Setelah kejadian Haru menghilang beberapa hari yang lalu kini Jazaa dan Yasa benar-benar menjaga ketat rumah mereka. Jazaa tidak lagi lupa mengunci pintu dan gerbang depan. Yasa juga tidak tinggal diam, dia selalu memberi Haru pengertian agar bayinya tidak lagi keluar rumah tanpa orang dewasa. Untungnya bayi mereka bisa mengerti, Haru harus selalu izin jika ingin pergi keluar. Sebagai orang tua tentu Jazaa dan Yasa memiliki kekurangan dalam mengurus anak. Kejadian kemarin mereka anggap sebagai kekurangan mereka yang harus di perbaiki. Alhasil Haru sekarang tidak bisa sebebas dulu untuk keluar masuk rumah. Paling-paling bayi itu hanya di izinkan bermain di teras. Selebihnya Yasa akan mengajak Haru bermain di dalam rumah saja.
“Haru, mau main apa hari ini?” Yasa bertanya setelah selesai mendandani sang anak. Dia baru saja mandi pagi.
“Hawu mawu toton.” Jawabnya gemas.
“Toton? Toton itu apa sayang?”
“Coco...”
“Ini bukan weekend, jadi Haru belum boleh menonton. Nanti ya? Sekarang main dulu sama Papa.”
“Hawu mawu gambal.”
Yasa mengangguk. Tangannya terulur untuk meraih beberapa alat pewarna juga buku gambar milik putranya. Haru memang tidak di biasakan untuk menonton setiap hari. Jazaa hanya mengizinkannya menonton tv saat hari libur. Hal ini mereka lakukan agar Haru tidak terfokus dengan benda persegi itu. Keduanya ingin Haru lebih menikmati masa kecilnya dengan bermain atau menghabiskan waktu bersama kedua orang tuanya ataupun bersama teman-temannya yang lain.
“Tiicih Papa...”
“Terima kasih Haru. Coba ikutin Papa. Terima kasih Papa...”
“Telima katsih Papa.” Haru memeluk Yasa lalu mencium pipinya.
“Sama-sama sayang.”
Di tengah kegiatan menggambarnya suara cempreng milik seorang batita terdengar sampai ruang bermain Haru. Yasa dan bayinya saling melempar tatap. Haru kemudian berlari menuju sumber suara. Pintu depan bahkan sudah berbunyi nyaring, Haru jadi kesal sendiri. Kata Papa jika bertamu itu harus sopan, bukan berteriak seperti yang dilakukan entah siapa itu.
“Haluuuu!!!”
Haru tersentak saat dia dipeluk secara tiba-tiba. Papa baru saja membuka pintu tapi Jessan bocah yang baru saja berteriak seraya memukul pintu langsung memeluk Haru. Jika saja Yasa tidak berdiri di belakang sang anak sudah di pastikan Haru akan terjungkal. Bayi gempalnya baru saja di terjang bayi berotot yang sekarang sedang memeluk Haru erat.
“Tidak hiyaangg...”
“Siapa yang hilang Jessan?” Yasa tertawa.
“Katana Ddi Halu hiyang Papa.”
“Haru enggak ilang. Kemarin cuma main sama Unclenya.”
“Lepaattss Jejeee...”
“Nanti hiyaangg.”
“Hawu ndak hiyaaanggg!!!”
Tidak mau melihat keributan, Yasa buru-buru memisahkan mereka. Tangan kanannya menuntun Jessan sedangkan tangan kirinya menuntun Haru. Dia menggandengnya menuju ruang bermain Haru. Pasti anak itu dibuat panik setelah mendapat kabar bahwa Haru sempat hilang. Yasa memang memberi tau Jibran dan Jafar kemarin, siapa tau keduanya bisa membantu. Tapi pagi ini dia malah melihat si bucin Jessan yang memeluk putranya dengan panik. Untung saja anak itu sedang tidak ada kemarin, jika ada sudah bisa Yasa pastikan Jessan akan menangis.
“Haru main sama Jeje ya disini.”
“Iya Papa.” Haru mengangguk, “Jeje main. Hawu mawu gambal, Jeje mawu main yang lain boleh tapi janan cium oke?”
“Oke!” Jessan tersenyum bersama tangan yang memberi hormat.
Setelah memastikan keduanya aman, Yasa berpamitan untuk menjemur baju. Haru mengangguk sebagai jawaban begitu juga dengan Jessan yang sudah tengkurap seraya menopang dagu demi bisa menatap Haru. Kepala Yasa menggeleng, anak Ansel ini kenapa begitu senang menatap Haru ya? Dia jadi ngeri sendiri. Takut mereka dewasa sebelum waktunya. Apalagi Jessan yang selalu terlihat posesif, persis sekali seperti Jibran. Yasa takut Haru benar-benar di claim sebagai milik bocah itu sedari kecil.
Menit pertama keduanya di tinggal, Jessan masih betah menatap Haruna. Tangannya memegang sebuah mobil miliknya yang dia bawa sendiri dari rumah. Haru juga masih fokus bersama krayonnya, dia sedang mewarnai salah satu tokoh kartun favoritnya yang berasal dari Jepang. Tapi selang beberapa menit kemudian, Jessan mulai bosan. Dia sudah mengajak Haru untuk bermain namun Haru selalu berkata agar Jessan menunggu dan bersabar. Sayangnya Jessan ini bukan termasuk bayi sabar. Jangankan menghadapi Haru, menghadapi Jefry yang berstatus sebagai adiknya saja Jessan tidak sanggup bersabar. Alhasil kertas yang sedang di timpa Haru di rebut begitu saja. Jelas krayon Haru melenceng sehingga kartun yang sedang dia warnai menjadi tidak berbentuk.
“JEJE!!!” Haru berteriak marah.
“APAAA??? HALU JEYEK!!! NDAK MAU MAIN CAMA JEJE!!!”
“GAMBALNA LUTSAK!!!!”
Jessan menarik kertas dari tangan Haru. Menggulungnya tanpa menyadari raut wajah Haru yang sudah menunjukkan peperangan. “GAMBALNA JEYEK! HALU JEYEKKKKK!!!”
“JEJE YANG JEYEEKK LUTSAK-LUTSAK GAMBAL HAWWUUU!!!”
“HAWWUU NDAK MAINNNNN!!!”
“IHHH JEJEEEE!!!!”
“CAKIIIITTTTT HAAALUUUU!!!!”
Tangan gempal Haru tiba-tiba saja menarik rambut Jessan. Akibat terlalu marah Haru akhirnya menggunakan kekerasan sebagai bentuk kekesalan yang sejak tadi sudah ditahan. Jessan tentu menangis, jambakannya tidak main-main. Namun anehnya Haru yang mendengar tetangganya menangis malah ikut menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Hawu Daily Life || jiyosh ft haruto
FanfictionHaruna, bayi berusia 2 tahun kurang 1 bulan terpaksa harus tinggal di lingkungan baru akibat pekerjaan Ayah yang harus pindah. Anak semata wayang Jazaa dan Yasa ini sudah fasih berbicara meskipun ada beberapa pelafalan huruf yang masih harus dibenar...