Saat suasana masih terasa hening, tiba-tiba kurasakan semilir angin lembut yang menyapu helaian rambutku yang jatuh di punggung. Hawa dingin menyeruak seketika dan sukses membuatku meremang.
Kulirik Kak Auston di sebelahku, dia biasa saja, masih anteng dengan ponselnya seolah tak tahu apa yang terjadi barusan. Namun saat aku beralih melirik Kak Raka, lelaki itu sedang menatap lekat arah belakangku.
Oke, aku benar-benar merinding sekarang. Sepertinya lelaki itu sadar dengan angin kecil tadi. Tatapannya fokus seolah sedang melakukan telepati dengan entah apapun yang ada di belakangku ini, sebelum kemudian dia tersenyum kecil dan meletakkan cangkirnya. “Kamu merasakannya tadi?” Kak Raka bertanya santai.
Sambil menelan ludah gugup, aku mengangguk pelan. Apa tadi itu ulah Joe? Tapi pertanyaan itu hanya kutelan di tenggorokan saja karena Kak Auston mendadak merapat padaku kemudian memekik parno. “Apa-apaan itu tadi?!”
Sebelah alis Kak Raka terangkat kecil. “Emang kamu liat?” dan dibalas decakan kesal oleh kakakku. “Kamu pikir aku buta? Aku liat tadi, rambutnya Mona goyang-goyang padahal gak ada angin, terus dia anteng aja gak gerak-gerak. Mosok iya rambutnya goyang sendiri, kan gak mungkin dong. Hantu, ya tadi itu?”
Anggukan kecil Kak Raka membuat kami bungkam. “Kalo menurut kalian itu tadi apa?” sontak saja aku dan kakakku saling menatap heran.
“Emang bukan, Joe?” tanyaku.
Yang ditanya justru terkekeh kecil lalu kembali menyesap tehnya santai. “Kalo aku bilang bukan, Joe gimana?”
“Maksudnya? Angin gitu?” Kak Auston menatap jendela yang ternyata tertutup.
“Bukan gara-gara angin.”
Efek dari ucapan Kak Raka itu, membuat kakakku semakin merapat padaku. Tingkah konyolnya ini membuatku gemas, jadi kudorong saja dia hingga terjungkal ke samping dan kikikan pelan dariku justru dihadiahi pelototan kesal darinya.
Tak kupedulikan pelototannya itu, manikku langsung beralih cepat pada Kak Raka. “Terus apa, Kak?”
“Hum...,” lelaki itu mengusap pelan dagunya. “Kalo itu gara-gara hantu lain gimana?”
“Ebuset, dah!”
Kontan kami menatap Kak Auston yang terlihat makin parno. Lelaki itu mengusap-usap lengannya cepat seolah ketempelan ulat bulu. “Ini, tuh sebenernya rumah orang apa rumah setan, sih?! Kenapa setannya banyak amat?!”
Hidungku mengerut. Sedangkan Kak Raka menghela nafas melihat tingkah kakakku. “Di dunia ini, kan emang lebih banyak set—eh hantu, setan itu kata-katanya terlalu jel—”
“Aku serius, nih! Jangan ngomong yang gak penting!”
Mendapat bentakan menakutkan, Kak Raka tercengang sejenak sebelum akhirnya kembali menguasai keadaan dan berdehem pelan. “Oke oke. Itu tadi bukan hantu, kok cuma angin doang. Kayaknya sih mau ujan, nih.”
Aku tahu kalau lelaki itu sebenarnya berbohong hanya agar kakakku tidak semakin parno. Karena coba lihat sekarang, dia malah makin mendempel padaku.
“Kalian tau gak kalo sebenernya Belanda juga punya hantu lain selain, Joe? Semacam..., yah, udah jadi urban legend di sana.”
Keningku berkerut serius. “Tapi, Joe kan bukan hantu populer kayak gitu. Dia Cuma hantu kesepian yang gak tau jalan pulang.”
Kak Raka menatapku datar. “Coba kalo Joe denger, kamu bisa dibanting sama dia.”
Ucapannya membuatku mendadak kikuk. “Joe itu baik, kok.” Sanggahku.
“Mosok?”
Aku mengangguk cepat.
“Kalo dia baik, kenapa banting temen kamu kemarin?” aku memutar bola mata ragu. “Ung..., mungkin gak sengaja.” Elakku.
Kak Raka mengangguk ringan. “Dia emang baik kok. Apa yang dia lakukan kemarin itu, Cuma karena refleknya aja gara-gara kaget. Aslinya dia gak sengaja.”
Aku menatapnya penasaran. Menunggunya kembali melanjutkan ucapannya. “Tadi kakak udah bicara sama dia. Dan ya..., agak sedikit susah sih bikin dia mau terbuka sama kakak.”
Dia lalu menatap Kak Auston. “Joe gak jahat kayak yang kamu pikirin, Ton. Dia baik kok, bener kata Mona.”
Kak Auston hanya diam mendengarkan temannya berceloteh.
“Kayak yang, Mona bilang, dia sebenernya kesepian di sini. Nanti kalo waktunya tiba, dia pasti bakal pergi sendiri. Joe juga udah janji sama aku, dia gak bakal nyakitin kalian.” Tangannya menepuk-nepuk pundak Kak Auston. “Kamu tenang aja pokoknya.”
“Tenang gimana?” kakakku buka suara. “Yang namanya hantu itu gak bisa hidup berdampingan sama manusia.” Sergahnya.
“Kenapa enggak?”
“Hantu itu selalu bawa aura negatif dan..., bisa aja dia membunuh kayak di film-film gitu. Atau kalo gak, dia pasti bakal nyelakain kita? Kalo dia kayak gitu juga gimana?”
“Film apa yang kayak gitu?” Kak Raka bertanya bingung.
“Film hantu lah! Kayak Annabelle, apa The Conjuring, gitu.” Balasnya.
“Film macam apa itu? Emang ada, ya?”
Pertanyaan konyol yang dilontarkan lelaki itu membuatku dan Kak Auston memasang wajah sedatar-datarnya. “Kamu ini sebenernya manusia purba darimana, sih? Masa film hantu terkenal aja gak tau.” Ejek kakakku.
Kak Raka mengedik acuh. “Aku kan workaholic. Maklum lah, jarang liat tivi.”
“Sok sibuk ama kerjaan, gak sekalian aja nikahin tuh kerjaan.” Sindir kakakku jengkel.
“Sorry, brother. Gini-gini juga cewek pada ngantri mau deket ama aku.” Ungkapan penuh percaya diri itu dibalas kerlingan jijik oleh kakakku.
Aku berdehem untuk menyadarkan kedua lelaki gila ini agar tak meneruskan obrolan unfaedah mereka yang justru membuang waktuku. “Jadi..., intinya gimana, Kak?”
“Oh? Emang tadi aku belum ngomong, ya?”
Aku bergumam bingung. “Yang mana?” lagipula sejak tadi dia hanya berputar-putar dan mengatakan beberapa hal tak berguna.
Bukannya menjawab, lelaki itu malah melirik jam tangannya kemudian menatap kami bergantian. “Tadi, kan udah bilang, coba inget lagi. Maaf ya, aku masih ada urusan. Maklum orang sibuk.”
“Pret!” Kak Auston menyebur. Dia lalu mengantarkan temannya yang tengah cekikikan itu hingga ke depan pintu.
Astaga, padahal aku sama sekali tidak mengerti apa garis besar yang dikatakannya tadi.
“Ah, ya!” kepala Kak Raka tiba-tiba muncul dari balik pintu. “Menurut kakak, kamu harus tetep sama Joe, dia pasti butuh bantuan kamu.”
Lalu setelah itu, dia menghilang. Meninggalkanku dalam keterdiaman yang sama. Resah dan bingung harus apa.
My Friendy Ghost
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...