Part 28.
Pesawat telah lepas landas, menerbangkan serpihan luka dan air mata. Setelah perjalanan panjang yang melelahkan, Senja turun dari Bus di kota tujuan. Sampai sore hari hingga dilanjutkan mengendarai ojek. Siang dan malam sudah tidak ada bedanya bagi Senja, mengabaikan rasa takut ketika di perjalanan sampai tiba di rumah abah Koswara tepat malam hari.
Mulanya, mereka yang berada di pekarangan rumah hanya saling memandang masih belum menyadari bahwa yang datang adalah Senja, putri dari abah Koswara. Senja tak lantas menyapa, ia bergegas masuk ke dalam rumah dan mengucapkan salam tepat di hadapan pintu yang kebetulan di dalam sana terdapat beberapa orang, tamu abah Koswara seperti biasanya.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Mereka serentak menjawab salam tersebut.
Abah Koswara dan umi Rasti sontak terpaku saat melihat siapa gerangan yang datang.
"Neng Senja."
Umi Rasti menjadi sumringah ketika melihat anak bungsunya telah kembali dari peratauan, meski beliau belum mengetahui apa yang sebenarnya tengah terjadi.
"Umi ... " Senja sontak menangis dan bergegas melesak dalam dekapan sang ibu.
Umi Rasti menjadi heran, nalurinya sebagai seorang ibu kini tidak dapat dipungkiri dan menyadari bahwa putrinya sedang tidak baik-baik saja.
Tamu abah Koswara kemudian berpamitan hingga Abah dapat leluasa menghampiri putri bungsunya.
"Neng Senja, kenapa menangis?" Abah Koswara memandang heran.
Senja tak dapat menyembunyikan apapun lagi, tangisannya kian pecah dan menceritakan segala duka lara pada Abah dan Umi. Sambil bersimpuh di kedua kaki abah Koswara, ia mengungkapkan tentang Arjuna yang telah mengkhianatinya serta pengalamanan pahit karena sampai bermalam di penjara.
"Astagfirullah ... " Umi Rasti seketika ikut menangis sambil memeluk putrinya di bawah kaki sang suami.
Abah Koswara menjadi bungkam seakan tak mampu berkata-kata. Beliau berpaling, mengerjapkan mata, mengusap wajahnya seraya mengucapkan istighfar, berharap bahwa hal itu hanyalah mimpi belaka. Sampai rintihan tangis dari putrinya semakin terdengar pilu, beliau menyadari dan menjadi yakin bahwa semua itu memang nyata adanya. Pandangannya menjadi kabur, dadanya terasa begitu sesak. Abah Koswara akhirnya jatuh pingsan di hadapan anak dan istrinya.
"Abah!" Senja dan umi Rasti sontak berteriak menyaksikan abah Koswara jatuh pingsan.
Orang tua mana yang sanggup mendengar kabar demikian, bahkan untuk memikirkannya saja mereka tidak akan mampu.
Abah Koswara akhirnya dilarikan ke rumah sakit dan mendapat perawatan intensif. Untung saja beliau masih diberikan karunia, jika tidak mungkin beliau bisa saja tiada saat itu juga lantaran tekanan darahnya meningkat drastis.
Pramudya beserta bunda Kartiwi juga Jay kini sudah berada di rumah sakit, mereka bergegas pergi setelah Sigit memberi kabar tentang abah Koswara. Ketiganya juga tampak terkejut karena mendengar kabar dari Senja, mereka tidak pernah menyangka bahwa Senja akan mengalami nasib seperti ini.
"Sekarang neng Senja ada di mana?" Jay bertanya pada Sigit dengan tatapan nanar.
"Sebaiknya kamu temui neng Senja dan ajaklah dia berbicara, karena dari semalam neng Senja nangis terus," ungkap Sigit yang tak sampai hati membahasnya.
Jay kemudian berpamitan pada ayah dan bunda untuk segera menemui Senja. Abah Koswara sudah siuman dan mulai menayakan tentang Senja.
"Di mana si bungsu?" lirihnya.
Pramudya mendekat ke samping dan menggenggam erat salah satu tangan kakaknya itu. "Si Neng ada di rumah ditemani Jay," ungkapnya.
——
Jay sudah tiba di rumah abah Koswara untuk menemui Senja, ia bergegas masuk setelah menyerukan salam yang dibalas oleh teh Herlina yang sedang memasak di dapur.
Teh Herlina kemudian menghampiri dan menanyakan keadaan abah Koswara.
"Jay, kamu habis dari rumah sakit?"
"Iya, Teh."
"Abah gimana? Udah siuman?"
"Alhamdulillah, Teh."
"Syukurlah. Kamu ke sini pasti pengen ketemu sama si Neng, ya?" Jay Pramudya lantas mengangguk.
"Si neng ada di kamar, kamu temuin, gih. Dari semalam nangis terus. Teteh sedang masak, nanti habis masak kita baru mau ke rumah sakit." Teh Herlina menuturkan.
Jay kemudian mendekat ke arah pintu kamar Senja yang kebetulan tidak dikunci.
"Neng Senja ... "
Senja sontak menghentikan tangisannya, mendengar suara dari luar yang akrab di telinga.
"Neng Senja, aku boleh masuk, nggak?" Jay memang pria paling sopan, selalu meminta izin terlebih dahulu pada siapapun.
Senja kemudian menyeka air matanya dan duduk di kasur. "Masuk aja, Jay, nggak dikunci, kok."
Jay tersenyum simpul, kemudian masuk secara perlahan ke dalam kamar Senja. Ia pun tertegun ketika melihat wajah Senja yang tampak murung, bukti bahwa Senja memang tengah menangis.
"Jay, apa kamu udah ke rumah sakit?" Senja bertanya, yang kemudian dibalas anggukan dari Jay. "Bagaimana keadaan Abah?"
Jay tak lantas menjawab, ia kini mendekat dan duduk di samping Senja. Kemudian mengeluarkan ponsel untuk menghubungi ayah Pramudya dan menanyakan keadaan abah Koswara.
"Alhamdulillah, Abah sudah siuman," ungkapnya.
Senja menjadi lega dan tersenyum meski masih dihiasi air mata, Jay menutup kembali teleponnya dan mulai menanyakan keadaan Senja tanpa basa basi.
"Apakah itu semua benar? Tentang Arjuna, apakah itu benar?"
Senja menjadi diam seribu bahasa, sementara Jay Pramudya menatap nanar menunggu jawaban.
Pria itu mengusap surai Senja secara perlahan, Senja sontak berlinang air mata.
"Apa yang harus aku katakan nanti pada Elang? Apa yang harus aku jawab kalau Elang bertanya? Dia pasti akan sangat sedih kalau tahu neng Senja seperti ini."
"Jay."
Pria lembut itu membawanya ke dalam pelukan, sampai Senja terisak merasakan kembali luka hatinya yang masih basah. Sambil menatap, ia pun ikut meneteskan air mata.
"Kenapa neng Senja nggak pernah cerita sedikit pun padaku?"
Senja tidak menjawab dan memilih menangis untuk mencurahkan segala laranya dalam dekapan. Jay tak kuasa dan tak ingin lagi mempertanyakan luka, membiarkan dadanya menjadi sandaran untuk Senja yang tengah patah hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna Senja√
Teen Fiction⚠SUDAH DITERBITKAN.⚠ SELF PUBLISHING. Teringat saat kita duduk berdua di tepian sebuah tempat berkemah. Menuliskan harapan masing-masing, menggoreskan pena di atas kertas dan menjadikannya pesawat yag diterbagkan ke udara. Sayang, pesawat kertasku t...