Lilin harapan

10 5 0
                                    


Lilin harapan.

Sore berganti malam, Senja tengah duduk mengikuti renungan malam yang diadakan oleh kelompok lain di camp. Perwakilan kelompok itu membagikan lilin kepada masing-masing orang yang ikut serta. Lilin itu menjadi sebuah symbol dari harapan masing-masing.

Salah satu ketua camp itu kini tengah memberikan pidatonya sebagai renungan malam, dikemas oleh beberapa kata yang syarat akan makna. Senja yang menyukai sastra dan beberapa novel tentang cinta, begitu mendalami setiap ucapan yang tersampaikan.

Arjuna dan yang lainnya kebetulan sedang berada di halaman tendanya, memutari api unggun dengan disuguhkan jagung bakar yang sebelumnya dibeli oleh Elang dan Lingga.

"A' Juna, si neng Senja di mana sih?" tanya Elang dengan menoleh ke sana ke mari.

"Neng Senja sedang mengikuti renungan malam, tuh, di sana," sahut Arjuna yang kemudian menunjuk ke arah sekumpulan orang di camp sebelah.

Elang menoleh ke arah itu, lalu menunduk memandangi arloji yang melingkar di salah satu pergelangan tangannya, tepat pukul delapan malam. Ia kembali menoleh ke sana ke mari, memikirkan tentang kakaknya, Jay Pramudya, yang nyatanya belum juga kembali bersama Widuri sedari kemarin malam.

Saga memandang ke arah sekumpulan orang di camp sebelah, lalu menatap langit malam yang tampak dipenuhi oleh taburan bintang. Hatinya tiba-tiba gelisah, terpikirkan masalah yang telah berlalu. Tentang Senja yang pernah mendapat tindakan kejahatan akibat kesalahpahaman. Ia mulai merenung, karena sampai saat ini, dirinya masih belum meminta maaf secara langsung pada Senja. Biar bagaimana pun juga, kejadian itu disebabkan olehnya.

Mulanya, Saga merasa ragu ingin meminta izin pada Arjuna untuk dapat menyampaikan permintaan maafnya pada Senja. Dengan memberanikan diri, ia pun mengutarakan maksud hatinya itu. Arjuna lantas tersenyum dan menepuk pundaknya.

"Lu ini bagaimana sih, Saga? Mau minta maaf ke neng Senja ko bicara ke aing. Yaudah sana, bicara langsung ke neng Senja. Tuh, neng Senja ada di sana," ujar Arjuna sambil menunjuk ke arah camp sebelah.

Saga tertegun, merasa sedikit canggung. "Juna, masa sih aing harus nyamperin. Lu aja gih, bilangin maaf gitu dari aing," ucapnya.

Arjuna menggeleng disertai mengulum senyuman. "Lu buruan samperin istri aing, tapi ingat, jangan ngomong sembarangan. Neng Senja orangnya moody-an!" tukasnya.

Arjuna kembali menepuk pundak Saga dan berlalu dari hadapannya. Sagara menoleh ke sana ke mari, semakin tidak menentu dibuatnya.

Perlahan, Saga mendatangi Senja dan duduk di sampingnya. Senja hanya menatap tanpa mengucapkan apapun, Saga lantas memberinya senyuman.

Angin malam yang mulai berembus, menghantarkan bau basa dari napas-napas daun dan pepohonan. Renungan malam itu masih berlangsung, dilanjutkan oleh puisi yang begitu menyentuh hati. Tentang sebuah pengorbanan, sahabat, cinta dan juga kesetiaan. Beberapa orang menanggapinya dengan berbeda. Ada yang tertunduk pilu, merenung, bersedih, hingga terdiam sampai air mata pun jatuh tak tertahankan. Sama seperti Senja, ia mulai berkaca-kaca, irisnya terasa begitu perih. Ketika mendengarkan semua penuturan tentang persoalan dalam renungan malam itu.

Saga memperhatikan raut wajah Senja. "Neng Senja, baik-baik saja, 'kan?"

Senja menoleh dan mengusap wajahnya secara perlahan, lalu mengangguk. "Aku baik-baik saja," ucapnya.

Angin kembali berhembus, hingga menggoyahkan api pada lilin yang menyala. Saga dan Senja sontak melindungi api lilin itu dengan kedua telapak tangannya masing-masing.

Di akhir acara, mediator puisi itu meminta pada semua orang yang mengikuti renungan itu untuk bergandengan tangan dan saling memaafkan. Saga dan Senja lantas tercengang dan saling memandang.

Senja menunudkan wajah dan hendak menjauh pergi meninggalkan kumpulan itu, tapi Saga seketika mencekal salah satu pergelangan tangannya.

"Neng Senja!"

Senja terpaku memandangnya, Saga mendekat dan mulai membeberkan maksud hatinya.

"Aku ingin minta maaf," pungkasnya membuat Senja mengernyit. "Soal neng Senja yang pernah diserempet orang," ucap Saga.

"Kenapa a' Saga yang haruals minta maaf? 'Kan, itu bukan kesalahan a' Saga?" ujar Senja.

Saga menggeleng, "Karena dekat dengan aku, mereka jadi mencelakai neng Senja. Untuk itu, aku harus minta maaf karena aku merasa sangat bersalah," tutur Saga secara perlahan.

Senja mengangguk, "Oke. Kalau begitu, mulai sekarang a' Saga jangan lagi deketin aku. Karena aku, takut diserempet orang lagi," ujar Senja.

Saga lantas terpaku mendengarnya, Senja kemudian tertawa melihat ekspresi wajah Sagara yang tampak polos. "Aku bercanda!" seru Senja.

Ia pun mulai melangkah dari hadapan Saga. Namun, tiba-tiba saja, seorang wanita berteriak, hingga disusul oleh keributan dari beberapa laki-laki di perkumpulan itu.

Saga menoleh ke sana ke mari, kejadian itu terjadi begitu cepat. Senja terkepung perkelahian hingga berada di tengah-tengah keributan, sampai wanita itu tersenggol dan terjatuh hingga kakinya terkilir. Tangannya terluka hingga berdarah karena membentur tanah dan bebatuan di sana.

"Senja!"

Sagara bergegas menolongnya.

"Senja, kamu nggak apa-apa, 'kan?" Saga memandangi wajah manis itu yang kini meringis.

Senja memegangi tangannya yang mulai berdarah, Saga mulai membantunya untuk berdiri.

"Aww, eugh!" Senja memekik menahan kakinya yang sakit.

Saga tampak bingung dan gelisah, Arjuna beserta Elang dan yang lainnya terlihat berlari ke arahnya.

"Neng Senja." Arjuna segera merangkulnya dan menggendongnya ala bridal style dan membawanya ke tenda.

Keributan itu akhirnya sudah ditangani, pemicunya tak lain hanya karena kecemburuan. Ketika mediator menyerukan untuk saling bergandengan tangan, hingga salah satu anggota itu ada yang terlibat cinta segi tiga, sampai perdebatan pun terjadi menimbulkan perkelahian yang tak terelakkan.

Senja kini duduk dan bersandar di dalam dekapan suaminya. Ia membutuhkan perawatan medis, tapi sayangnya mereka tidak membawa kotak P3K.

"Elang bawa, tapi ada di mobil a' Jay. Masalahnya sekarang di mana a' Jay?" Elang terlihat rusuh, wajahnya tampak gelisah dan sesekali mengeluh ke samping Senja. "Neng Senja, tahan, ya! Elang akan secepatnya cari bantuan " ucapnya dengan penuh kekhawatiran.

Lelaki itu kemudian menghubungi Jay, tetapi tidak mendapatkan jawaban.

"Juna, kamu tenang, ya. Aku akan nyari obat, siapa tahu, di camp sebelah ada yang bawa obat," ujar Lingga yang kemudian bergegas pergi bersama Aerlangga.

"Neng Senja, tahan, ya," ucap Jona yang kini duduk di sampingnya.

"Neng Senja. Tahan, ya, Sayang." Arjuna mengusap pundak istrinya dan sesekali mengecupi keningnya.

"A' Juna, kaki aku sakit!" Senja merintih.

Arjuna menatapnya dan mengusap bagian kaki yang sakit.

"Tadi aku jatuh, kesenggol orang-orang itu," ucap Senja dengan lirih.

Arjuna mengusap pipi istrinya. "Neng pasti tadi terkilir," ucapnya.

"Kalau begitu, neng Senja harus segera dipijat, Juna. Kalau tidak, kakinya akan bengkak," ucap Jona.

Arjuna memandang pada Jona. "Malam-malam begini, mana lagi di gunung, siapa yang akan nyari kang pijat?" ucapnya.

Arjuna dan Jona lantas saling memandang dan menoleh ke arah Sagara.

"Saga, bukannya lu, bisa pijat, ya?" tanya Jona.

Saga yang sedari tadi hanya terdiam, kini semakin terpaku dibuatnya hingga tidak bisa berkata-kata.

Arjuna semakin memandang pada Sagara. "Lu kenapa malah diam saja?" serunya.

"Ah, sebaiknya kita bawa saja neng Senja turun? Kita bawa ke klinik?" Saga memberinya saran.

"Turun? Neng Senja sedang terluka, kita membutuhkan pertolongan pertama. Bahkan kotak P3K saja masih dicari," tegas Arjuna dengan nada tinggi.

"A' Juna." Senja menyentuh tengkuk Arjuna, mengusapnya dengan perlahan dan berharap kalau suaminya itu tidak terbawa emosi.

"A' Saga, tolong pijitin si neng Senja!" Pinta Elang dengan perlahan.

Ia pun mendekat pada Senja dan menyentuh lengannya, Saga sontak menoleh pada Elang.

"Elang, aku nggak apa-apa." Senja mencoba meyakinkannya, meski ia tahu itu hanyalah sia-sia.

Arjuna mengerjapkan mata, menghela napas dan meminta pada Saga untuk segera menolong istrinya.

"Saga. Aku mohon, tolong neng Senja!" pintanya.

"Juna, tapi ...."

"A' Juna." Senja semakin merangkul Arjuna, ia merasa canggung apabila ada pria lain yang menyentuh bagian dirinya.

Hal itu jugalah yang membuat Saga menjadi dilema, ia merasa segan untuk menyentuh Senja. Walaupun sebenarnya hatinya terus mendorong untuk segera menolong wanita itu.

Arjuna menangkup wajah istrinya. "Neng nggak usah malu, ya. A' Juna ada di sini, cuma sebentar, kok. Ini darurat, untuk itu, a' Juna akan ngizinin Saga memijat kaki neng Senja, ya," ujar Arjuna secara perlahan, Senja pun tertegun mendengar penuturan itu.

"Lu nungguin apa lagi, sih Saga?" Arjuna menoleh seketika. "Buruan pijat kaki neng Senja," tukas Arjuna secara tegas.

Sagara lantas berlutut, mulanya ia ragu untuk menyentuh kaki Senja, tetapi jika terus dibiarkan maka rasa sakitnya akan terus bertambah disertai bengkak.

"Saga, lu malah diem aja, deh?" Arjuna kembali memprotes.

Saga lalu menyentuh sebelah kaki Senja yang terkilir, menyentuhnya tepat di bagian telapak kaki.

Eugh!

Senja terkesiap. bagaimana tidak, Saga menyentuh tepat di bagian kakinya yang sakit dan menjalar hingga ke pergelangan kaki. Saga mulai merabanya hingga menyasar sampai ke betis, tetapi Saga memilih berhenti.

Arjuna mengernyit. "Kenapa?"

Saga memandangnya. "Aku merasakan bagian yang harus disasar, neng Senja harus membuka celanya agar aku bisa memijat bagian betisnya," ujarnya dengan penuh keraguan.

"Hah? Aku harus buka celana?" Senja tercengang seketika.

Arjuna menatapnya dengan mimik seolah mengisyaratkan agar Senja tenang.

"Neng Senja bisa pakai sarung," saran Saga.

"Pakai sarung Elang aja," sontak Elang menimpali ucapan itu.

Arjuna pun mengangguk, "Iya mana sih, buruan bawa sarung Elang," pinta Arjuna.

"Kalau ada, sekalian pakai lotion atau baby oil," ucap Saga.

"Biasanya pakai minyak sayur, 'kan?" sahut Jona.

Arjuna, Saga dan Senja lantas memandang ke arah Jona.

"Memangnya neng Senja mau pakai minyak sayur?" tanya Saga dengan datarnya.

Arjuna mengernyit dan berdecak. "Pakai lotion saja," pungkasnya.

Ia pun mengabil lotion di tas milik Senja, Arjuna pun meminta Senja untuk segera membuka celan dan memakai sarung.

Saga kemudian membelakangi keduanya, begitupun dengan Elang. Namun, Arjuna Senja saling memandang pada Jona.

"Lu ngapain masih di sini, sih Jona? Udah pergi sana, lu mau ngintip, ya?" Arjuna pun menepuk pundak kekarnya.

Dengan raut polos Jona pun tersipu malu, menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal, kemudian berlalu dari sana.

Senja sudah duduk dan mengenakan sarung seperti yang Sagara usulkan. Ia pun bersandar di dekapan suaminya, Arjuna menjadi pelabuhan Senja ketika tangan Sagara mulai menyasar bagian kaki Senja yang terkilir.

Senja memekik, merintih, mengaduh kesakitan, menahan pijatan Saga yang cukup bertenaga. Padahal, Saga hanya memakai tenaganya seminim mungkin, karena menjaga agar Senja tidak terlalu kesakitan oleh pijatannya.
Arjuna yang merasa tidak tega pun beberapa kali meminta Saga untuk memijat istrinya secara perlahan.

Saga memijat dari telapak kaki hingga ke betis dan berakhir pada lutut lalu kembali ke bawah seperti semula, seperti itu hingga beberapa kali.

"Tenang Juna, ini udah paling pelan sekali," tukas Saga.

"Awas lu, Saga, harus profesional, jangan mikirin yang macam-macam," celetuk Jona yang sedang berdiri memperhatikan pijatan itu.

"Diam, lu, Anjing!" sahut Saga secara gamblang.

Senja yang sebelumnya memekik kesakitan, kini sontak bungkam dengan menancapkan pandangan pada Saga, hingga membuat Sagara tertegun.

"Lu apaan, sih, Jona!" Arjuna pun melemparkan botol lotion ke arahnya, sampai Jona menghindar.

"Haha, aing bercanda, Juna," sanggah Jona.

Saga menuntaskan segera pijatan itu hingga menarik bagian pergelangan kaki Senja sampai berbunyi renyah.

Kreeteek

"Agh!" Senja menjerit, suaranya seketika tertahan oleh rasa sakit yang kini hilang meski tidak seluruhnya.

Saga terengah, napasnya naik turun, sedikit tidak teratur. "Sudah selesai," ucapnya.

Ia pun mulai beranjak dan menjauh dari keduanya. Senja perlahan merebahkan diri di pangkuan Arjuna.

"Alhamdulillah, kaki aku sedikit baikan, A'," ucapnya.

Arjuna mengangguk dan mengecup keningnya, kemudian menoleh pada Saga yang masih berdiri di hadapannya. "Makasih, Saga!"

Senja pun menoleh pada Saga dan mengucapkan kata terima kasih, sampai Saga merasa lega olehnya.

Saga menyarankan pada Arjuna agar ketika pulang ke rumah nanti, Senja kembali mendapat perawatan pijat yang lebih intens.

Lingga dan Aerlangga membawa kotak P3K, peralatan itu mereka dapatkan dari camp lainnya yang tak jauh dari tempat mereka.

"Maaf, kami telat. Kami tadi menunggu orang lain memakai obatnya, di sana juga banyak yang terluka akibat keributan tadi, iya, 'kan, Aer?" Lingga mendekat pada Senja dan menoleh ke Aerlangga.

Aerlangga pun mengangguk, mengiyakan ucapan Lingga.

Elang dan Lingga kini sedang mengobati luka Senja secara perlahan, giliran Arjuna dan Saga memperhatikan mereka. Senja pun menoleh pada Arjuna dan memberinya sebuah senyuman, menandakan bahwa dirinya baik-baik saja.

Arjuna memandang Saga dan menepuk pundaknya. "Sekali lagi, aku makasih banget loh sama kamu," ucapnya.

"Lu apaan sih, Juna. Manis banget, seperti ke pacar saja. Kita ini teman, udah sepantasnya saling tolong menolong," ujar Saga dengan tersenyum di hadapannya. "Lagi pula, neng Senja juga pernah ngobatin aku, 'kan?" Saga tersenyum lalu memandang ke arah Senja.

Arjuna Senja√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang