Amarah Elang.
Senja Prameswari tidak bisa diam, walaupun ia telah melewati masa yang sulit karena kaki dan tangannya yang terluka. Namun, saat ini Senja malah ingin duduk di luar tenda untuk memandangi langit malam.
"Loh, harusnya neng Senja tidur," pinta Arjuna.
"Nggak, ah, aku belum mau tidur. Mau memandang bintang, numpung kita masih di sini, a' Juna." Senja perlahan beranjak dan melangkah ke halaman tenda.
Benar saja, semakin malam maka bintang-bintang di langit semakin jelas menampakan diri.
"Neng Senja kok nggak tidur?" tanya Elang yang sedang sibuk menyeduh pop mie.Senja hanya menggeleng, "belum ngantuk," pungkasnya.
Ia pun duduk di atas bangku panjang yang terbuat dari papan kayu. Sagara mendekat dan duduk di sampingnya tanpa ragu.
"Neng Senja kakinya udah baikan?"
"Alhamdulillah, a'." sahut Senja.
Dari kejauhan terlihat Jay dan Widuri yang mendekat ke arah tenda, Widuri bergegas memeluk Senja.
Senja terdiam di dalam pelukan temannya saat menghirup aroma sabun mandi yang tak asing di penciumannya. Bau sabun mandi dari hotel yang harumnya hampir selalu sama di setiap hotel mana pun. Semua mata kini memandang ke arah Jay dan Widuri.
"Kalian dari mana saja?" Senja memandangi keduanya, menoleh pada Arjuna sampai suami tampannya itu mendekat ke sampingnya.
Widuri hanya tersenyum tipis dengan tatapan nanar. Ia pun hendak memeluk Senja kembali, tapi Arjuna memintanya untuk tidak melakukannya karena menghawatirkan kalau Widuri bisa saja tak sengaja menyentuh luka Senja.
Jay mengernyit memperhatikan Senja dan menjadi peka bahwa Senja tidak sedang baik-baik saja.
"Neng Senja, kenapa?" Jay menyentuh pundaknya.
Mendengar itu, Elang lantas mendelik, mulutnya kembung dipenuhi mie instan sembari memandang ke arah Jay Pramudya.
"Juna, neng Senja kenapa?" Jay kembali bertanya.
"Tadi sempet ada keributan, tapi untungnya sudah terkendali," ucap Arjuna.
"Kok bisa ribut?" Jay mengernyit.
"Jay, aku nggak apa-apa, ceritanya panjang," ucap Senja.
"Tapi tangan neng Senja terluka?" Jay melihat luka itu.
"Bukan hanya tangannya yang terluka, tapi juga kaki neng Senja terkilir!" seru Elang yang kini menghampiri kakaknya itu.
Jay memandang pada Elang dan tertegun di hadapannya.
"Neng Senja terluka dan berdarah," ujar Elang.
"Apa? Apakah lukanya sudah diobati?" Jay semakin menatap Elang, merasa khawatir, lalu menoleh pada Senja dan menyentuh lengannya.
Elang sempat memalingkan wajah, mengulum bibir dan menepis tangan Jay berusaha menjauhkannya dari Senja.
"Mulai sekarang, jangan sok perhatian," tegasnya.
"Elang." Senja sontak menegurnya.
Semuanya kini tercengang oleh sikap Elang.
"Elang, kamu kenapa?" Jay bengong di hadapannya.
Elang berpaling wajah dan kembali menatapnya. "Kenapa malah ke sini? Kenapa nggak pulang saja? Kenapa baru ke mari? Kenapa tidak menjawab telepon? Kenapa nggak balik dari kemarin malam? Kenapa kalian berdua tidak mati saja di jalanan." Elang mencecar secara gambalang.
"Elang!" Jay membentaknya.
"Jay!" Senja seketika menghadang Jay karena merasa khawatir kalau sampai Jay kehilangan kendali terhadap Elang.
Ia pun memandang Widuri yang hanya tercengang di samping Jay, Elang menajamkan tatapannya yang kini terfokus pada Widuri.
"Kenapa nggak sekalian saja bawa Jay pergi dari sini, bawa kekasihmu ini kabur dari sini, Widuri." Elang meninggikan suaranya.
"Elang!" Jay hendak menamparnya, tapi Senja seketika menahan tangan Jay yang diikuti oleh Arjuna di sampingnya.
Senja menoleh pada Elang dan berusaha membujuknya untuk sabar.
"Elang, kamu kenapa?"
Elang menatap Senja, bibirnya mengatup rapat dan mulai berkaca-kaca.
"Ngomong dari rumah, mau bawa mobil untuk menjaga hal yang tidak diinginkan. Bunda bilang, mobil itu untuk mengantisipasi, buat neng Senja. Bukan buat kalian berdua. Ngerti!" Elang membentak ke arah Widuri, hingga wanita itu terperanjat.
Lingga dan Aerlangga saling menatap dan mendekat ke samping Elang. "Elang, kamu kenapa?" Lingga mengusap pundak kekarnya, tapi Elang tidak menggubris.
"Sekarang jawab aing, kalian berdua habis ngapain, Bangsat!" Elang membentak kakaknya.
Seketika itu juga, Jay menampar wajah Elang hingga adiknya tersungkur.
Plak!
"Ya Allah, Jay!" Senja merengek dan menghalangi Elang darinya.
Arjuna dan yang lainnya kini melerai perdebatan antara adik kakak itu. Mereka pun tidak pernah menyangka kalau Jay akan sampai berbuat kasar pada Elang. Juga sebaliknya, mereka tidak pernah menyangka kalau Elang akan berani mengucapkan beberapa kata kasar pada kakaknya.
"Kurang ajar mulutnya," cecar Jay dengan perasaan emosi di hatinya.
"Jay!" Widuri menahannya.
Elang menatap Senja yang kini mulai berlinang air mata.
"Udah, Elang, jangan berantem. Aku bisa nangis nantinya." Senja mencoba menahanya.
Elang mengusap pipi Senja dengan lembut, pemuda kekar itu kini kembali mendekat ke hadapan Jay dan menatapnya dengan lekat.
"Biasanya selalu paling protektif ngurusin neng Senja. Tapi kali ini, malah yang paling ngebangke. Aing mikir kalian udah mampus di dayang sumbi, atau jangan-jangan kalian habis ngewong di kebun teh." Elang kembali mencibir kakaknya.
"Elang!" Senja membungkam mulutnya dengan telapak tangannya.
Jay terperangah, matanya membulat, tapi semburat merah jelas terlihat. Ia lalu menoleh pada Widuri dan saling menatap. Sementara teman yang lain hanya saling terpaku.
Elang menepis tangan Senja dan meludah ke samping. "Ciihh! Aing sangat muak dan jijik sana kalian bedua. Goblok, nggak tahu diri," cibirnya dengan beberapa makian.
Jay kembali terperangah, Elang lantas semakin emosi dan menarik kerah baju kakaknya sendiri.
"Elang!" Senja mulai menangis.
Arjuna dan Jona menghadang Elang.
"Mulai sekarang, jangan sok peduli pada neng Senja. Aing akan bilang ke bunda, sia cuma zina sama tuh cewek, kalian berdua anjing!" bentaknya tak terkendali.
"Elang!" Senja hanya bisa menangis.
Jay dan Widuri semakin rapuh mendengar teguran dari seorang Langit Biru.
Elang mendengus kesal. "Jay, sia goblok. Ngebelain tuh cewek. Aing bersumpah. Sia bakal menyesal," ujarnya yang belum puas dengan sumpah serapahnya.
"Seperti aing yang susah menghubungi sia berdua, untuk menanyakan obat buat neng Senja, seperti itu juga, kalian berdua bakalan susah untuk bertemu."
Aerlangga dan Lingga kini tercengang memandangi Seorang Langit Biru.
Elang bergetar, bibirnya mengatup erat, keringat dingin mulai membasahi disertai air mata yang menetes beberapa kali.
"Seperti neng Senja yang malam ini terluka, kalian berdua juga akan sama-sama terluka! Kalian tidak akan bahagia dalam ketidakpastian," sumpahnya dengan tatapan nanar.
"Elang, cukup!" Senja meraih tubuhnya dan memohon agar Elang menutup mulut.
Elang hanya menatap Senja dengan sesaat, tatapan nanar dipenuhi air mata.
"Dengarkan ini, a' Jay. Sekarang, di mana ada Elang, maka di situ tidak akan ada a' Jay dan begitupun sebaliknya," ucapnya.
Napasnya terengah, disertai angin malam yang berembus menghantarkan hawa dingin yang membuat bulu kuduk meremang. Jay masih terpaku, menyadari kekhilafannya karena tak sengaja telah menampar adiknya. Elang mulai berusaha meredam amarahnya saat ini. Pun terpaku karena menyadari telah melontarkan sumpah serapahnya pada Jay, Elang mulai lemah dan kini berlutut di atas tanah.
"Istighfar, Elang," Senja melirih dengan menyentuh lengan bisep Elang.
"Astaghfirullahal'azim!" gumam Elang secara perlahan.
Ia pun menoleh pada Senja yang kini menatapnya dengan bercucuran air mata, Elang tertegun dan menyadari perbuatannya.
"Maafin aku, neng Senja," gumamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna Senja√
Teen Fiction⚠SUDAH DITERBITKAN.⚠ SELF PUBLISHING. Teringat saat kita duduk berdua di tepian sebuah tempat berkemah. Menuliskan harapan masing-masing, menggoreskan pena di atas kertas dan menjadikannya pesawat yag diterbagkan ke udara. Sayang, pesawat kertasku t...