Perempuan dengan pakaian formalnya yang masih melekat saat jam menunjukkan pukul lima sore itu menatap hampa jalanan Jakarta dari lantai tiga puluh dua. Bosan sekali mendengar tiga orang beda usia di hadapannya meributkan masalah pencapaian mereka selama hidup di dunia. Ibarat ia mendengar para gedung yang sibuk meributkan bahwa masing-masing dari mereka telah mampu mencakar langit. Gunanya apasih? Toh pada akhirnya, langit tetap tidak bisa tersentuh. Pada akhirnya mereka juga tidak mampu menandingi yang menciptakan mereka, kan?
Alna mengubah posisi menjadi duduk tegak seraya melihat arloji di tangan kirinya lalu sedikit membenarkan pashmina yang dia rasa kurang simetris. Tubuhnya terlampau pegal, ia tidak habis pikir, kenapa Abizar tiba-tiba membawanya ke tempat ini saat dia berkata sudah akan ada janji temu dengan rekan perusahaannya.
Ketika salah satu dari pria di seberangnya memberikan interupsi bahwa rapat kali ini di akhiri, Alna mengucapkan hamdalah berkali-kali dalam hati. Waktunya terlalu berharga untuk sekedar mendengar pertikaian yang tiada ujungnya, lebih baik dia segera pulang dan melanjutkan kegiatan lain yang lebih menanti dirinya.
Perempuan itu tersenyum sopan pada ketiganya seraya mengucapkan terimakasih. Ia melirik sekilas ke arah pria di sampingnya yang melakukan tindakan sama, lalu pria itu ikut mengantar para petinggi Artha Raya itu seraya berbincang-bincang singkat di luar konteks pekerjaan.
Menyadari tidak akan ada kegiatan lagi, Alna dengan cekatan membereskan gelas minuman dan bungkus makanan yang masih tersisa. Setelah membuang sampah dan mencuci gelas, perempuan itu kembali ke ruang rapat lalu mematikan air conditioner yang masih menyala. Bertepatan dengan itu, Abizar juga mengakhiri sambungan telepon dengan koleganya.
"Udah beres?", tanya pria itu memastikan.
"Apanya? Ini udah semua", balas Alna seraya memasukkan barang-barangnya ke dalam tas kerja miliknya.
"Oke. Udah jam 5"
"Kalau begitu...saya diizinkan buat pulang kan ya?"
"Katanya ada janji temu?", Abizar berbalik tanya.
Alna terdiam sejenak. "Sebenarnya Pak Ozan masih ngajak ketemu karena saya yang tiba-tiba batalin tadi karena perintah Bapak"
Kedua orang itu berjalan beriringan setelah melewati sliding door. Hening menerpa sekitar, suara ketukan hak sepatu tiga centimeter dan pantofel pria mengisi kekosongan yang ada.
"Dia masih ngajak kamu buat ketemu?"
"Kalau saya minta kamu buat batalin lagi, bisa?"
"Atau lebih baik kalau kamu selalu tolak permintaan dia waktu dia buat janji temu", sambung Abizar mengajukan permintaan.
Alna menoleh sekilas ke arah pria di sampingnya yang saat ini menyeimbangkan tempo berjalannya. "Saya butuh alasan yang kuat kenapa saya harus ngelakuin itu"
Di tanya seperti itu membuat Abizar kembali berpikir keras memikirkan alasan yang sekiranya rasional dan mudah di terima, tidak mungkin jika ia menyampaikan kalau Alna sedang dalam kondisi berbahaya saat ini, mengingat ucapan Ozan tempo lalu yang tampaknya bukan hanya bualan semata. Perempuan itu pasti akan bertanya-tanya, kenapa ia bisa berada dalam kondisi berbahaya yang dimaksud pria itu dan Abizar juga tidak mungkin mengutarakan masalah yang sebenarnya sedang terjadi, yang mana permasalahan itu tidak ada sangkut pautnya dengan Alna.
"Karena dia udah bukan bagian Artha Raya lagi", jawab Abizar setelah terdiam cukup lama.
"Kirain karena Bapak cemburu", balas Alna yang membuat Abizar terbatuk singkat mendengar ungkapan yang terdengar polos di telinganya itu.
"Saya? Cemburu? Yang benar saja kamu", Abizar tidak terima.
"Iya sih. Masa cemburu sama bapak-bapak", jawab Alna seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Tale
SpiritualBertemu dengan mantan pacar yang kini berubah status menjadi bosnya adalah salah satu benturan kehidupan yang tidak pernah terpikirkan dalam kamus seorang Alna Amira Hassan. Semuanya mendadak rumit saat Abizar Zaydan Al Ghafar terpaksa mengajak sekr...