Liam sudah menyelesaikan ujian terakhirnya. Jadi ia mulai fokus, sangat fokus dengan laptop dan coding.
Sementara Peia baru selesai dengan sesi psikolognya dan menyampaikan hasilnya pada Vivian.
Vivian masuk ke ruang fokus perpustakaan. Duduk dan bersiap mendengarkan sang psikolog, pria yang sudah dalam usia 40an.
"Miss Vivian, haha, pasti sulit menjadi wali kelas anak-anak jenius. Mereka, terkadang bisa sangat membingungkan dan sangat pintar menutup-nutupi perkara mereka."
"Haha, yeah, mereka tidak suka aku mencampuri masalah mereka."
"Ya, ya, dari yang kudengar banyak dari mereka merasa superior."
Psikolog itu membuka kembali catatannya sebelum menutupnya dan mengatakan. "Begitu berbincang dengannya aku bisa rasa dia anak yang pintar. Aku bertanya padanya dan anak itu baru merasa ada masalah dalam mengerjakan ujian akhir-akhir ini, karena itu aku memberikannya soal ujian yang kamu pinjamkan pada ku. Aku ingin melihat gejala apa yang ia dapat, tapi ternyata ia mengerjakan semua soalnya dengan lancar. Kuperiksa dengan kunci jawaban yang kamu berikan, dan nilainya 100."
Vivian mengernyit, "Jadi? Sebenarnya apa masalahnya?"
"Aku menduga permasalahannya ada pada situasi kelas, pertemanan."
"Anak-anak remaja memang biasanya terkadang berkelahi, saling marah, bermusuhan, dan tidak lama mereka akan berbaikan, atau sekedar saling menghindar tapi—lagi-lagi karena ini kelas yang agak spesial mereka menyatakan persaingan dalam hal yang lebih ekstrem."
"Ia merasakan sakit perut, muntah, dan pusing, itu adalah efek samping dari tekanan yang ia rasakan. Ia tidak pernah menyebutkan satupun nama temannya, tapi dari pengalamanku berkomunikasi dengannya kondisinya diperparah oleh satu orang."
Vivian agak berpikir, "Maksudnya, ada murid untitled yang mengganggunya?"
"Ya, aku berpikir begitu."
Vivian menggeleng, "Mereka hanya bersembilan dan semuanya akrab."
"Itu mengapa saya bilang mereka sulit dimengerti."
"Apa yang bisa aku lakukan untuk mengetahui siapa pelakunya?"
Dokter itu sedikit mengendikkan bahu, "Sebenarnya untuk ujian bisa diatasi dengan memisah Peia dengan teman-teman sekelasnya. Tidak masalah mencoba mencari siapa yang menyakitinya, tapi aku sarankan, jangan main hakim sendiri. Awasi mereka dari jauh."
***
Vivian memanggil Peia secara pribadi, tidak membiarkan teman sekelasnya tahu kalau ia mengerjakan soal ujian secara mandiri. Peia juga tidak banyak komentar, mengejar semua ujian yang tertinggal dan seminggu kemudian, semester enamnya sudah selesai.
***
Sabtu-minggu datang, dan hari Senin setelahnya mereka sudah dalam perjalanan menuju pegunungan untuk outdoor learning.
Agenda: Mereka akan tinggal di desa terpencil.
Mereka dibagi ke dalam dua tim untuk menaiki Jeep. Timnya dibagi menjadi dua: Roen dan Vivian.
Tim Roen: Sheva, Amos, Muna, dan Lucas yang diawasi oleh Pak Roen selama perjalanan.
Tim Vivian: Liam, Clio, Peia, Florie dan Ina diawasi oleh Miss Vivian.
Perjalanan dua hari itu melewati kancah yang sulit. Melewati jalanan yang naik turun dan berbatu, padang rumput yang becek, jembatan kecil, area jalan yang membuat pantat mereka lelah.
Kira-kira pukul empat pagi hari ketiga mereka semua saling membangunkan dan turun dari mobil, mengulet, merasakan udara segar, merasakan bau tanah dan kabut pagi yang lebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Kedua
Teen FictionDengan meninggalnya Jes, kelas untitled kini hanya tinggal sembilan orang saja. Masalahnya, anak-anak untitled mulai mengerti hak istimewa yang mereka dapatkan. Mereka bisa melakukan apa saja, dan anak untitled terlepas dari seluruh peraturan sekol...