Arjuna Senja 16.
Wisuda yang dinanti akhirnya terlaksana jua. Bakat dan perjuangan belajar selama ini tidaklah sia-sia, membuahkan hasil yang begitu manis diiringi semangat yang kian membumbung tinggi untuk dapat melanjutkan hidup ke taraf yang lebih baik.
Arjuna mengucapkan terima kasih yang teramat dalam diakhir pidatonya, terutama untuk istrinya tercinta Senja Prameswari yang tidak pernah lelah menemani langkahnya mencapai cita-cita.
Sikap yang lembut menjadikannya pribadi yang santun. Sudah saatnya untuk Senja Prameswari berpamitan pada Abah dan Umi, serta kepada para kerabat yang lain. Arjuna Senja akan segera berangkat ke bandara untuk terbang ke Kalimantan.
Umi Rasti memberinya banyak nasihat juga tak lupa dengan bekal berupa materi yang diharapkan akan cukup untuk menutupi kebutuhan anak dan menantunya itu di tanah rantau orang.
"Umi, apa ini? Kenapa banyak sekali?" Senja menerima satu amplop coklat yang di dalamnya terdapat sejumlah uang.
"Ambil itu, jagalah baik-baik," tukas Umi.
"Tapi, ini banyak sekali, nanti kalau a' Juna tanya aku harus jawab apa?"
Senja tampak bingung, biar bagaimana pun juga ia hanya ingin menjaga perasaan Arjuna.
"Neng Senja harus tahu, bahwa awal pertama bekerja adalah masa yang sulit. Untuk itu, Umi harap neng Senja nggak nyusahin suami, neng Senja bisa mencukupi kebutuhan dengan uang itu," ujar Umi dengan penuh harapan.
Beliau pun mendekat dan mengusap wajah putrinya itu dengan lembut. "Neng Senja adalah anak perempuan Umi satu-satunya, Abah dan Umi melakukan banyak tirakat agar bisa dikarunia oleh putri seperti Neng. Jadi, sudah tanggung jawab kami untuk menjamin kebahagiaan neng Senja," ucap Umi yang kini tampak berkaca-kaca hingga air matanya lolos beberapa kali.
"Umi ...." Senja pun demikian sampai menangis di dalam pelukan ibunya.
"Simpan baik-baik, ya, Neng. Gunakan uang ini sebaik mungkin, jangan boros. Do'a Umi dan Abah selalu menyertai kalian berdua," umi Rasti mengecup puncak kepala putrinya.
Sebelum berangkat ke bandara, Senja beserta keluarga besarnya mampir terlebih dulu ke kampungnya Arjuna. Selain untuk berpamitan pada keluarga suaminya, Arjuna Senja juga akan berpamitan pada Ayah Pramudya dan Bunda Kartiwi. Belum benar-benar pergi saja, air mata selalu mengiringi langkah setiap anggota keluarga.
Senja sedang berdiri di balik pintu kamar Jay Pramudya, ingin menyampaikan tentang Widuri. Kabar bahwa wanita itu sudah terbang ke Korea Selatan kemarin sore. Sebelum masuk ke dalam kamarnya, Senja mengetuk pintunya terlebih dulu hingga si empunya mengizinkan untuk masuk.
Di dalam kamar itu, Jay tengah duduk memandangi layar ponselnya.
"Jay, aku dan Arjuna akan pergi," lirih Senja.
Jay memandang ke arahnya, mengulurkan salah satu tangan hingga Senja meraihnya. "Neng Senja, duduk sebentar sini," pintanya.
Senja duduk di samping Jay. "Jay, aku mau bilang sesuatu tentang Widuri," ucap Senja.
"Aku tahu, neng Senja mau ngasih kabar kalau Widuri sudah terbang ke Korea, 'kan?" ucap Jay terdengar lirih.
Keduanya saling menatap, sama-sama dapat merasakan kesedihan masing-masing. Tidak ingin terlarut dalam perasaan, Senja kini berpaling untuk mengalihkan suasana.
Jay adalah pria yang bersih dan rapih, hingga suasana di dalam kamarnya begitu nyaman dan menenangkan, tapi ada satu yang menarik atensi Senja. Ia pun beranjak dari duduknya untuk mendekati sesuatu yang dibingkai dengan indah dan menggantung di dinding ruangan itu, maniknya menajam memandangi tulisan di bingkai foto. Itu adalah puisi yang dikirimkan Widuri pada Jay melalui pesan singkat.
"Jay, aku tidak menyangka kamu memajang puisi ini di kamarmu," ucap Senja.
Jay kini beranjak dari duduknya dan mendekat ke samping Senja untuk memandangi bingkai itu.
"Hanya ini yang bisa kukenang darinya, puisi ini juga yang membuatku jatuh hati padanya," ucap Jay dengan lembut.
Senja mengangguk. "Karena puisi ini begitu bermakna untuknya, Jay. Dia sangat mencintaimu," ujar Senja.
Kemudian ia pun meraih kedua tangan Jay dan membacakan puisi itu tanpa melihat tulisannya.
"Kok, neng Senja sampai hafal?" Ia pun mengernyit.
Senja tersenyum. "Aku kasih tahu satu rahasia padamu, Jay. Puisi itu sebenarnya adalah milikku, hanya saja aku memberikannya pada Widuri," ujarnya.
Jay tertegun, Senja kembali memandangi puisi itu.
"Aku juga suka puisi, aku juga sering membaca novel cinta seperti yang Elang katakan. Waktu itu, kelasku mengadakan lomba puisi dan Widuri mengajakku. Aku pun menerima tawarannya, akhirnya aku membuat puisi ini. Tapi, kamu tahu apa yang Widuri lakukan Jay?" Senja menoleh pada Jay, begitu antusias. "Dia mendaftarkan puisi ini sampai terpilih menjadi juara 1 di sekolah." tuturnya.
"Widuri menyuruhku untuk maju ke depan, menerima penghargaan, tapi aku tidak bisa menerima karena aku tidak ingin menambah beban di masa depan yang nantinya aku harus ikut bergabung dalam kelas sastra khusus di sekolah. Aku lebih suka menari bersama Elang, untuk itu dengan rela hati aku memberikan puisi dan penghargaan itu kepada Widuri," ungkap Senja dengan semua penjelasannya.
Jay kini terpaku. "Berarti puisi ini milik neng Senja?" gumamnya, Senja pun mengangguk seketika.
"Neng Senja, ayo, kita harus segera berangkat!" seru Arjuna yang kini berdiri di hadapan pintu.
"Iya, a' Juna!" Senja menyahutnya. "Jay, aku pamit." Senja menepuk lengan bisep Jay dan bergegas mendatangi suaminya.
Jay Pramudya tampak bingung, ia pun menatap bingkai puisi itu dan semakin terpaku.
Arjuna dan Senja sudah masuk ke dalam mobil.
"Kenapa masih belum berangkat?" tanya Senja.
Tidak lama kemudian Jay masuk ke dalam mobil yang sama dengannya.
"Jay, kamu akan ikut mengantar kita?" seru Senja dengan bahagia.
Jay menoleh dan mengangguk disertai senyuman.
"Andai saja Elang juga bisa ikut," gumam Senja dengan lirih.
Arjuna kini merangkulnya. "Nanti, kalau a' Juna sukses, kita bisa main ke Yogyakarta. Oke?" ucapnya dengan penuh semangat.
Senja mengangguk, mengulum bibir merasa begitu terharu. Jay Pramudya kini kembali termenung memandangi keduanya, ia pun berpaling dan menegakan sandaran duduknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna Senja√
Teen Fiction⚠SUDAH DITERBITKAN.⚠ SELF PUBLISHING. Teringat saat kita duduk berdua di tepian sebuah tempat berkemah. Menuliskan harapan masing-masing, menggoreskan pena di atas kertas dan menjadikannya pesawat yag diterbagkan ke udara. Sayang, pesawat kertasku t...