"Begitukah? Kelas Untitled akan bubar kalau kita ketahuan, kan? Ini tindak kekerasan yang tidak mungkin ditolerir hukum."
"Haha, pikirkan betapa kamu akan mengecewakan Liam? Tidak, bukankah Clio sendiri berputus asa ingin bertahan di kelas untitled."
Peia menggeleng, ia sudah menahan tubuhnya lemah di lantai.
Sheva menariknya berdiri, membuka pintu toilet, mendorong Peia duduk ke atas toilet, menutup pintu dan meninggalkannya. Peia merintih, dan terus merintih. Ia berlari ke uks, membukanya dengan kartu kamarnya dan mencari analgesik untuk meredakan rasa nyerinya.
Wajahnya sudah transparan, ia tidak punya banyak energi tersisa untuk pergi ke kelas berpura-pura tidak terjadi apa-apa, ataupun energi tersisa untuk melakukan perjalanan ke kamar. Ia naik ke ranjang UKS dan tidur di sana.
"Ah, Peia benar-benar tidak bisa ditinggal sendiri." Liam memeriksa jam melihat ke sekeliling, tidak menemukan Peia. Ia meneleponnya, tapi tidak diangkat.
Bahkan sampai sore, ia mengetuk pintu kamar Peia, tapi tidak ada jawaban. "Clio, adikmu mana?" tanya Liam kearah Clio yang baru berjalan dari lift.
"Lokasi, kamu kan punya lokasinya, Li?" Clio mengernyit.
Liam menghela napas sebelum ia membuka hapenya dan melihat lokasi Peia yang masih berada di gedung SMA. "Ck, anak itu." Peia selalu berhasil membuat Liam khawatir. Membuatnya berlari sore-sore. Jarak asrama dan SMA itu cukup jauh untuh berlari.
Ia membuka pintu UKS, langsung melihat Peia yang tidur di salah satu ranjang tanpa menutup tirai.
Liam menghela napas, ia mendekat dan menggucangkan tangannya, "Pei? Kenapa tidur disini?"
Liam agak terkejut ketika Peia justru terengap ketika bangun, memeluk perutnya. Ia agak mundur melihat Peia yang bertindak tiba-tiba. Tapi, suaran erangan Peia terdengar. Membuat Liam memeriksa, "Oh, mana? Mana yang sakit?"
Liam menekan perut samping Peia dan Peia langsung berteriak sambil reflek memukulnya. Liam langsung mengernyit, "Sungguh, sesakit itu?"
Peia menatap Liam tajam. "Ish. Kenapa membangunkanku?"
"Apanya yang kenapa? Ini jam lima, Pei!"
Peia mengernyit, "Hah?" Ia membalikkan badannya untuk melihat jendela sebelum ia kembali merasa perih.
Liam mengulurkan tangannya, membantu Peia berdiri. Mereka keluar dari UKS, dan Liam bertanya, "Kamu terpeleset lagi?"
Peia menatap Liam kesal.
"Kamu jatuh dimana? Apa masih sakit? Sepertinya akan meninggalkan memar," goda Liam, "perlu ke rumah sakit?"
Peia menggeleng, "Malas." Sudah terlalu banyak memar yang belum menghilang, jika ditindih lagi... sepertinya tidak akan terlihat.
"Kau yakin tidak masalah?" Liam agak meremat tangan Peia kemudian melepasnya, "Lihat, tanganmu jadi merah begini hanya karena bergandengan tangan."
Peia mengendikkan bahu, "Ntah, uh, sesak." Ia mengelus dadanya yang terasa engap.
"Peia... apa kamu akan terus berada di kelas untitled?" Liam memberanikan diri menanyakannya, ini adalah kesempatan dimana mereka hanya berdua.
Peia berjalan, terbatuk sedikit akibat rasa sakit di dadanya, "Tidak-tidak, Liam... itu salah paham."
Liam berusaha diam, menahan diri untuk mendengarkan baik-baik.
"Aku, bahkan jika aku tidak pintar, aku tidak peduli, aku bersenang-senang di kelas untitled dan itu cukup."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Untitled Class: Tahun Kedua
Fiksi RemajaDengan meninggalnya Jes, kelas untitled kini hanya tinggal sembilan orang saja. Masalahnya, anak-anak untitled mulai mengerti hak istimewa yang mereka dapatkan. Mereka bisa melakukan apa saja, dan anak untitled terlepas dari seluruh peraturan sekol...