“Kenapa, Kak?” Kuputuskan untuk bertanya lebih dulu. Dari tadi melihat Kak Auston yang hanya berdiri kaku di depan pintu dan memasang ekspresi senewen membuatku jengah.
“Apa yang kenapa?”
Bola mataku berputar malas. “Ya, kakak ngapain berdiri di sana?! Kalo mau masuk, ya masuk!”
Alis lebat lelaki itu terangkat sebelah. Dia kemudian melangkah masuk. “Lagi ngapain?” tanyanya saat sudah duduk manis di sebelahku.
Joe sudah menyingkir sejak Kak Auston melangkah mendekat. Dia bergerak menuju meja belajar dan duduk anteng di kursi memperhatikan kami antusias. Biarkan saja. Anggap dia tidak ada.
Aku heran, apa Kak Auston tidak melihat kalau ada makhluk tak kasat mata yang serius memperhatikan sedari tadi. Oh bukan serius, kepo lebih tepat sepertinya.
“Tadi, kakak denger kamu kayak lagi ngobrol, sama siapa?” Kak Auston melirik ke sana kemari menjelajahi kamarku. “Gak mungkin sama, Mia, kan? Dia lagi di bawah nonton tivi soalnya.”
“Ha? Emang, kakak denger?”
“Jelaslah! Suaramu, kan sampe ke mana-mana. Gak mungkin, kakak gak denger.”
Aku menatapnya datar. Lalu lelaki itu langsung terkekeh pelan. “Becanda. Kakak lagi di ruang kerja tadi, terus denger kamu asyik ngobrol, Cuma ya..., gak begitu jelas kamu ngobrolin apa.”
Aku baru ingat kalau ruang kerja Kak Auston tepat di sebelah kiri kamarku. Sambil bergumam pelan, aku berpikir. Alasan apa yang harus kukatakan. “Mm..., aku tadi lagi telponan sama, Stevia.” Maaf, Stev aku membawa-bawa namamu.
“Oh...,” dia mengangguk. Tapi detik berikutnya, dia menatapku penasaran dan pertanyaan selanjutnya membuat jantungku mencelos. “Tapi kok, kakak gak liat kamu pegang ponsel, ya?”
Matek!
Aku harus jawab apa? Jangan sampai dia benar-benar akan mengirimku ke rumah sakit jiwa gara-gara hantu menyebalkan itu.
Kualihkan pandang ke arah Joe yang masih duduk manis mendengarkan. Bukannya membantu, dia malah memberi cengiran lebar. Aku mendengus kesal.
“Mona, kamu belum jawab, lho.”
Huft. “Kak, tadi itu...,” aduh, aku bingung harus jawab apa ini?
“Ya?”
“Err..., aku telponan sama, Stevia. Tapi ponselnya aku taruh di kasur.”
“Masa?” Kak Auston mengangkat sebelah alis. “Emang suara, Stevia kedengeran? Kayaknya gak kamu loudspeaker tadi.”
Emak! Jawaban apalagi yang harus aku kuberikan. Haduh, lama-lama aku nyanyi dangdut juga, nih saking stresnya.
Buk!
Suara benda jatuh membuat kami—aku dan kakakku—serempak menoleh. Ternyata sebuah buku tulis sudah tergeletak mengenaskan di lantai. Kutatap sang pelaku yang kucurigai berpotensi besar dalam insiden jatuhnya buku tulis itu. Tapi sang pelaku justru melebarkan cengiran dan membuat tanda piece dengan jarinya.
Aku menghela nafas. Semerdekanya sajalah. Tapi ada yang aneh dengan sebelahku. Dari tadi Kak Auston tidak bicara juga. Diam dan hening. Matanya masih menatap parno buku tulisku yang tergeletak.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...