Hari terakhir mereka berada di desa...
"SMASH!" Clio melompat dan menyemash bola voli. Mereka bermain olaraga Voli enam: Roen, Clio, Liam, Lucas, Amos, dan Ali dengan enam bapak-bapak dari desa. Bapak-bapak desa tidak terima dikalahkan anak muda, mereka meminta pertandingan ulang menggunakan takraw dan baru puas setelah menang.
Ali langsung mengomel dengan senyuman, "Lah, pak, mereka nggak tahu permainan takraw!"
Anak-anak putri sudah membereskan barang-barang serta mulai melepaskan kedua tenda mereka, menatanya kembali dalam mobil. Mereka juga merapikan barang milik laki-laki, membiarkannya di atas tikar untuk diperiksa kembali sementara mereka pergi mandi.
Ali melihat ke arah tenda yang sudah menghilang, "Oh, kalian sudah akan pergi hari ini?"
"Ya, siang ini, butuh dua hari perjalanan untuk sampai kembali ke sekolah," respon Amos.
"Hm... jauh juga, baiklah, hati-hati."
Anak laki-laki memeriksa barang bawaan, kemudian memasukkannya juga ke dalam bagasi mobil, setelah itu menunggu putri selesai dan mandi.
Peia menatap Liam ketika mereka berpapasan, hanya untuk bertemu dengan tatapan marah Liam.
Tim yang sama saat awal berangkat juga diberlakukan sama untuk pulang,
Tim Roen: Sheva, Amos, Muna, dan Lucas yang diawasi oleh Pak Roen selama perjalanan.
Tim Vivian: Liam, Clio, Peia, Florie dan Ina diawasi oleh Miss Vivian.
Clio duduk di sebelah Peia. Clio mengamati adiknya yang tidak mau menatapnya seharian ini. "Pei?"
"Hm?"
Clio menarik bahu Peia yang terpaling darinya, membuat Peia menatapnya. "Ada apa?" tanya Peia.
Clio memeriksa suhu tubuh Peia dari lehernya, "Tidak, kalau mengantuk tidurlah."
Peia awalnya kesal dengan Clio karena jawabannya tadi malam, tapi ia menyerah. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu kakaknya dan mulai tertidur.
Florie dan Ina sibuk mengobrol sementara Liam merasa begitu lelah, baik fisik maupun mental. Ia berpikir apa yang lebih baik pada Ali ketimbang dirinya? Tidak lebih tampan, tidak lebih pintar, atau kaya. Tidak lama setelah itu, ia teringat perkataan Ethan, karisma, apa ia kurang karisma?
Peia dan Liam yang terlalu stress itu akhirnya muntah di jalan. Orang-orang berpikir mereka begitu karena terlalu lelah, Florie memberikan koyo untuk ditempelkan di perut.
Ina berkomentar, "Akhirnya aku lihat kamu sakit juga Li."
Liam berdecak, "Cli, tukar tempat duduk."
Clio yang berada di tengah itu melihat ke arah Liam yang ada di sampingnya, "Kamu mau lihat jalan?" Clio langsung bergerak, menukar posisinya dengan Liam. "En."
Liam memperhatikan Peia yang merasakan pandangannya dan berbalik menatapnya. Saking kentaranya, Clio juga memperhatikan.
Liam tidak mengatakan apa-apa hanya menatap Peia, seolah itu bisa menghantarkan suara hatinya sampai ke hati Peia.
Peia memalingkan wajahnya, tidak nyaman dengan tatapan Liam. Itu tatapan yang sangat membebani menurut Peia, ia berusaha menebak apa yang berusaha Liam sampaikan, tapi ia jadi bingung sendiri. Liam tidak marah, tidak sedih ataupun takut, tapi juga tidak bahagia, tidak terlalu datar juga.
Peia masih mengernyit mengamati pemandangan luar dari kaca hitam jeepnya. Ia kaget ketika kepala berat Liam bersandar ke bahunya.
Clio menatap itu semua dengan heran, baru tadi malam Liam bilang sendiri kalau Peia itu anak yang paling menyebalkan, kenapa sekarang ia lihat Liam suka sekali berdempetan dengan adiknya? Ia tidak peduli, ia ingin melatih jarinya untuk bermain kartu dengan baik.
Sheva selalu memperhatikan, Liam dan Peia terus-terusan berdua setiap kali mereka ada di pemberhentian. Ia mendekati Clio, menanyakannya, tapi kakak Peia itu tampak tidak peduli. Clio akan langsung lari ke Lucas untuk memintanya menunjukkan trik lagi.
"Sungguh?" Peia berbisik karena Liam baru saja membisikkannya hal tidak terduga. "Kamu punya golden tabby tiger di rumahmu?"
"Ya, Jes pernah melihatnya, Lucas juga, itu kesayangan ayahku."
Peia menatap Liam, "Itu legal?"
"Tentu saja, ayahku dulu senang memelihara hewan, saat pekerjaannya berganti ia ingin menyerahkan semuanya agar dirawat di tempat lain, tapi tabby tiger saat itu masih bayi dan sangat manja. Ia menjadi pesaingku dalam mendapatkan perhatian Ayah."
"Kamu ada fotonya? Aku ingin lihatt,"
Liam mengeluarkan hape dari saku celananya menunjukkannya pada Peia, "Itu foto profil ayahku, aku tidak punya banyak fotonya karena jarang di rumah, haha."
"Waw, itu cantik."
"Kan, hahah, ia laki-laki!"
Sheva yang melihat dua anak itu asik sendiri kemudian mendekat, "Apa yang kalian bicarakan, sepertinya asik sekali."
Liam langsung mematikan hapenya, menepuk bahu Peia sebelum ia mencari temannya yang lain. Peia terdiam menatap Sheva. Liam bisa melarikan diri begitu saja, mengira Peia dan Sheva bisa mengobrol dan melupakannya. Masalahnya Sheva tidak bicara menggunakan mulut dengan Peia, satu lirikan tajam dari sudut matanya dan Peia sudah merasa ia tidak baik-baik saja.
Peia tidak suka cara Sheva memperlakukannya, tidak nyaman dengan tatapan bencinya. Peia tersakiti oleh perkataan Sheva, tapi ia tahu benar kalau Sheva bukan penentu hidupnya. Selama Liam tidak masalah, ia tidak ada niatan untuk keluar dari kelas untitled. Ia lebih kenal Liam daripada mengenal Sheva, ia cukup tahu kalau Liam akan lebih sedih kalau ada anak yang keluar dari untitled daripada merasa kesal bila ada anak yang kesulitan diatur.
Peia melihat ke sekitar, ada banyak orang di perjalanan, Sheva tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyakitinya, jadi ia mengabaikan Sheva.
Ia tidak tahu, seberapa nekat gadis itu menjadi setelah memancingnya.
Mereka sampai sore hari kembali ke asrama ketika Roen sudah memberikan tugas mereka berikutnya: "Mulai sekarang, anak yang sudah menyelesaikan ujian, harus mengumpulkan lima resensi buku setiap bulan."
"Lalu, minggu ini, kalian harus mengedit kegiatan kalian di desa dan jadikan sebuah film dokumentasi."
Liam sama sekali tidak dibriefing akan pemberitahuan itu. "Pak—Ini anak reguler libur loh, Pak?"
Ya, libur semester sudah diadakan ketika mereka kembali. Seharusnya, seperti sebelumnya, mereka akan libur dua minggu.
"Ya, silakan kalau yang mau pulang, kalau nggak minggu ini bapak gak akan terima videonya."
Liam meneguk ludah, melihat teman-temannya yang membawa tas itu untuk pertama kalinya mengeluh dan terlihat lesu.
"Baik, pak, terima kasih." Liam melihat ke arah Lucas, di kelas hanya mereka berdua yang familiar dengan editing video. Lucas memalingkan wajahnya, ia sungguh hanya ingin tidur seminggu ini.
Roen dan Vivian sudah beranjak pergi. Entah apa yang dilakukan Roen mungkin sibuk dengan kegiatan investasi atau pergi ke luar negeri, tetapi Vivian meminta izin pada anak-anak untitled untuk tetap tenang selama dua minggu ini karena ia harus pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Kedua
Teen FictionDengan meninggalnya Jes, kelas untitled kini hanya tinggal sembilan orang saja. Masalahnya, anak-anak untitled mulai mengerti hak istimewa yang mereka dapatkan. Mereka bisa melakukan apa saja, dan anak untitled terlepas dari seluruh peraturan sekol...