24 - Polos

27 2 0
                                    

Malam hari di daerah rumah Peia masih terasa agak panas. Peia merasa Liam perlu angin sejuk jadi ia mengajaknya mengobrol di teras rumah, duduk di kursi bambu panjang. 

Liam melihat ke atas langit, tidak ada bintang bertaburan, tidak seperti langit di rumahnya. Rumah orang tuanya itu ribuan kali lebih indah, kan? Tapi ia merasa malu, Ayah Peia menerimanya dengan rendah hati, tidak melebih-lebihkan perlakuannya--seperti kebanyakan orang ketika tahu latar belakangnya yang merupakan orang kaya dan menganggapnya seperti orang biasa. Sedangkan, saat ia membawa Peia ke rumahnya, mereka memperlakukannya dengan remeh karena kekayaan Peia tidak berarti.

"Liam, kamu mencintai keluargamu?" tanya Peia memecah lamunan Liam. 

Liam menatap ke arah Peia, mencerna kembali apa yang baru saja perempuan itu katakan sebelum mengangguk, "Dulu aku berpikir begitu." 

"Bagaimana dengan adikmu? Kamu mencintainya?"

Liam terhening sejenak, "tentu saja, dia adikku."

"Lalu aku?"

Liam menatap ke arah langit, cahaya keemasan dari bulan penuh itu mencuri perhatiannya. "Ya, jika aku bilang aku menyukai bulan malam ini karena itu terlihat indah. Dan ...", Liam menatap Peia, tersenyum tipis, "aku berkata aku menyukaimu karena kamu lebih indah, apa itu jawaban yang kamu mau?" 

Liam menatap Peia yang agak kebingungan perlahan raut kecewa Peia semakin terlihat. 

"Hm? Tolong lebih spesifik. Orang tuaku, aku perlu mencintai mereka, Noah, adikku, siapa yang bisa dia andalkan selain orang tua dan kakaknya? Tapi kamu, aku harus mencintaimu sebagai apa? Apa tempatku dalam hidupmu?"

Liam juga ingin tahu, dimana posisinya dihati Peia. 

Peia memalingkan matanya, ketika netra Liam bertemu dengan miliknya. Kepercayaan dirinya turun. Ia salah memaknai perkataan Liam. Ia memaknainya sebagai dirinya yang bukan apa-apa tidak pantas bersama dengan Liam.

"Lalu Sheva, kamu akan bertunangan dengannya. Kamu mencintainya?"

Liam terdiam topiknya berubah, ia tidak suka membahas itu dengan Peia. "Tidak."

"Tapi kamu akan bertunangan dengannya, kan?"

"Tidak."

"Bohong, pada akhirnya aku bukan apa-apa, dan kamu butuh Sheva."

Liam menatap Peia. Ia bahkan belum melakukan apa-apa, tapi Peia sudah membanding-bandingkan dirinya dengan Sheva.  

"Hentikan, aku tidak suka topik ini."

Peia memalingkan wajahnya, ia kesal. Jadi apa kesimpulannya? Liam tidak mengelak pernyataan terakhirnya. Ia sudah melakukan banyak hal yang membuat dirinya bingung, tapi bukannya menyelesaikan kesalahpahaman dan semua hal yang tidak pasti, Liam justru menyuruhnya berhenti?

Apa karena dirinya tidak penting? Kalau tidak penting mengapa ke rumahnya? Hanya karena ketua kelas? Ia pernah mengantar jemput Sheva, dan kali ini mengantarnya juga ke rumahnya, hanya karena jabatannya sebagai ketua kelas? 

Apa ia harus sampai melakukan semua ini? Jika ia menyukainya dengan perbandingan bulan di langit? Maka jika ada orang yang lebih indah darinya, ia juga akan menyukainya? Jadi, intinya, dirinya ini bukan siapa-siapa?

Liam melihat wajah Peia yang semakin berkerut dengan amarah. Liam semakin tidak mengerti apa yang dipikirkan Peia, jadi ia ingin memecah suasana, "Giliranku."

"Peia, menurutmu umur berapa yang ideal untuk menikah?"

"23," jawab Peia asal. Ia sudah capai, tidak mengerti kenapa Liam masih terlihat santai. 

The Untitled Class: Tahun KeduaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang