Bau karbol disinfektan merayap di penciuman seorang perempuan yang sedang duduk seorang diri di ruang tunggu rumah sakit. Kedua tangannya yang bertautan tidak berhenti bergerak menyalurkan rasa cemas. Berkali-kali melihat ke arah pintu tindakan yang sejak setengah jam yang lalu masih tertutup rapat.
Kini ia beralih berjalan mondar-mandir berusaha menghilangkan pikiran tentang kejadian yang dia lihat tadi. Bagaimana umpatan yang Abizar keluarkan untuk Ozan. Bagaimana beringasnya pukulan pertama Abizar, jika mendapati Ozan keluar dari ruangan dalam kondisi muka yang lebih dari bengkak. Dan yang paling parah...bagaimana ketika melihat Abizar sudah tersungkur dengan pisau yang tertancap di lengannya.
Alna juga tidak tahu bagaimana kronologi keduanya sampai terakhir mendapati kondisi Abizar seperti itu. Yang terlintas di pikirannya ketika berhasil bebas dari Ozan hanyalah, bagaimana caranya ia harus mencari bantuan, apalagi mendapati Abizar yang sudah melayangkan pukulan. Alna terlampau yakin jika yang terjadi seterusnya hanya perkelahian tiada ujung jika tidak ada yang melerai keduanya. Mendadak dia menyalahkan dirinya sendiri, kalau saja dia datang lebih cepat dengan bantuan, pasti tidak akan ada kejadian seperti ini.
Pintu besi lebar di seberangnya terbuka, memunculkan salah satu tenaga medis yang menangani Abizar. "Siapanya Pak Abizar?", tanya pria dengan balutan setelan biru tua khas baju tindakan.
"Rekannya, Dok. Saya rekannya. Gimana kondisi Pak Abizar?", tanya Alna beruntun.
"Alhamdulillah nggak ada yang serius karena nggak berdekatan sama sesuatu yang vital. Tinggal tunggu Pak Abizar siuman aja" Rasanya jantung Alna kembali menempati posisinya ketika mendengar itu. Dia ikut melafalkan hamdalah berkali-kali.
"Kalau ada apa-apa nanti tinggal pencet tombol aja ya, Mbak. Saya mau lanjut visit ke yang lain", Dokter itu pergi setelah mendapati anggukan dari Alna.
Langkah perempuan itu beralih mengikuti beberapa tenaga medis yang mendorong brangkar Abizar menuju bangsal. Ia celingukan mencari keberadaan Aiden yang katanya pergi ke kantin tapi sampai sekarang belum juga memunculkan keberadaannya lagi.
Tiba di bangsal naratama dan mendapati hanya dia seorang diri bersama Abizar di sini, mendadak Alna terliputi sungkan. Ia memilih melangkah keluar dan berniat menunggu di luar ruangan.
Sampai di ambang pintu, pergerakannya terhenti, dia memutar kepalanya memandang Abizar dari kejauhan. Perasaannya semakin di terpa rasa bersalah melihat Abizar yang biasanya tegas dan berwibawa, yang tidak mau membuang waktu bekerjanya, yang selalu dominan dan stricth dengan pekerjaan, kini harus terbaring lemah di atas kasur rumah sakit.
Pemuda yang sejak tadi mendominasi pikiran Alna mendadak terbatuk hebat dalam tidurnya, mata yang sejak tadi tertutup, sekarang sudah terbuka dalam kondisi sadar, membuat gadis itu seketika membuang pandangan ke arah lain dengan tatapan membulatnya. Apa yang harus dia lakukan setelah ini? Berpura-pura tidak tahu? Berpura-pura izin ke toilet?
"Ambilin minum" Suara yang terdengar memerintah dan sedikit serak itu membuat Alna menunduk. Kini gadis itu memutar langkah menuju nakas, mengambil gelas dan mengisi air mineral yang sudah di sediakan oleh bangsal. Pikirannya merangkai basa-basi apa yang harus ia ajukan pada Abizar.
Membawa gelas bening panjang yang sudah terisi penuh, kini Alna mengangsurkan pada Abizar yang mendadak sudah beralih posisi menjadi duduk di pinggir ranjang. "Sakit ya, Pak?" tanya Alna ketika pria itu selesai meminum air dalam sekali tegukan.
"Mau saya tunjukin?", Abizar berbalik tanya.
Karena di rundung penasaran, Alna mengangguk seketika. Pria itu menghela nafas pelan lalu tak urung mengangkat salah satu lengan baju rumah sakitnya. Gadis itu mendesis ketika melihat darah yang masih menembus di sela perban tebal Abizar. Diikuti dengan lebam biru keunguan di sisi-sisinya. Mendadak air matanya terkumpul melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Ia menunduk lalu mengusap air mata yang mengalir di pipinya dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Office Tale
SpiritualBertemu dengan mantan pacar yang kini berubah status menjadi bosnya adalah salah satu benturan kehidupan yang tidak pernah terpikirkan dalam kamus seorang Alna Amira Hassan. Semuanya mendadak rumit saat Abizar Zaydan Al Ghafar terpaksa mengajak sekr...