Mudik.
Setelah menghabiskan waktu penerbangan kurang dari dua jam, pesawat itu landing dengan selamat. Akhirnya, Arjuna dan Senja mudik ke tanah Jawa setelah setahun lamanya mengadu nasib di Kalimantan.
Mudik di H-2 menjelang lebaran cukup melelahkan, macet dan penuh perjuangan menjadi bumbu perjalanan. Namun, semua itu terbayarkan oleh pertemuan yang indah pada waktunya.
Syailendra beserta istrinya--teh Herlina, Sigit, bunda Kartiwi, Jay, dan ibunya Arjuna ikut serta menjemput kedatangan Arjuna Senja di bandara.
Diiringi tangisan dari bunda Kartiwi dan ibunya Arjuna, mereka serentak merentangkan tangan hingga satu orang bergegas ke hadapan. Senja dan Arjuna dipapah langsung oleh ibunya dan memeluk dengan erat.
"Neng Senja ...." Jay merentangkan kedua tangannya seraya mendekat.
Ingin rasanya memeluk wanita itu, tetapi Jay ingat selain dalam suasana bulan ramadhan, hubungan mereka mempunyai batasan selayaknya orang dewasa.
"Bagaimana kabar kalian?" tuturnya.
Arjuna Senja mengangguk seraya tersenyum padanya, Arjuna dan Jay kemudian saling berpelukan.
"Jay, mengapa Elang tidak ikut?" tanya Senja.
"Elang pasti akan datengin neng Senja, katanya besok habis terawehan," ucap Jay.
Senja mengukir senyuman, bertemu dan bisa berkumpul kembali bersama keluarga besar adalah hal yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata.———
Arjuna Senja sudah sampai di rumah abah Koswara. Lebaran tahun ini, Arjuna telah memutuskan untuk tinggal di rumah mertuanya itu. Mengingat lebaran tahun lalu ia dan Senja berada di rumah orang tuanya. Keduanya disambut dengan antusias oleh umi Rasti dan abah Koswara, beliau menangis bahagia lantaran putri dan menantunya telah tiba
dari perantauan. Senja memeluk ibunya hingga tersedu-sedu. Jay dan bunda serta ibu Arjuna menginap di rumah abah Koswara, mereka sama-sama ingin melepas rindu pada pertemuan yang nanti cukup singkat ini.
Hingga menjelang sahur, Arjuna, Jay dan yang lainnya masih terjaga. Mereka mengobrolkan banyak hal, kecuali Senja yang sudah terlelap karena merasa kelelahan. Suasana bulan ramadhan di kampung begitu kental dengan nuansa yang islami, latunan ayat suci Al-Qur'an senantiasa berkumandang dari setelah sholat taraweh. Disertai dengan arakan bedug yang berkeliling kampung guna membangunkan warga untuk sahur hingga menjelang subuh.
Senja bangun tepat jam tiga dini hari, untuk menyiapkan makan sahur. Namun, ia tidak diperbolehkan memegang pekerjaan apapun, walau sekedar untuk membantu umi dan bunda Kartiwi memasak di dapur.
"Bungsu, udah diem aja di ruang tv, temenin mama Kokom, gih!" Seru
bunda Kartiwi yang sedang sibuk memasak membantu umi Rasti.
"Iya, bener. Udah neng Senja ke sana aja nonton tv, selama di sini neng Senja nggak usah pegang pekerjaan. Di sini waktunya istirahat," ujar umi Rasti.
"Muhun, leres saur si umi." sambung bunda Kartiwi.
(Nah, bener kata umi)
Senja akhirnya mengalah dan memilih duduk bersama ibu mertuanya di ruang tv, berbincang dengan penuh kehangatan. Ibu Komariah yang penyayang senatiasa memperlakukan Senja layaknya putrinya sendiri, tidak ada rasa canggung dari hubungan mertua dan menantu itu.
"Mamah udah sahur?" tanya Senja.
"Mamah nggak sahur, lambungnya sedang kumat," sahut ibu Komariah.
Maklum saja, di usianya yang sudah tidak muda lagi, beliau memang kerap kali mempunyai keluhan di lambung.
"Bapaknya kenapa nggak diajak ke bandara, Mah?" Senja duduk dengan
melipat kedua kakinya.
"Bapak jadi panitia masjid, sedang sibuk urusin yang zakat fitrah, Neng," ujar ibu Komariah.
Arjuna menghampiri keduanya, kemudian duduk di samping istrinya.
"Bapak besok mau ke sini nggak, Mah?" Ia menoleh pada ibunya.
"Iya, nanti habis dzuhur katanya," sahut ibunya.
Arjuna mengangguk dan menarik kedua kaki Senja secara perlahan hingga
terjulur lurus agar ia bisa tidur di atas pangkuan.
"A' Juna, udah sini bobonya di Mama aja, kasihan si neng Senja. Coba sementara di kampung jangan nyusahin neng Senja, di sini aja. Bobonya di mama, sini," tawar ibu Komariah.
"Emm ... Mama apaan sih, Aa' nggak mau, Aa' mau bobo di sini aja. Di pangkuan neng Senja, ya, manisku?" seru Arjuna dengan bersikap manja.
Ibu Komariah sedikit geli melihat sikap putranya itu. "Di sana sikapnya juga begini, Neng?" Senja lantas mengangguk sembari mengulum senyuman.
"Ya ampun Aa', udah gede juga," protes ibu Komariah.
"Mama ... biarin dong, neng Senja, 'kan, istri aku." Arjuna memeluk kedua paha istrinya menjadikan layaknya bantal yang nyaman.
Ibu Komariah hanya menggeleng melihat kelakuan putra semata wayangnya itu.
"A' Juna, mau teh manis? Aku buatin dulu, ya." Senja hendak beranjak.
"Ehh ... udah, Neng, biar Mama aja yang bikin," sela ibu mertuanya itu.
"Loh, Mama mending istirahat di sini aja."
"Nggak, nggak usah, neng Senja di sini saja." Ibu Komariah pun beranjak dari duduknya.
"Haturnuhun, Mamaku sayang!" seru Arjuna yang kembali merebahkan diri berbantalkan paha istrinya.
"Kirain Aa', tadi neng Senja belum bangun." Arjuna memandang wajah istrinya dari bawah.
"A' Juna, belum tidur?" Senja mengusap surainya, merasakan suhu hangat di kening suaminya itu dan Arjuna hanya menggeleng.
"Kenapa?"
"A' Juna habis ngobrol bareng Jay, a' Sigit dan a' Syailendra juga abah," ujar Arjuna.
"Mereka pasti ngepoin pekerjaan a' Juna, ya?"
Arjuna lantas mengagguk.
"Yaudah, nanti habis makan sahur terus mandi, sholat subuh dan langsung tidur, ya," pinta Senja dengan lembut sampai Arjuna mengangguk.
"Malam ini a' Juna belum pelukin neng Senja," Senja menjadi tercengang.
"A' Juna ih, nanti ada yang dengar, kumaha coba?"
(bagaimana)
"Biarin atuh ... a' Juna udah kangen lagi nih. Assyiik euy ... bentar lagi
lebaran, kita bisa main pagi-pagi." Arjuna mengeluarkan smirk dan meremas pinggang istrinya dengan gemas.
"A' Juna." Senja memprotesnya secara lembut tapi tegas, sampai pandangannya ke sana ke mari.
Arjuna tidak pernah berubah, malah dengan sengaja menggigit lutut istrinya hingga Senja mengaduh menahan rasa pedih dan panas secara bersamaan.
"Aaakh!" ia meringis mengusap bekas gigitan itu. "A' Juna mah
kebiasaan, deh."
Memprotes suaminya itu, lalu cemberut hingga menambah gemas. Arjuna merasa tak tahan ingin menyerangnya di bagian pipi.
"Bilang apa tadi, hah?" Ia duduk tegak kemudian menangkup wajah Senja yang bulat dan menciumnya silih berganti.
"Ngomong apa barusan?" Arjuna masih menciumnya.
"Heh ... batal-batal ..." seru Jay yang ikut bergabung di ruang tv, sampai Arjuna menghentikan tindakannya.
Jay duduk di sofa dan mengambil alih remot kontrolnya.
"Neng, coba chat si Elang, tanya dia udah makan sahur apa belum," pintanya.
Arjuna dan Senja menoleh secara bersamaan.
"Sini mana hapenya," pinta Senja dengan mengulurkan salah satu telapak tangan ke arah Jay.
Pria karismatik itu hanya tertegun memandangi keduanya. Arjuna dan Senja mengernyit, kemudian melemparkan padangan pada Jay.
"Kalian masih belum baikan?" tanya Senja sampai Jay mengangguk secara singkat.
Tidak lama kemudian, umi Rasti dan bunda Kartiwi memanggil mereka untuk makan sahur. Umi Rasti menelepon Elang, menanyakan apakah pria itu sudah makan sahur atau belum.
"Bontotnya Umi, udah makan belum?" seru umi Rasti.
"Udah, Umi. Barusan makan sama ayah," sahut Elang.
"Makan sama apa, Bungsu?" tanya umi Rasti.
"Makan sama mie rebus, Umi," jawab Elang.
Senja mendekat ke samping ibunya dan menyapa Elang.
"Elang!" serunya.
Mereka saling bersahutan, disertai tawa dan beberapa obrolan.
Bunda Kartiwi kemudian mengambil alih video call dan meminta Senja
untuk segera makan sahur, bunda juga meminta pada Elang untuk segera pergi ke masjid melakukan persiapan sholat subuh berjamaan bersama dengan ayahnya. Wanita itu lalu menutup teleponnya. Mereka pun makan bersama dengan penuh rasa syukur.
"Jay, mau disuapin nggak sama Umi?" tawar umi Rasti.
"Nggak Umi, Jay bisa makan sendiri." seru Jay dengan tersipu malu.
"Kalau si bontot Elang biasanya suka pengen disuapin sama Umi," tutur umi Rasti.
"Udah atuh Umi, kalau Jay nggak mau disuapin nggak usah sedih gitu. Mendingan Umi suapin aja tuh, Abah." seru Sigit yang kemudian tertawa sampai diikuti yang lainnya.
"Iih, si Aa' mah, sok kitu da." Sela Umi Rasti.
(iih si Aa' suka begitu deh)
Di sela makan sahur itu, mereka juga tak segan untuk menayakan keseharian Senja di peratauan. Selain berdiam diri di mess dan menunggu Arjuna pulang, mereka juga penasaran apakah Arjuna Senja selama ini baik-baik saja ataukah sebaliknya.
"Bunda selalu khawatir pada neng Senja dan a' Juna, jangan-jangan kalian di sana pernah sakit, tapi tidak pernah bilang pada kita," ungkap bunda Kartiwi dengan raut penasaran.
Senja dan Arjuna lantas saling menatap.
"Mulai, deh, bunda emang kebiasaan. Orangnya selalu overthingking!" seru Jay.
"Atuh ... ya gimana Jay, Bunda 'kan cuma khawatir," sahut bunda Kartiwi.
"Lain kali, Bunda sama Umi ikut aja ke Kalimantan untuk temenin neng di sana," celoteh Sigit.
"Nah, sekalian Mama juga mau ikut nggak?" tutur Arjuna yang kini bertanya pada ibunya, sampai Sigit tersenyum mendengarnya.
"Ongkosnya berapa a' Juna kalau kita ikut ke sana?" tanya bunda Kartiwi.
Jay berdecak. "Udah atuh Bunda ... nggak usah mikirin itu," pintanya.
"Tenang, Bund, ada bos batu bara," cetus Sigit dengan menggoda.
Senja menepuk lengan bisep kakaknya itu. "Demi Allah, bunda jangan khawatir, kita baik-baik saja, iya, 'kan, a' Juna?" Senja menoleh pada suaminya.
Arjuna mengagguk. "Bener kata neng Senja, kita baik-baik saja di
sana Alhamdulillah kita juga di kelilingi oleh orang-orang baik," ujarnya.
"Iya, Alhamdulillah," tutur Senja.
Mereka merasa lega dan kembali melanjutkan makan sahur dengan penuh ketenangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arjuna Senja√
أدب المراهقين⚠SUDAH DITERBITKAN.⚠ SELF PUBLISHING. Teringat saat kita duduk berdua di tepian sebuah tempat berkemah. Menuliskan harapan masing-masing, menggoreskan pena di atas kertas dan menjadikannya pesawat yag diterbagkan ke udara. Sayang, pesawat kertasku t...