52.

551 71 17
                                    

Malam Natal yang meriah.

Makan malam yang menjadi rutinitas keluarga Gi satu malam sebelum hari Natal kini terasa berbeda. Kini terasa lebih ramai dan suasananya berbeda karena dilakukan di rumah paman Gi, bukan lagi di rumah Nenek Gi. Kehangatan yang berbeda dan sudah dinantikan seluruh anggota keluarga.

Sayangnya, hal itu tidak terjadi pada Gi. Semenjak kemunculan foto Harry dan Kendall sejak dua hari yang lalu, Gi jadi tidak mood melakukan apapun. Pikirannya disesaki oleh semua anggapan-anggapan tentang Harry dari orang-orang.

Sejak saat itu pula, Harry menghubunginya terus menerus. Gi enggan untuk berbicara dengan pria itu karena ia terlanjur kesal. Harry bahkan tidak memberikan kabar saat hendak bertemu Kendall, tahu-tahu sudah menyebar saja beritanya. Ia semakin merasa ditipu saat mengetahui hal tersebut bukan dari Harry langsung.

Masalahnya bukan hanya tentang siapa yang ada di dalam foto itu, melainkan juga bagaimana pose yang ada di dalamnya. Kalau berjalan berdampingan seperti biasa sih Gi masih bisa menahan emosinya, tapi kali ini mereka terlihat begitu dekat. Bukan sekedar bergandengan tangan saja, tapi juga berciuman. Gi sendiri bahkan tidak pernah terlihat seintim itu dengan Harry di depan publik.

"Gi, kau belum menyentuh makananmu sama sekali." bisik Tia yang duduk di samping Gi.

Gi mengerlingkan matanya dan hanya menghela napas sambil menggenggam garpu dan pisaunya lemah.

Tia menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak habis pikir dengan kakaknya yang satu itu. "Kau harus makan kali ini, jangan mengelak. Sudah seharian perutmu itu belum diisi apapun."

Gi kemudian mengiris steak miliknya dan menyuapkan sepotong ke dalam mulut. "Tuh, sudah aku makan."

"Kau mau terus di meja makan tapi tidak makan apa-apa? Bukannya justru semua akan heran denganmu? Apalagi Nenek. Setidaknya berpura-puralah sebentar dan nikmati malam ini. Tidak enak kan dengan yang lain." Tia menatap mata kakaknya dalam.

Gi mau tak mau setuju dengan kalimat Tia. Orangtua serta keluarganya tidak harus tahu keadaan Gi saat ini, tidak saat Gi belum siap untuk membahasnya dengan orang lain selain Tia. Sebenarnya dia bahkan tidak ingin Tia tahu, tapi Tia bukan orang yang mudah dibohongi, terutama oleh Gi yang tidak pernah lihai dalam tipu menipu.

Senyum yang terpaksa terlihat di wajah Gi. Orang-orang di meja makan masih sibuk membahas bagaimana nenek Gi akan tinggal di rumah pamannya. Gi sendiri hanya menyimak atau sesekali mengangguk menyetujui tanggapan yang disampaikan di dalam forum. Perutnya yang belum diisi seharian juga sudah tidak tahan dengan sikap Gi sehingga Gi harus mengisinya atau ia akan kelaparan hingga besok pagi.

"Bagaimana denganmu, Gi? Kudengar kau sedang berhubungan dekat dengan seorang selebriti?"

Mata Gi membelalak kaget mendengar kalimat yang terlontar. Ia mencari siapa yang berbicara dan ia langsung tahu kalau yang bertanya adalah pamannya. Gi cepat-cepat mengunyah lalu meneguk air. Bukannya tadi sedang membicarakan neneknya? Bukan tentang hubungan Gi atau kehidupan Gi.

"Ah, hanya teman biasa, Paman." elak Gi kaku. Kedua manik matanya enggan menanggapi semua pandangan yang kini tertuju ke arahnya.

Paman Gi terkekeh sebentar. "Kalau teman biasa, jadi kau masih dengan Mike?"

Gi lupa kalau pamannya mengenal Mike walaupun tidak sedekat ayahnya dengan Mike. Nama itu bahkan sudah tidak pernah terngiang di dalam pikiran Gi. "Dia juga temanku sekarang."

"Baru beberapa hari yang lalu Nenek mendengarmu bercerita tentang Harry?" celetuk nenek Gi. Pertanyaan itu membuat Gi tersedak.

"Ya, tapi itu kan sudah beberapa hari yang lalu, Nek. Sekarang kami hanya berteman biasa."

the lucky one (h.s./l.p.) | COMPLETEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang