21 - Flu

34 4 0
                                    

"Saya menyukai Peia," Jawab Liam setelah hening sejenak. 

"Saya senang melihatnya tersenyum. Tawanya, tangisnya, ataupun marahnya, aku ingin menjadi saksinya. Suaranya bak penenang." 

"Ia mengerti manusia perlu kelemah lembutan, juga mengerti bahwa dirinya perlu menjadi pemberani." 

Ayahnya tertegun, matanya jadi sedikit basah mendengarnya. 

"...." 

Seserius apa kata-kata yang diungkapkan seorang anak SMA? Ayah Peia kembali mengernyitkan alisnya, kata-katanya pedas, "Kamu terlalu gegabah. Seorang anak yang memiliki segalanya. Apa kamu bahkan pernah berpikir bahwa kamu akan ditolak? Aku tidak termakan kata-kata manis. Bagaimana jika sekarang juga aku mengusirmu pergi dan ingin kamu menjauh dari Peia?"

Liam menatap mata Ayah Peia, napasnya agak tercekal dan air matanya menggenang. "Saya tahu, memenangkan hati Peia, atau hati Anda bukan perkara mudah. Saya sadar saat ini saya juga bukan siapa-siapa."

Liam menunduk, ia menutup matanya dengan telapak tangan.

"Saya sudah telanjur menginginkannya ...." ucap Liam putus asa, ia menyedot ingusnya.

"Untuk apa aku mendengar jika suaranya tidak lagi bisa saya dengar? Buat apa melihat jika keindahan itu menghilang? Mengapa ... dalam hidup ini saya harus bertemu dengannya, dan menginginkannya?"

Liam agak sebal, air matanya terlalu cepat mengalir turun. Agak kesal karena ia tidak bisa menahan perasaannya. 

Ayah Peia menghela napas. Berdiri, mengambil tisu dari meja makan dan meletakkannya di depan Liam. "Apa yang Peia lakukan padamu? Dia bukan seorang yang terlalu spesial hingga membuat seorang laki-laki menginginkannya seperti ini, atau bukan?" 

Liam mengambil tisu, menghapus jejak-jejak air mata sebelum tisu itu menjadi lembek dan tergulung karena basah.

Liam menenangkan dirinya sendiri. Dengan alis dan hidung yang memerah karena tangis, ia mengambil napas panjang sebelum memaksakan senyum. "Tapi, Om, jangan khawatir. Saya memang mengatakan saya menyukainya, tapi bukan menyukainya seperti bisnis, atau menyukainya bak menyukai daging kepiting yang harus buru-buru saya masukkan ke perut. Saya tidak mencintainya seperti itu." 

Ayah Peia tidak tahu harus memberikan reaksi bagaimana. 

"Saya tidak ... mencintainya seperti itu," ulang Liam sambil bergumam.

Saat itu, seorang pegawainya masuk, "Pak, ada sales di depan." 

Ayah Peia entah mengapa begitu lega mendengarnya. Ia sungguh tidak tahu bagaimana berhadapan dengan anak muda zaman sekarang. Ia segera berdiri, "Baiklah. Liam, kamu bisa bermain dengan Peia di atas, jangan macam-macam. Saya akan ke toko dulu sebentar." 

Liam mengangguk kecil sebelum memalingkan wajahnya dan memikirkan apa lagi yang belum ia lakukan. "Hatchi!" 

Ayah Peia agak kaget mendengarnya, melihat Liam yang baru saja bersin sebelum kembali berjalan ke toko. Anak yang aneh!

***

Tidak lepas tiga menit setelah ia berada sendiri di ruang tamu, Liam berdiri dan berjalan menaiki tangga ke lantai dua. 

"Pei," panggilnya mencari gadis itu. 

"Pei?" Ia mengetok setiap kamar. 

Kemudian melihat sosok yang tengah mengeluarkan ember dari kamar mandi. Seorang pembantu yang lengan bajunya tergulung hingga bahu. "Peia, dimana?" tanya Liam tanpa ragu.

Teman Peia, ya? "Peia gak ada disini mas. Udah keluar tadi sama Arthur."

Liam mengangguk, "Keluar dari mana? Ke mana?"

The Untitled Class: Tahun KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang