32 - Ketua Kelas

35 3 0
                                    

Ketika pagi mereka kembali berkumpul untuk sarapan bersama. Peia merasa masih mengantuk karena semalam ia kurang tidur. Hari ini juga Liam tidak meninggalkannya sendiri, mereka selalu bersisian dimanapun, Clio sampai risih untuk dekat dengan adiknya sendiri.

"Cover lagu yang bagus, Pei!" puji Lucas, "Apa itu untuk Liam?"

Peia bertatapan dengan Liam dan ia kembali kesulitan untuk mengontrol pikirannya. Wajahnya kembali berubah semerah tomat, memalingkan wajahnya dan tidak menjawab.

Liam hampir menggenggam tangan Peia ketika tiba-tiba Peia malah terkejut langsung menarik tangannya lepas. Gadis itu sampai berdiri saking salah tingkahnya.

"Pei?" Liam juga agak kaget dengan tingkat Peia.

Wajah Peia berubah tambah merah mengetahui tingkah bodohnya. Ia ingin mengatakan sesuatu tapi jantungnya berdegup kencang telinganya jadi tidak fokus dengan lingkungan, ia takut jantungnya menculas keluar, "Li-i-iamm aku malu—" suara Peia sampai gemetaran mengatakannya.

Liam termangu, "Pe-i..." Ia bisa langsung tahu apa yang membuat gadis itu jadi semerah cangkang lobster, pasti perkataannya tadi malam... "—AH! Memang harusnya aku tidak mengatakannya!" hati Liam merutuki dirinya sendiri. Wajahnya juga semakin merah.

"Capek aku lama-lama lihat orang pacaran," ucapan Ina itu sangat menggambarkan apa yang dirasakan anak-anak untitled.

Setelah makan, mereka berkumpul untuk masuk ke bus umum yang mengantar mereka ke tempat atraksi turis selanjutnya, Museum Seni. Meski tidak saling berbicara, tidak saling bergandengan tangan, Liam selalu bersebelahan dan atau mengikuti Peia.

Mereka tidak boleh memotret apapun di Museum Seni, hanya saja ... Clio—Anak itu memanjat kursi untuk menjepret salah satu foto besar di tembok. Beruntungnya ia sudah turun ketika orang sekuriti melihat-lihat.

Setelah keluar dari Museum Seni, mereka boleh berpencar dan menjelajah Window of the World yang memuat replika piramida, eiffel, menara pisa, hingga replika The Great Wall.

Liam berkeliling dengan Peia, Clio dan Ina. Karena Peia sedang mode 'error' untuk diajak bicara, Liam fokus menjepret foto-foto terbaiknya. Memotret Clio, Ina dan Peia bergantian, juga mereka bertiga dan replika-replika bangunan.

"Ina, fotoin aku sama Peia."

Ina hanya mengangguk, pasalnya ia juga berterimakasih sudah dijadikan model, give and take.

"1, 2, 3." Ina memberi jeda satu detik untuk fokus dan menjepret. "Bagus, lagi?"

Mereka mengambil beberapa jepretan sebelum Ina mengembalikan kamera Liam.

"Li," Peia yang sudah menenangkan diri itu akhirnya memanggil lebih dulu. Liam yang mendengarnya langsung mendekat, "Hm?"

Peia menyentuh kalung yang ada di balik turtle necknya. "Aku mau lihat punyamu," secara tidak langsung ia bertanya apa Liam memiliki pasangan cincin itu.

Liam tersenyum, ia berjalan mengganti posisi dari disebelah kiri menjadi di sebelah kanan. Mengaitkan jemarinya pada jemari Peia dan mengangkatnya.

Peia menyentuh cincin yang tersemat di jari Liam kemudian bertanya, "Jari telunjuk?"

Liam terkekeh, "Aku hanya tidak mau meletakkan cincin pertunangan ke jari keempatku secara solo, Pei."

Clio dan Ina yang melihat pasangan itu sudah mulai bermesraan kembali memilih pergi dan berpencar mencari teman yang lain.

"Kamu yang lakukan."

Liam melepaskan pegangan tangannya, kemudian melepaskan cincin itu dan meletakkannya ke telapak tangan Peia. Peia mengamatinya, melihat tulisan yang diukir di dalam cincin itu, 'Rain: Cassiopeia'. Ia kembali menatap Liam, "Lalu di cincinku?"

The Untitled Class: Tahun KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang