bisnis." Ina tersenyum tipis melihat Florie semakin tidak mengerti, "Kamu mau tahu bagaimana mendapatkan 100 juta, hari ini juga?"
Florie mengernyit, "Bagaimana?"
"Jual Peia."
"Ina!" Florie tidak percaya apa yang baru saja ia dengar.
Liam langsung meminggirkan mobilnya dan berhenti. "Jangan berbicara seperti itu, Ina." Ia tahu Ina hanya bercanda, tapi itu kelewat batas.
Liam menatap ke arah Peia yang masih tertidur, mengusap rambutnya, dua-rius ia hanya ingin berdua dengan Peia.
Ina yang melihat bagaimana reaksi Liam menghela napas. "Ayo, Flo, kita jalan-jalan saja, aku akan kembali ke Roen naik taksi. Buka pintunya, Li."
Melihat suasana diantara mereka, Liam berkata sembari membuka kunci pintu. "Jangan macam-macam, nyalakan lokasi supaya yang lain bisa tahu keberadaan kalian."
Liam melihat ke arah kursi belakang, Ina sudah menggandeng Florie untuk keluar dari mobil. Liam lantas melepas sabuk pengamannya dan keluar. "Sudah-sudah, kamu di mobil saja."
"Pulang sebelum jam lima, In, Flo!."
"Hahah, kamu kira aku anak-anak?" Ina memeluk tangan Florie, "Bye, wlek."
"Ck." Liam melihat Ina berjalan menjauh, jadi ia tidak membuang waktunya. Mengendarai mobilnya menjauh, ke tempat ia bisa menikmati waktu berdua dengan Peia.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Kedua
Novela JuvenilDengan meninggalnya Jes, kelas untitled kini hanya tinggal sembilan orang saja. Masalahnya, anak-anak untitled mulai mengerti hak istimewa yang mereka dapatkan. Mereka bisa melakukan apa saja, dan anak untitled terlepas dari seluruh peraturan sekol...