Aku terdiam mendengar penuturan Joe barusan. Terdengar sangat tulus dari hati. Meski ada sedikit getaran lirih terdengar di sana.
Berdehem pelan, kulirik lelaki itu yang masih setia menatap lurus ke depan. “Kayaknya..., aku tahu siapa yang kamu maksud itu,” Joe menoleh cepat, sebelum dia sempat membuka mulut, aku kembali menambahkan. “Kakeknya Agrav, kan?” tembakku percaya diri.
Dia diam sejenak seolah meredakan keterkejutannya. Kemudian hanya senyum tipis yang nampak oleh mataku. Sayangnya, dia justru kembali memalingkan wajah seolah enggan menjawab pertanyaanku tadi. Selanjutnya, hanya keheningan yang terbentang di antara kami.
Kurasa Joe tidak ingin membahasnya, jadi kuputuskan untuk membahas hal lain. “Uhm..., kamu ke mana aja selama dua minggu ini, Joe?”
“Hanya jalan-jalan.” Sahutnya ringan.
“Yang bener?” aku sedikit memutar tubuh menghadapnya. “Ke mana? Antartika, ya? Kok lama banget?”
Joe terkekeh pelan. Sepertinya menertawakan ucapan konyolku barusan.
“Bukan.” Dia menarik nafas pelan kemudian ikut memutar tubuhnya menghadapku. “Aku berencana untuk reinkarnasi.”
Aku membeku di tempat. Apa katanya? Jadi, lelaki ini benar-benar ingin pergi? Baru saja aku ingin bicara, dia sudah lebih dulu membuka mulut. “Dan aku..., sudah mendapat 'tempat' untuk reinkarnasi itu.”
Ucapannya itu makin membuatku bingung. Apa maksudnya dengan tempat? Jujur saja, aku tidak mengerti dengan hal-hal semacam itu. Reinkarnasi? Sampai sekarang saja aku tidak tahu kenapa banyak yang mengatakan hal itu.
Apa keuntungannya? Entahlah. Aku tidak mengerti bagaimana prosesnya atau sebagainya. Saat aku masih diambang kebingungan dengan ucapan-ucapannya itu, dia justru terus bicara tanpa henti.
“Kamu tahu, aku senang sekali bisa bertemu denganmu. Kamu manusia pertama yang mau berteman denganku,” dia menjeda sejenak sebelum kembali melanjutkan. “Saat..., sudah tahu kalau aku ini hantu.”
Aku tetap diam menatapnya. Mengagumi ketampanan yang dimilikinya meski dia hanya seorang arwah yang sepertinya tidak mengerti bagaimana eksistensinya di dunia ini.
Jujur, aku menyukainya. Hanya saja, aku memang tak pernah menunjukannya, apalagi di depannya. Harusnya aku sadar, dia bukan seseorang yang bisa kusentuh. Apalagi diajak menikah.
Gosh! Lagipula dulu, secara tegas aku mengatakan padanya kalau menyukainya adalah hal mustahil. Tapi kini aku justru menjilat ludahku sendiri. Aku tertawa miris dalam hati. Menertawakan betapa bodohnya diriku.
“Mona,”
Aku tersentak dari lamunan menyedihkan saat Joe melambaikan tangan tepat di depan wajahku. Aku tersenyum kikuk karena ketahuan sedang melamun.
“Kamu tidak mendengarkanku, ya?” Joe terdengar sedih. Seolah menunjukkan dirinya sedang merajuk, dia bersedekap dan memalingkan wajahnya dariku dengan bibir mengerucut lucu.
Aku tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak bertemu dengan lelaki ini, aku menyentuh lengannya yang sejak dulu benar-benar ingin kusentuh. Ada sesuatu yang mendadak berdentum kuat dalam dada. Apalagi saat dia kembali menatapku dalam.
Berdehem pelan untuk menghilangkan kegugupan, aku kemudian berkata. “Aku dengar, kok. Cerita aja lagi.”
Dan hal yang tak kuduga sebelumnya, dia menggenggam tanganku yang menyentuh lengannya lalu menyimpannya di pangkuannya.
Debaran jantungku makin kencang. Meski dalam wujud manusia, tangannya tetap saja dingin. Rasanya justru seperti menggenggam kuat-kuat es batu di tangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Friendly Ghost
ParanormalAku tidak pernah menyangka jika rumah peninggalan orang tuaku, ternyata sudah lebih dulu berpenghuni sebelum kami datang. Aku bukan seorang indigo. Apalagi memiliki kemampuan sixth sense. Tapi entah kenapa, aku justru bisa melihat dia, Hantu seorang...