Keesokan harinya, Roen datang ke kelas dengan masing-masing amplop hasil psikotes.
"Mari terbuka saja, tidak usah dibanding-bandingkan. IQ bukan penentu segalanya tapi tentu itu berdampak pada kemampuan kalian," ucap Roen sembari meletakkan kedua tangannya di belakang badan.
Vivian membagikan amplop itu sesuai nama dan membiarkan mereka membukanya. Kertas buffalo dengan warna oranye kekuningan itu berisikan nama, dan daftar tingkatan kemampuan mereka. Ada angka tercetak tebal di samping tulisan IQ.
Roen bisa mulai melihat reaksi anak-anak. Mereka semua tersenyum tipis.
"Jangan merasa bangga, semakin tinggi kemampuan kalian artinya semakin besar tanggung jawab yang harus kalian pikul. Kalian penasaran dengan IQ milik Jes?"
Roen menatap anak-anak yang kembali memperhatikan ucapannya.
"Jes memiliki IQ 210," terus Roen.
"Hm, dari yang aku tahu, IQ tertinggi dikelas saat ini adalah... bak tinggi badan saya, 173." Roen melihat ekspresi anak-anak yang mulai penasaran.
"Siapa?" tanya Florie menghadap teman-temannya.
Clio melihat ke arah kertasnya, melihat score rata-rata yang dicetak tebal: 160. Bukan dirinya!
Clio langsung melihat ke arah Liam, "Liam berapa milikmu?"
"153," Liam menjawab kecil.
"Lucas?" Clio kembali bertanya.
"153, haha aku kembar dengan Liam."
Clio kemudian menatap ke arah Sheva, gadis paling rajin di kelas itu. Sheva yang merasa ditatap berdecak, "145!"
Peia tidak merasa IQ miliknya itu relevan. Jadi ia lebih memperhatikan kertas kakaknya daripada membuka amplop miliknya.
"Aku 143, Muna kamu berapa?" Ina juga mulai penasaran milik teman-temannya.
"150," Jawab Muna.
"Florie?"
"140."
"Kalau begitu ... Amos? Kamu diam-diam mematikan? 173?? O mai gat!"
Amos menatap Ina yang begitu yakin dirinya mempunyai iq 173. Amos meletakkan kertasnya, kemudian menatap Peia yang masih mengagumi kertas milik kakaknya.
Peia tengah tersenyum tipis melihat penilaian kecerdasan emosi kakaknya yang banyak di "cukup" dan "kurang" bahkan ada dua aspek yang "sangat kurang".
Ina menarik kertas Amos, "147!"
Muna mengedipkan mata, "Eh? Kalau begitu?"
"Kak, ini menggambarkan kakak sekali." Peia tertawa kecil membaca hasil milik kakaknya, tidak tahu bahwa setiap orang di kelas tengah menatapnya.
Melihat Peia yang tidak tanggap dengan situasinya, Clio mengambil amplop milik Peia yang masih tersegel kemudian membukanya.
Peia pada akhirnya ikut penasaran, menurunkan kertas milik kakaknya dan menantikan kertas dikeluarkan oleh kakaknya.
IQ: 173.
"Pei—" Clio tidak percaya. Adiknya yang pendiam, kutu buku, tidak pernah mengikuti lomba apapun, memiliki IQ lebih tinggi darinya?
Kecerdasan Emosi (EQ): sangat tinggi.
"..." Peia melihat ke arah skor di tangan kakaknya. Ia langsung memundurkan badannya, menatap ke arah kepala sekolah.
Sebentar-sebentar, ia perlu memeriksa apakah dirinya tengah di prank?
"Cassiopeia Starr. Bahkan aku tidak menduga kamu diam-diam anak yang brilian," Roen memecahkan keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Kedua
JugendliteraturDengan meninggalnya Jes, kelas untitled kini hanya tinggal sembilan orang saja. Masalahnya, anak-anak untitled mulai mengerti hak istimewa yang mereka dapatkan. Mereka bisa melakukan apa saja, dan anak untitled terlepas dari seluruh peraturan sekol...