BAGIAN 16

346 54 13
                                    

Abizar turun dari SUV Putih-nya, dengan langkah cepat ia memasuki rumah nuansa putih berpelataran luas penuh dengan tanaman hijau terawat dan tiang-tiang besar yang bisa menyangga tiga lantai sekaligus, rumah masa kecilnya. Ia menyapa tukang kebun dan penjaga rumah sekilas sebelum memasuki kamar Mamanya. Baru masuk saja dia sudah merasakan bagaimana suasana sepi dan kosong itu melanda.

Dokter Rangga keluar dari sebuah kamar membuat Abizar mempercepat langkahnya. "Mama aman, Dok?", tanyanya dengan raut khawatir.

"Aman"

"Saya mau bicara dulu, Zar", lanjut Dokter Rangga.

Abizar mengangguk lalu menggiring Dokter Rangga menuju ruang tamu lalu mempersilahkan Dokter Rangga duduk di sofa putih panjang. 

Pria yang hampir seusia dengan Abizar itu menghela nafas pendek saat mendudukkan dirinya. "Mama kamu tadi sempat pingsan'", pernyataan singkat itu cukup membuat Abizar terhenyak.

"Kenapa? Bukan karena serangan jantung, kan?", tanya Abizar.

"Stroke kaitannya sama otak, Zar bukan jantung. Jadi cukup jarang serangan jantung nyerang orang stroke, kecuali emang ada riwayat penyakitnya"

"Penyakit Mama kamu makin serius. Diagnosa saya ada komplikasi penyakit lain yang muncul. Deep Vein Thrombosis. DVT ini bekuan darah, bekuan darah ini bisa kebentuk karena proses koagulasi, waktu terjadi cedera, darah ini menggumpal lalu ngebuat pendarahan berhenti. DVT ini ngebentuk di pembuluh darah, biasanya bagian tungkai, betis atau daerah paha, atau bisa juga di pembuluh darah bagian yang lain. Mama kamu ini kena yang bagian tungkai", lanjut Dokter Rangga.

"Tolong jelasin pakai bahasa yang saya paham, Dok. Jadi intinya Mama kenapa?", tanya Abizar. Otaknya tidak bisa berpikir jernih.

"Iya Zar, singkatnya ya kena DVT itu tadi, penggumpalan darah di vena tungkai jadi ngebuat pembuluh darahnya tersumbat, akibatnya bisa lumpuh. Lebih parahnya lagi gumpalan kecil ini kalau ngalir ke paru-paru bisa menghambat pernapasan karena nyumbat arteri"

"Tapi itu masih diagnosa saya. Soalnya tadi kesaksian orang rumah, Mama kamu sempat jatuh"

"Tapi tetap harus ke rumah sakit dulu. Kita venografi biar lebih jelas", pungkas Dokter Rangga.

Abizar berusaha memasang raut muka tenang. "Perlu operasi?"

"Karena itu masih diagnosa saya jadi tetep harus ke rumah sakit dulu, Zar buat mastiin. Kalau diagnosa saya benar, di usahakan pakai obat dulu, nanti saya tambahin antikoagulan atau pakai stoking kompresi. Kalau misal masih nggak bisa, mungkin nanti tetep pembedahan atau filter vena"

"Jadi terapi apa yang harus saya lakuin buat Mama?"

"Tetep di kontrol pola makannya aja Zar, terus sering di ajak keluar juga, jalan-jalan sekitar kompleks. Support penting soalnya", nasihat Dokter Rangga.

Abizar mengangguk paham. 

"Ada yang mau di tanyain lagi?", gelengan pria di depannya membuat Dokter Rangga tersenyum. 

"Cepet sembuh kalau ikhlas sama sabar, insyaallah", Dokter Rangga menyemangati.

"Saya duluan ya, sudah mau masuk jam praktik", pamit Dokter Rangga.

Abizar mengucapkan terimakasih lalu berdiri ikut mengantar dokter keluarganya itu menuju depan rumah. Setelah semuanya beres, ia segera menuju kamar Mamanya.

Abizar berdiri di ambang pintu. "Ma...", seru Abizar lirih lalu mendekat ke arah Anya yang terbaring di tempat tidurnya. Anya tersenyum tipis mendapati anaknya yang berada di rumah. 

Abizar mendekat ke arah perempuan yang mengenakan sweater abu-abu dan syal yang senada. Wajah pucatnya nampak semakin jelas di kulit putihnya, pria itu duduk di samping tempat tidur lalu mengambil tangan Mamanya dan memijat pelan disana.

Office TaleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang