“Mona, besok ikut kakak.”
Aku yang sedang makan keripik singkong bersama Mia serempak menoleh.
“Ke mana?” tanyaku penasaran.
“Nikahan temen.”
Ebuset. Ternyata kakakku memang se-memprihatinkan itu. Buktinya, sampai ke acara nikahan temannya saja harus dengan adiknya begini.
“Makanya nyari pacar, Kak.”
“Belum saatnya wahai Adik-adikku yang budiman dan baik hatinya.”
“Pret! Bilang aja gak laku, kok susah amat.” Cibirku.
“Astaga.” Kak Auston menatap kami bergantian dengan tatapan penuh ketidak percayaan karena cibiranku—yang mungkin saja—menyentuh relung hatinya yang paling dalam. “Entar juga pasti dapet.”
Mia berdecak. “Kak Mona bener. Mosok ke kondangan temen yang digandeng adeknya, sih. Pacar dong!”
“Ei! Kamu masih bocah, gak usah ikut-ikutan, kayak tau aja.” Sembur Kak Auston dengan wajah datar sedatar-datarnya, dia kemudian beralih menatapku. “Bisa, kan, Mona?”
Aku menimbang sejenak. Besok hari minggu dan tentunya waktu untuk bersantai. Eh, tunggu. Sepertinya, aku dapat ide. Apalagi besok Kak Auston tidak akan di rumah. “Hem..., gak bisa Kak. Aku ada kerja kelompok.”
Mia mengernyit. “Tumben. Emang kakak punya temen?”
Ebuset! Dia menghinaku terang-terangan. Aku tak terima! “Punyalah!” Bahkan yang tak kasat mata juga ada! Itu kutambahkan dalam hati tentu saja. Kalau mereka sampai tahu aku berteman dengan penghuni lain rumah ini, pasti mereka geger.
“Di mana?” aku memiringkan bibir berpura-pura sedang berpikir sejenak agar Kak Auston tidak curiga. “Di sini. Boleh, kan?”
“Hem, yaudah.”
Aku bersorak riang dalam hati. “Sama Mia aja tuh, Kak.” Tentu saja anak itu langsung melotot garang padaku. Apalagi tadi mereka bertengkar manja. Hihi, rasakan.
Kak Auston terlihat berpikir sejenak. “Bener juga. Yaudah.”
“Waduh..., apa-apaan nih?!” Mia memekik sebal. “Kakak, kan belom nanya aku?! Masa langsung iyain aja, sih?!” dia menyembur emosi.
“Cuma sebentar.” Kak Auston menyahut ringan.
“Gak mau.” Jawabnya cepat.
“Nanti kakak beliin es krim.”
“Emangnya aku anak bayi?!”
“Mana ada bayi makan es krim?”
“Pokoknya gak mau!”
“Uang jajanmu, kakak tambah.”
“SETUJU!!”
Aku hanya memasang wajah datar menatap tingkah mereka. Ya Tuhan, kadang aku menyesal punya saudara satu rahim yang tingkahnya macam begini.
“Janji ya, Kak?!”
“Iya. Tenang aja.”
Mia cekikikan lalu menatapku seolah berkata 'tuh liat, uang jajanku besok ditambah.'
Aku memutar bola mata malas. Sedangkan Kak Auston mengambil alih keripik singkong dari pangkuanku dan membawanya menuju single sofa di sebelah Mia lalu memindah-mindah channel televisi.
Aku hanya menatap Mia prihatin. Lihat saja besok. Bocah itu pasti mengoceh lagi. Memang, Kak Auston bilang akan menambah uang jajannya, tapi dia, kan tidak bilang berapanya. Hehe..., lihat saja besok. Dia pasti meraung-raung.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...