Extra part.
🌸Ciuman Pertama
Mereka mengira bahwa kami tidak cukup saling mencintai, hanya karena kami jarang sekali terlihat mesra. Itu salah. Mereka hanya tidak cukup mengetahui apa yang kami lakukan ketika sedang berdua. Aku bahagia punya seorang Arjuna yang begitu menyayangiku, bahkan aku juga berharap kalau Arjuna akan sama bahagianya apabila bersanding denganku. Mengapa pula aku mempertanyakan semua ini? Itu karena aku juga seorang manusia yang terkadang memiliki keraguan di hati, tetapi Arjuna sudah mampu meyakinkanku. Selain menyatakan perasaannya padaku, kami juga telah bertunangan dan selepas satu tahun nanti kami akan melaksanakan pernikahan.
Hubungan kami sebelum pernikahan bisa dibilang LDR, orang mengenalnya long distance relationship atau hubungan jarak jauh. Itu sama sekali bukan masalah bagiku, karena aku yakin akan mampu melewatinya. Meskipun rasa rindu sering sekali membebani hati dan pikiran ini. Tidak mengapa, aku mampu melaluinya.
Ada satu waktu yang selalu kunantikan yaitu waktu liburan sekolah. Dengan begitu, Arjuna juga akan pulang dari Bandung untuk menemuiku.
Kami bertemu dan saling melepas rindu. Bila sedang bersama, Arjuna tak segan menanyakan beberapa hal tentang sekolahku, termasuk pekerjaan rumah yang kudapat dari sekolah. Dengan begitu, kami mengerjakan tugas bersama-sama. Ia banyak membantuku dalam pelajaran. Untung saja Arjuna bukanlah orang yang suka menghakimi, sehingga aku merasa nyaman berada di dekatnya. Apabila orang bertanya, hal romantis apa yang sering kami lakukan berdua. Bagiku, itu adalah hal yang begitu romantis yang sering kami lewati bersama.
Arjuna itu tipe pria yang sering meminta izin apabila hendak bepergian, meskipun tidak banyak momen yang kami lakukan berdua. Sikapnya begitu manis, ia kerap kali menghampiriku meski hanya sekadar pamit untuk menonton acara band favoritnya bersama teman-teman. Aku tidak pernah melarangnya, begitu pun sebaliknya. Kami berusaha untuk saling percaya. Itulah yang menjadi dasar hubungan kami berdua, yaitu kejujuran.
Apakah Arjuna pernah mengajakku? Tentu saja pernah, tapi prosesnya tidak akan mudah. Karena Arjuna harus meminta izin terlebih dahulu pada Abah, meskipun kebanyakan tidak diizinkan. Ia tidak pernah menyerah, meski terkadang berakhir menetap di rumah dengan canda tawa. Haha ... itulah sebabnya mengapa kami jarang sekali melewati waktu yang intens.
Saat ini aku sedang dalam perjalanan menuju ke rumah Arjuna, aku sudah bersiap dari pagi buta. Aku ikut bersama Abah dan a' Syailendra untuk mengantarkan sayuran hasil dari kebun kami. Jujur, aku merasa sedikit gugup, karena ini pertama kalinya aku berkunjung ke rumah calon mertuaku.
Sesampainya di sana, Mama dan Papa Arjuna menyambutku dengan hangat. Aku tidak melihat keberadaan Arjuna di sana, tapi aku juga belum berani bertanya di mana gerangan calon suamiku itu berada. Aku tak lantas berdiam diri, memilih membantu mama Kokom di dapur untuk menyiapkan minuman dan menyajikannya ke ruang tamu untuk Abah dan a' Syailendra juga papa Jaka. Untung saja, sejak kecil aku mempunyai sikap yang mudah membaur, sehingga tak segan meskipun berada di tempat baru. Aku bersyukur, karena sikap itu menjadikanku pribadi yang hangat.
Saat ini aku duduk di samping mama Kokom untuk mendengarkan obrolan mereka, saat itu juga mama Kokom meminta izin pada Abah untuk mengajakku ke pasar. Katanya ingin membeli beberapa kebutuhan Arjuna yang akan dibawa ke Bandung. Aku bahagia saat Abah mengizinkan, akhirnya aku dan mama Kokom bisa pergi ke pasar. Sementara Abah dan a' Syailendra pamit untuk pulang lebih dulu. Aku tertegun, sedikit canggung memikirkan bagaimana untuk pulang nanti, tetapi aku tidak perlu bingung karena menemukan ide bisa pulang ke rumah ayah Pramudya terlebih dulu dan minta diantarkan oleh Elang ataupun Jay.
Kami bertiga pergi ke pasar dengan mengendarai mobil yang dikemudikan oleh papa Jaka. Walaupun sudah beberapa saat bersama, rasa canggung masih kerap menghinggapi diriku. Namun, meski begitu aku bahagia, karena mama Kokom dan papa Jaka selalu bersikap hangat padaku. Sedetik ada hal yang membuatku bertanya-tanya, karena sedari tadi aku belum jua mendapati Arjuna. Jujur saja, aku sangat merindukannya.
Mama Kokom membeli banyak kebutuhan untuk Arjuna. Bukan hanya itu, beliau juga membelikanku camilan dan kebutuhan lain seperti lotion dan sabun mandi. Beliau kerap bertanya apakah aku merasa tidak nyaman karena kami pergi sudah hampir satu jam lamanya. Aku hanya menggeleng, tidak merasa keberatan sedikit pun. Aku menikmati waktu kebersamaan ini. Papa Jaka memberitahuku bahwa sebentar lagi Arjuna akan datang menjemputku.
"Tuh, Neng, si Aa' udah datang!" seru pak Jaka.
Aku pun menoleh ke arah Arjuna yang baru turun dari motor setelah memarkirnya, ia masih memakai helm dan hanya membuka kacanya saja. Menyapaku dengan gelagat yang cukup genit, mengedipkan sebelah matanya hingga aku membisu di hadapan.
"Aa' dari mana?" Aku menyapanya.
"Aa' sedang main sama si Saga dan Lingga," sahutnya, ia merangkul pundakku tanpa ragu di hadapan kedua orang tuanya. "Neng Senja, udah lama di sini? Kok nggak kasih tahu a' Juna?"
"Nggak ah, takut ganggu," balasku.
"Masa' ganggu? Aa' nggak akan merasa keganggu."
"Aa' tahu dari mana kalau aku di sini?"
"Barusan ditelepon Papa, katanya ada neng Senja. Aa' langsung buru-buru deh datang ke sini." Arjuna mengungkapkan kalimatnya dengan berbinar. "Neng, ikut yuk sama Aa'?"
"Ke mana?"
"Kita main ke rumah si Lingga. Sebentar doang. Boleh, ya, Mah?" Arjuna menoleh pada ibunya.
"Jangan lama-lama, jangan jauh-jauh, nanti abah nanyain," tukas papa Jaka.
"Ya kalau abah nanyain, papa bilang aja kalau neng Senja sedang bareng sama aku," ucap Arjuna.
"Yaudah hati-hati, ya," sahut mama Kokom.
Arjuna tersenyum yang kemudian memapahku untuk melangkah ke parkiran.
"A' Juna, jangan lupa, si neng Senja ajakin jajan. Makan bakso atau mie ayam, atau kalau lapar kita pulang aja, yuk? Mama udah masak di rumah." Mama Kokom menawariku.
Arjuna menatapku tanpa melepaskan rangkulan tangannya di pundak. "Neng Senja mau makan bakso?"
"Aku belum lapar," jawabku.
"Belum lapar ceunah, Mah .... " Arjuna berseru.
Mama Kokom dan papa Jaka akhirnya membiarkan kami untuk pergi, Arjuna membawaku ke rumah Lingga dan bertemu dengan Saga di sana. Kedua pemuda itu masing-masing sedang duduk berpasangan dengan wanita, sambil menyanyikan sebuah lagu diiringi oleh melodi gitar yang Sagara mainkan. Mereka berhenti bernyanyi dan menyambut kehadiranku. Aku memberikan senyuman sebagai tanda sapaan yang hangat pada mereka. Aku dapat menangkap bahwa mereka mempunyai sebuah hubungan yang dekat dan benar saja bahwa salah satu gadis itu berstatus sebagai pacarnya Lingga. Aku berkenalan dengan keduanya yang ternyata mantan teman satu sekolah dengan Arjuna dan Saga.
"Kita cuma temanan, ya. Bukan pacaran," ujar Sagara sambil tersenyum ke arahku.
Aku cukup terenyuh, ada sesuatu yang membuatku lega saat ada sebuah pernyataan yang membuatku begitu tenang.
"Lu apaan sih, Saga? Lain kali nggak usah bilang begitu, nanti neng Senja bisa salah paham." Arjuna duduk di sampingku.
"Yee ... justru aku bilang seperti itu agar neng Senja nggak salah paham nantinya." Sagara kini ikut duduk di sebelahku yang masih kosong. "Neng Senja nggak cemburu 'kan sama kita?"
Aku menjadi canggung karena Saga menatapku seperti itu, cukup intens hingga aku memilih berpaling.
"Iyain aja, Neng," ucap Arjuna sambil mengulum senyuman di hadapanku, aku pun mengangguk dan menoleh kembali pada Saga yang kini mengembangkan senyum.
"A' Lingga nggak main sama Elang?" tanyaku yang sengaja ingin mengalihkan suasana.
"Nggak, Neng, nanti malam saja. Kita mau main ke studionya." Lingga menyahutku.
Kami mengobrolkan banyak hal sambil menikmati sajian bakso yang lewat di pinggir jalan. Saga dan Lingga kerap merasa heran oleh interaksiku dan Arjuna, karena menurutnya kita terlalu kaku. Aku mengernyit untuk mengartikan pendapat itu. Hanya karena kami tidak bersikap romantis, seperti halnya saling menyuapi atau bergandengan tangan di hadapan orang lain. Arjuna lantas tersenyum dan membenarkan tuduhan itu, sudah menjadi senjata pamungkasnya untuk mengiyakan beberapa prasangka.
"Coba kalau neng Senja jadi pacar aku, kita pasti romantis." Sagara berceletuk demikian hingga aku menjadi canggung.
Arjuna menatapku seakan ingin memastikan bagaimana raut wajahku, Lingga sontak tertawa hingga menepuk pundak Saga tepat di hadapanku.
"Jangan didengar, Neng, si kulkas tumben banget demen bercanda," ledeknya.
Aku menundukkan wajah ketika melihat senyuman Sagara yang tak jua memudar, Arjuna kemudian merangkul pundakku seakan ingin meyakinkan bahwa mereka memang sering bercanda.
"Kita pulang, yuk!" ucap Arjuna setelah kulihat ia membaca satu pesan di ponselnya.
Aku tidak bertanya tentang siapa yang menghubunginya, Arjuna beranjak dari duduk dan membawa sertaku agar berdiri segera.
"Kita balik, ya," ucapnya.
"Yah, si Juna. Jangan gitu dong, masa gitu aja marah?" celoteh Saga.
"Apaan sih lu? Kita cuma mau pulang, udah sore nih," ucap Arjuna.
"Baru juga setengah tiga ini," ucap Saga terdengar ketus.
"Ya, bodo amat. Ayo, Neng." Arjuna pun kembali merangkul pundakku.
Aku berpamitan pada mereka, saling melambaikan tangan sampai aku naik ke motor Arjuna dan tak lupa berpegang erat pada pinggangnya. Kami berangkat menyusuri jalan raya Kalijati hingga ke Purwadadi dan sampai ke rumah Arjuna setelah beberapa menit lamanya berkendara. Kami turun dan masuk ke dalam rumah, aku cukup heran karena di dalam rumah itu terasa sepi.
"Mama dan Papa ke mana?" tanyaku pada Arjuna.
"Tadi papa chat Aa', mereka pergi kondangan."
"Ke mana?"
"Purwakarta."
Aku tertegun sembari melihat Arjuna berlalu dari sampingku, ia menaruh kunci motornya secara sembarang ke atas meja. Aku menoleh pada jam dinding yang menggatung di ruangan itu, terlihat di sana menunjukkan pukul tiga sore.
"Papa dan Mama akan pulang sebelum maghrib," ujar Arjuna yang kemudian duduk di sofa dan memandangiku dengan hening. "Neng Senja ngapain sih di situ? Ke sini dong, kenapa diam aja di sana?"
Arjuna memintaku mendekat karena sedari tadi aku masih berdiri di dekat arah pintu ke luar, ia seharusnya mengerti bahwa aku tidak cukup nyaman karena sedang berduaan di dalam rumah.
"Neng, Sayang, sini dong." Arjuna memanggilku dengan penuh bujuk rayu.
Aku pun tak dapat menolak dan mendekat ke arahnya, ia meraih tubuhku dan membuatku duduk di atas pangkuanya. Aku terdiam seakan tak berani menatapnya, meski aroma parfumnya begitu mengganggu di hidungku. Bukan ingin menghindar, tetapi aku hanya gelisah kalau sampai momen seperti ini cepat berlalu begitu saja. Aku cukup berdebar ketika Arjuna menatapku demikian, maniknya menajam tetapi berubah menjadi sayu sampai aku semakin tak kuasa menatapnya. Aku malu, ingin menunduk saja dan tenggelam ke dalam dada bidangnya. Namun, Arjuna bergegas menggendongku ala bridal style, membuatku sontak merangkul pundaknya dengan erat dan ternyata berat tubuhku tidak membuatnya kesulitan.
"A' Juna." Aku kian bergumam, menatapnya di keheningan.
Tanpa mengatakan apapun, Arjuna membawaku ke kamarnya. Saat itu juga jantungku seakan melesat entah ke mana. Tubuhku menjadi kaku bersama rasa panas dingin yang menjalar di sekujur badan. Arjuna membawaku duduk di atas kasur tanpa melepaskanku di pangkuannya. Aku bergegas turun ketika ia mulai mencumbu hendak mencium bibirku. Arjuna dengan sigap menghampiriku dan menahanku tepat di hadapan pintu, ia berdiri di belakangku seakan tak merelakan apabila aku pergi begitu saja.
"A' Juna, aku ... "
"Besok pagi A' Juna berangkat ke Bandung."
Aku tertegun hingga kedua tangan kekarnya menyentuh pundaku dan membawanya berhadapan.
"Aa' pasti akan kangen banget sama kamu." Arjuna mendekatkan wajahnya pada keningku hingga mengecup sempurna. Aku tak kuasa sampai melesakkan diri ke dalam pelukannya.
Rasanya nyaman sekali, hangat dan lega secara bersamaan. Namun, rengkuhannya mengundang sebuah tanya, hingga membuat tubuhku menjadi pilu. Arjuna mencumbuku, mengecup secara teratur pundak hingga leher jenjangku, membuatku sampai meremat pundak dan rambut tebalnya. Ia tak berhenti hingga aku menengadah merasakan satu rasa yang menghadirkan dahaga. Kecupannya semakin lihai sampai di wajahku, maniknya menatap sendu seolah menyatakan satu hal bahwa ia ingin kepastian untuk merenggut ciuman pertamaku. Aku cukup terpejam sebagai tanda bahwa aku memberinya izin untuk itu. Aku masih mampu melihatnya tersenyum meskipun pandanganku terasa berat oleh kabut asmara yang kini menyelimuti netra.
Arjuna meraup bibirku dengan penuh, saat itu juga dapat kurasakan getaran hati dan seluruh tubuh yang bertambah pilu. Sakitnya merindukan memang begitu nyata, aku tenggelam ingin pasrah di dalam rengkuhan.
Aku bersandar pada pintu, membiarkan kekasih hatiku mengecapkan berjuta rasa yang mungkin sudah tertahan sejak lama. Aku terengah begitu pun sebaliknya, Arjuna semakin rakus kurasa. Ciumannya menjadi sangat lihai turun ke dada hendak merobek kain bajuku yang akhirnya meninggalkan tanda khas di sana. Aku mengerang saat bibir ranum Arjuna berpindah dari dada ke belekang leher, menyesapku. Aku pasrah saat ia memberiku tanda kasih yang begitu menawan berwarna merah pasi. Arjuna semakin merengkuh, memastikan bahwa aku tidak akan jatuh hingga melingkarkan kedua kakiku pada pinggangnya.
"Bukankah kita sangat romantis?" ia berbisik seduktif.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah, disusul dengan bibirnya yang kembali bertaut dengan bibirku. Meremas rambutku. Aku bisa gila apabila terus seperti itu, tapi aku sangat menyukainya. Aku suka ketika mendengar desahan samar yang lolos begitu saja dari Arjuna. Suaranya begitu seksi, matanya berubah menjadi sayu tetapi tajam, seakan membawa sebuah perintah agar aku segera patuh terhadapnya. Aku rela berlutut bahkan menjerit untuk menyatakan nikmat.
Arjuna semakin menjelajahi tubuhku. Sore itu kami menghabiskan waktu berdua, menikmati apa itu ciuman meskipun tidak sampai melakukan seks dengan telajang bulat. Itu adalah hal yang fatal, membuat tubuh ingin meronta, ingin selalu bertemu karena setelahnya kami semakin tertelan oleh kerinduan yang menggebu.💝💝
Mampuuusss Arjuna tuh cakep parah...
vokalis galau band haha...
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna Senja√
Teen Fiction⚠SUDAH DITERBITKAN.⚠ SELF PUBLISHING. Teringat saat kita duduk berdua di tepian sebuah tempat berkemah. Menuliskan harapan masing-masing, menggoreskan pena di atas kertas dan menjadikannya pesawat yag diterbagkan ke udara. Sayang, pesawat kertasku t...